Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Politik Etis-Sumpah Pemuda: Pembuktian Literasi Mengubah Nasib Bangsa

28 Oktober 2023   08:07 Diperbarui: 28 Oktober 2023   08:14 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suwardi Suryaningrat dengan artikelnya Als Ik Eens Netherlander Was (Republika)

salah satu sekolah yang dibangun masa Hindia Belanda sebagai penerapan Politik Etis (kompas.com)
salah satu sekolah yang dibangun masa Hindia Belanda sebagai penerapan Politik Etis (kompas.com)

Literasi Menguatkan Identitas Nasional "Indonesia"

Hal yang paling menonjol dari isi ikrar Sumpah Pemuda adalah peneguhan identitas nasional "Indonesia" melalui "Tanah Air Indonesia", "Bangsa Indonesia" dan "Bahasa Indonesia." Meski demikian, jika mundur ke masa hampir seabad sebelumnya, maka penemuan nama "Indonesia" dan kemudian menjadi populer sangat ditentukan oleh literasi.

Nama "Indonesia" pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli etnologi berkebangsaan Inggris bernama George Samuel Windsor Earl. Ia menulis artikel dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan. Dalam artikelnya di Volume IV tahun 1850 (hlm. 66-74), Earl di antaranya menegaskan bahwa sudah saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India. Earl lalu mengajukan dua pilihan nama yaitu Indunesia atau Malayunesia (nesia berasal dari kata nesos dalam bahasa Yunani yang berarti pulau).

Meski memperkenalkan nama Indonesia, Earl sendiri lebih memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, apalagi bahasa Melayu juga dipakai di seluruh kepulauan ini. Adapun Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa).

Logan juga menulis artikel di Volume yang sama (hlm. 252-347) dan juga memulai tulisannya dengan pernyataan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Bedanya dengan Earl yang cenderung memilih nama "Malayunesia", Logan lebih memilih nama "Indonesia" setelah mengubah huruf "u" pada "Indunesia" dengan huruf "o".

Sejak memperkenalkan nama "Indonesia", Logan secara konsisten menggunakan nama ini dalam artikel-artikel ilmiahnya. Pemakaian istilah "Indonesia" lalu menyebar di kalangan para ilmuwan, terutama bidang etnologi dan geografi. Di antara yang paling terkenal adalah Guru Besar Etnologi Universitas Berlin bernama Adolf Bastian. Ia menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (1884). Buku sebanyak lima volume ini memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita antara rentang 1864-1880. Karya literasi Bastian inilah yang mempopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda. Dengan demikian, literasi bukan hanya berperan melahirkan nama "Indonesia" tetapi juga mempopulerkannya.

Adapun tokoh pergerakan nasional yang pertama kali menggunakan istilah "Indonesia" hubungannya dengan literasi adalah Suwardi Suryaningrat. Tokoh yang lebih populer dipanggil Ki Hajar Dewantara ini ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-Bureau. Selanjutnya, masih di negeri Belanda, ada Mohammad Hatta dan kawan-kawan. Mereka bukan hanya mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) pada 1922 tetapi juga mengubah majalah Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka.

Nama "Indonesia" juga makin populer di tanah air sebelum ditetapkan menjadi identitas nasional melalui ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Berturut-turut: dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club dan Partai Komunis Hindia berganti menjadi Partai Komunis Indonesia (1924); Jong Islamieten Bond membentuk organisasi kepanduan National Indonesische Padvinderi (1925); Partai Nasional Indonesia dan pembentukan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (1927).

Tokoh Kongres Pemuda I dan II bertemu di Gedung Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1978 (kompas.com)
Tokoh Kongres Pemuda I dan II bertemu di Gedung Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1978 (kompas.com)

Dengan demikian, kebulatan tekad menetapkan "Indonesia" menjadi identitas nasional tidak mungkin terwujud jika nama "Indonesia" ini tidak diperkenalkan dan dipopulerkan melalui artikel-artikel ilmiah oleh para ilmuwan, terutama di bidang etnologi dan geografi sebagaimana disinggung sebelumnya. Ini juga menjadi poin penting bagaimana literasi dapat mengubah sejarah bangsa Indonesia yang sebelumnya menggunakan beberapa nama di antaranya Nusantara dan Hindia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun