Tanggal 1 Oktober 2023, bangsa Indonesia baru saja memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Berselang empat hari kemudian, tepatnya pada 5 Oktober 2023 bangsa ini kembali memperingati Hari Lahir TNI--masa Orde Lama-Orde Baru merupakan bagian tak terpisahkan dari ABRI. Bukan kebetulan jika pada 1965, kekompakan ABRI dan rakyat diuji melalui sebuah peristiwa pahit yang disebut Gerakan 30 September (G.30.S). Sebuah nama yang disematkan oleh pemimpin gerakan tersebut yakni Letkol Untung. Lalu adakah hubungan di antara kesaktian Pancasila dengan manunggalnya ABRI-rakyat?
Pancasila tetap sakti karena dijaga oleh benteng kuat bernama ABRI yang disokong oleh benteng lainnya yaitu rakyat Indonesia. Kedua benteng inilah yang berhasil menjaga Pancasila meskipun dirongrong oleh G.30.S yang berkeinginan memaksakan satu ideologi tertentu. Berikut kami sajikan kronologis manunggalnya ABRI dan rakyat pasca G.30.S berdasarkan buku "Jejak Langkah Pak Harto" yang ditulis oleh G Dwipayana dan Nazaruddin Syamsuddin.
Langkah Brilian Mayjend Suharto Menjadi Modal Kepercayaan Rakyat
Mayor Jenderal Suharto yang menjabat Panglima Kostrad tidak perlu menunggu waktu hingga berhari-hari untuk menentukan sikap. Di hari yang sama dengan aksi penculikan yang dilakukan oleh G.30.S, pagi-pagi sekali sudah terjadi kesibukan luar biasa di Markas Kostrad di Jl. Merdeka Timur, Jakarta. Pangkostrad Mayjend Suharto mengadakan pertemuan (rapat) hingga dua kali dengan beberapa stafnya untuk membahas dan menilai terjadinya penculikan terhadap sejumlah perwira TNI AD beberapa jam sebelumnya.
Di antara yang menjadi pembahasan adalah pidato pemimpin G.30.S Letkol Untung yang disiarkan melalui RRI pada pukul 07.20 pagi (WIB). Dalam rapat tersebut Mayjend Suharto menegaskan bahwa gerakan yang dipimpin oleh Letkol Untung ini pasti didalangi oleh PKI. Alasannya di masa revolusi Letkol Untung adalah mantan anak buahnya di Resimen XV Solo. Letkol Untung pernah dibina dan dididik menjadi kader komunis oleh salah satu tokoh komunis Indonesia bernama Alimin.
Di antara langkah brilian lain yang dilakukan oleh Mayjend Suharto adalah saat ia menelepon para panglima angkatan. Saat itu, ia menegaskan bahwa untuk sementara Pimpinan Angkatan Darat dipegang olehnya, dan meminta kepada panglima angkatan lainnya agar jangan mengadakan gerakan pasukan tanpa sepengetahuan Pangkostrad. Mayjend Suharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat karena biasanya jika Menteri Panglima AD (Menpangad) Jend. Ahmad Yani berhalangan, maka Pimpinan Angkatan Darat selalu diserahkan kepada Pangkostrad. Ini pula alasan Mayjend Suharto saat Presiden Sukarno mengangkat Mayjend Pranoto Reksosamudro sebagai Pimpinan Angkatan Darat.
Posisi Mayjend Suharto sebagai Pimpinan Angkatan Darat menjadi alasan dirinya berwenang menggerakkan kesatuan elit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang diperintahkan untuk melakukan penumpasan terhadap G.30.S/PKI di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Kesuksesan RPKAD melaksanakan operasi penumpasan semakin membawa citra positif Angkatan Darat di mata rakyat Indonesia saat itu. Sekaligus meneguhkan Mayjend Suharto menjadi sosok penting pasca G.30.S. Apalagi ia kemudian ditetapkan menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) oleh Presiden Sukarno pada 3 Oktober 1965, bahkan sehubungan dengan gugurnya Jend. Ahmad Yani Mayjend Suharto diangkat menjadi Menpangad pada 14 Oktober 1965. Ia dilantik pada 16 Oktober 1965 dengan pangkat Letnan Jenderal.
Dukungan Rakyat untuk ABRI
Pengangkatan Letjend Suharto menjadi Pangkopkamtib mendapat sambutan hangat dari rakyat Indonesia. Dua organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar Islam di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah segera menyatakan dukungannya kepada Letjend Suharto. Pengurus Besar (PB) NU telah menyatakan dukungannya sejak 15 Oktober 1965 bahwa mereka akan memberikan dukungan dan bantuan kepada Pembantu Presiden yang baru dalam usahanya memulihkan dan menegakkan keamanan serta ketertiban umum sesuai dengan garis kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno. Sehari berselang, tepatnya di hari pelantikan Letjend Suharto sebagai Menpangad, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengirimkan kawat kepada Letjend Suharto menyatakan keyakinannya bahwa Menpangad Letjend Suharto pasti akan dapat memulihkan keamanan dan ketertiban dengan segera.
Masih di hari yang sama, ribuan umat Islam berkumpul menggelar tabligh akbar di Masjid Kwitang, Jakarta. Mereka mengeluarkan pernyataan dukungan untuk Letjend Suharto yang ditandatangani oleh Habib Muhammad Al Habsyi. Mereka di antaranya menyatakan kepercayaan bahwa Presiden Sukarno telah memberikan kepercayaan yang tepat kepada Letjend Suharto. Mereka juga meyakini bahwa Letjend Suharto dengan bantuan ABRI dan seluruh rakyat akan berhasil menumpas G.30.S/PKI sampai ke akar-akarnya. Menjawab kepercayaan rakyat, Letjend Suharto menyerukan seluruh rakyat untuk menciptakan suasana tenang dan tenteram. Rakyat diminta menjauhkan diri dari segala bentuk hasutan dan fitnah, dