Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tentara Nasional Indonesia: Cikal Bakal, Metamorfosis dan Integrasi

7 Oktober 2023   14:27 Diperbarui: 7 Oktober 2023   14:33 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tentara Keamanan Rakyat (Sumber: Kompas.com)

Tanggal 5 Oktober sebagai Hari Lahir Tentara Nasional Indonesia (TNI) baru saja berlalu. Di tulisan kami sebelumnya sudah dibahas tentang peran TNI menjadi benteng Pancasila setelah dirongrong oleh Gerakan 30 September (G.30.S) yang ingin memaksakan ideologinya. Beberapa tulisan berselang, kami juga sudah menyinggung peranan TNI menggelar Serangan Umum 1 Maret 1949 yang telah menyadarkan dunia internasional bahwa Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia masih ada. Mundur lebih ke belakang lagi, kita pernah membahas bagaimana peranan TNI dalam Pertempuran Surabaya saat masih bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sesungguhnya bagaimana metamorfosa dan proses intengrasi Tentara Nasional kita hingga dikenal saat ini dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI)? Berikut kami sajikan secara kronologis dengan rujukan utama buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.

Cikal Bakal TNI Masa Pendudukan Jepang

Cikal bakal Tentara Nasional kita sesungguhnya bisa ditelusuri kembali ke zaman pendudukan Jepang. Sebagaimana kita paham sejak pembelajaran sejarah di sekolah bahwa pendudukan Jepang bercorak militer. Terlebih lagi Jepang masih harus menghadapi Sekutu dalam Perang Pasifik atau Perang Dunia II. Maka Jepang membentuk beberapa badan, baik semi militer maupun militer, baik yang dikirim bertempur membantu tentara Jepang atau mempertahankan tanah air Indonesia jika ada serangan dari luar.

Seinendan

Badan semi militer yang dimaksud misalnya adalah Seinendan dan Keibodan yang dibentuk pada 29 April 1943 ini, langsung di bawah pimpinan Gunseikan. Khusus Seinendan, jumlah anggotanya semula sebanyak 3.500 pemuda dari seluruh Jawa dan berkembang hingga 500.000 pada akhir masa pendudukan Jepang. Tujuan kedua badan ini secara resmi disebutkan untuk mendidik dan melatih para pemuda, agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya sendiri. Meski demikian maksud tersembunyi yang sebenarnya adalah memperoleh tenaga cadangan untuk memperkuat tentara Jepang menghadapi Sekutu. Seinendan sendiri di dalam perang merupakan barisan cadangan yang mengamankan garis belakang.

Anggota Seinendan bukan hanya pemuda tetapi juga pemudi (putri) yang disebut Josyi Seinendan (Seinendan Putri) yang dibentuk pada bulan Oktober 1944. Seinendan tidak semata-mata dibentuk di desa-desa atau sekolah-sekolah, tetapi juga di pabrik-pabrik atau perumahan-perumahan. Untuk kepentingan mensukseskan organisasi lembaga latihan pemuda diperluas menjadi lembaga pusat latihan pemuda. Di lembaga inilah kader-kader pimpinan Seinendan daerah dilatih. Mereka mendapat latihan dasar kemiliteran tetapi tanpa menggunakan senjata yang sebenarnya.

Anggota Seinendan (Sumber: Kompas.com)
Anggota Seinendan (Sumber: Kompas.com)

Keibodan

Adapun Keibodan merupakan barisan pembantu polisi dengan tugas-tugas kepolisian seperti penjagaan lalu lintas, pengamanan desa dan lain-lain. Berbeda dengan Seinendan yang umurnya antara 14-22 tahun, Keibodan direkrut dari pemuda yang berusia 26-35 tahun. Jumlah anggota Keibodan lebih dari satu juta pemuda yang semuanya laki-laki yang diambil dari setiap desa. Syaratnya adalah mereka harus berbadan sehat, kuat dan berkelakuan baik. Untuk meningkatkan kualitas anggotanya, Keibodan dilatih khusus di sekolah kader kepolisian di Sukabumi. Bukan hanya pribumi putra Indonesia yang direkrut menjadi anggota Keibodan, di kalangan penduduk Cina dibentuk pula Kakyoo Keibotai.

Jepang sebenarnya punya maksud tersembunyi merekrut Keibodan dari pemuda-pemuda di desa. Tujuannya agar anggota-anggotanya tidak terpengaruh oleh kaum nasionalis, tidak seperti Seinendan yang mendapat pengaruh dari tokoh-tokoh nasionalis. Itulah sebabnya di markas pusat Seinendan beberapa anggotanya menjadi nasionalis muda. Kelak beberapa di antara mereka mengambil peran penting dalam Peristiwa Rengasdengklok seperti Sukarni dan Abdul Latif Hendraningrat.

Pengorganisasian badan-badan semi militer pada masa pendudukan Jepang semakin gencar memasuki tahun 1944, sehubungan dengan makin gentingnya perang melawan Sekutu. Maka selain Seinendan dan Keibodan, pemerintah pendudukan Jepang juga membentuk Suishintai (Barisan Pelopor), Jibakutai (Barisan Berani Mati), Hizbullah (Barisan Pemuda Islam), Gakutotai (Korps Pelajar), dan Fujinkai (Perkumpulan Wanita).

Anggota Keibodan (Sumber: Sindonews) 
Anggota Keibodan (Sumber: Sindonews) 

Heiho dan Peta

Lalu bagaimana dengan organisasi kepemudaan militer zaman pendudukan Jepang? Sejak April 1943 Jepang sudah mengumumkan pembentukan Heiho sebagai pembantu prajurit Jepang. Anggota badan ini langsung ditempatkan di dalam kesatuan tentara Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. Syarat pemuda yang bisa masuk Heiho adalah berbadan sehat, berkelakuan baik dan berusia antara 18-25 tahun dengan pendidikan paling rendah sekolah dasar. Jumlah anggotanya sejak terbentuk hingga akhir pendudukan Jepang diperkirakan sebanyak 42.000 orang. Anggota Heiho yang ditugaskan bersama dengan tentara Jepang inilah yang memiliki pengalaman memegang senjata anti pesawat, tank, artileri medan, pengemudi dan lain-lain. Meski demikian, tidak ada di antara anggota Heiho ini yang menjadi perwira, sebab hanya tentara Jepang yang dapat menjadi perwira.

Selain Heiho, dibentuk pula Peta (Pembela Tanah Air) pada 3 Oktober 1943. Banyak pemuda yang sudah berpendidikan menengah bergabung dengan Peta termasuk yang pernah bergabung dengan Seinendan. Berbeda dengan Heiho yang anggotanya tidak bisa menjadi perwira, anggota Peta memiliki jenjang kepangkatan yaitu Giyuhei (prajurit sukarela), Bundancu (Komandan Regu), Shudancu (Komandan Peleton), Cudancu (Komandan Kompi), dan Daidancu (Komandan Batalyon).

Ada banyak motivasi tokoh-tokoh dan pemuda Indonesia mau bergabung dengan Peta. Ada yang sekadar ingin mencari nafkah atau pekerjaan yang layak, ingin terhindar dari kecurigaan Jepang karena mereka dulunya bekerja pada Belanda, atau diperintahkan oleh atasannya. Ada pula yang termotivasi ingin membantu Jepang memenangkan Perang Pasifik karena dengan demikian Indonesia bisa merdeka. Ada juga yang percaya ramalan Joyoboyo bahwa Jepang suatu saat akan meninggalkan Indonesia sehingga dibutuhkan tentara untuk membela tanah air sendiri.

Dibandingkan Heiho, anggota Peta dibekali jiwa kepemimpinan dalam lembaga Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Bogor. Setelah menyelesaikan pendidikannya, mereka akan ditempatkan ke daidan-daidan (batalyon) yang berjumlah 66 dan tersebar di Jawa-Madura dan Bali.

Tentara Peta (Kompas.com)
Tentara Peta (Kompas.com)

Metamorfosis TNI Masa Mempertahankan Kemerdekaan

Meski telah berusaha sekuat tenaga dan berbagai macam cara termasuk pengerahan pemuda melalui organisasi semi militer dan militer, Jepang tak mampu memenangkan Perang Pasifik. Satu persatu wilayah yang dikuasai lepas ke tangan Sekutu, hingga Jepang terpaksa menyerah tanpa syarat setelah dua bom atom masing-masing menghancurkan kota Hiroshima dan Nagasaki.

Penyerahan diri Jepang dimanfaatkan oleh para pemuda untuk mendesak pemimpin-pemimpin politik (golongan tua), dalam hal ini Sukarno dan Moh. Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan lepas dari pengaruh Jepang. Keduanya masing-masing adalah Ketua dan Wakil Ketua PPKI yang ingin membicarakan rencana proklamasi melalui rapat PPKI. Golongan pemuda menolak sehingga memicu terjadinya penculikan pada keduanya yang dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Di antara tokoh yang berperan dalam Peristiwa Rengasdengklok adalah Sukarni dan Abdul Latif Hendraningrat yang merupakan alumni Seinendan dan kemudian Peta.

Badan Keamanan Rakyat (BKR)

Pasca kemerdekaan, Sukarno yang telah terpilih menjadi Presiden melalui rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menolak pembentukan tentara. Alasannya untuk menghindari terjadinya bentrokan dengan tentara Jepang yang masih ada di Indonesia. Berdasarkan rapat PPKI 22 Agustus, maka pada 23 Agustus 1945 Presiden Sukarno mengumumkan berdirinya tiga badan baru yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR inilah yang berfungsi menjaga keamanan umum di daerah-daerah di bawah koordinasi KNI Daerah.

Meskipun banyak kalangan terutama pemuda yang kecewa karena tidak dibentuknya tentara, namun banyak pula di antara mereka terutama bekas Heiho dan Peta yang segera membentuk BKR di daerah masing-masing. Begitupun pemuda bekas Peta di Jakarta segera mengorganisasikan diri membentuk BKR Pusat. Awalnya mereka menunjuk Mr. Kasman Singodimejo memimpin BKR Pusat. Tetapi bekas Daidancu Peta ini diangkat menjadi Ketua KNIP sehingga posisinya digantikan oleh Kaprawi (Ketua Umum), Abdul Latif Hendraningrat (Ketua II) dibantu oleh Arifin Abdurrahman, Mahmud dan Zulkifli Lubis. Adapun di antara pimpinan BKR di daerah adalah Drg. Mustopo (Jawa Timur), Sudirman (Jawa Tengah), dan Aruji Kartawinata (Jawa Barat).

Meskipun BKR telah terbentuk dan terorganisir dari pusat hingga daerah, masih banyak pemuda yang tetap menginginkan segera dibentuknya tentara. Mereka mencoba mengusulkan kembali kepada Presiden Sukarno tetapi lagi-lagi ditolak. Akibatnya mereka kemudian membentuk Komite van Aksi yang bermarkas di Jl. Menteng 31. Di antara pemimpin komite ini adalah Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, dan Maruto Nitimiharjo.

Tentara Keamanan Rakyat (TKR)

Pemerintah baru menyadari pentingnya sebuah tentara reguler setelah menyaksikan provokasi-provokasi dari pasukan Belanda dan Sekutu yang telah dibebaskan dari tawanan Jepang. Tugas membentuk tentara nasional ini diserahkan kepada pensiunan Mayor KNIL Urip Sumoharjo. Maka pada 5 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan Supriyadi sebagai pimpinan. Berhubung bekas Daidancu Peta Blitar ini tidak pernah menempati posnya, atas prakarsa Markas Tertinggi TKR diadakan pemilihan Pemimpin Tertinggi TKR. Ternyata yang terpilih adalah Kolonel Sudirman (Komandan Divisi V/Banyumas) yang kemudian dilantik menjadi Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal, sedangkan Urip Sumoharjo tetap menduduki jabatan lamanya sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan pangkat Letnan Jenderal.

Meski telah terbentuk tentara nasional, badan-badan perjuangan pada 10 November 1945 tetap menggelar Kongres Pemuda yang dipimpin oleh Chairul Saleh dan Sukarni. Kongres di Yogyakarta ini diikuti oleh 332 utusan dari 30 organisasi pemuda di seluruh Indonesia. Meskipun saat kongres itu ada dua kubu yang bersaing tetapi berhasil membentuk Badan Kongres Pemuda Indonesia (BKMI).

Tentara Keamanan Rakyat (Koran Makassar)
Tentara Keamanan Rakyat (Koran Makassar)

Tentara Republik Indonesia (TRI)

Nama TKR bertahan hingga akhir tahun 1945, hingga berganti nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada awal Januari 1946. Sementara itu badan-badan perjuangan yang telah dibentuk dan menggelar kongres saat tentara nasional masih bernama TKR ditampung dalam wadah Biro Perjuangan dalam Kementerian Pertahanan.

Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Usia TRI cukup lama---lebih lama dibanding TKR---sebab TNI dibentuk pada Juni 1947. Artinya TRI bertahan hingga satu setengah tahun. Berbeda dengan TRI yang sepenuhnya berasal dari anggota-anggota TKR, TNI merupakan integrasi dari anggota TKR dan anggota badan perjuangan yang sebelumnya ditampung dalam Biro Perjuangan di Kementerian Pertahanan. Anggota TRI yang sebelumnya bernama TKR dan BKR merupakan pejuang bersenjata tetapi juga aktif dalam bidang sosial politik seperti di KNI dan pemerintahan, sedangkan anggota badan perjuangan merupakan pejuang di bidang sosial politik tetapi juga aktif dalam pertahanan negara.

Demikianlah metamorfosa dan proses integrasi kekuatan pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga bisa menyegarkan memori sejarah sekaligus menginspirasi jiwa nasionalisme kita sebagai bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun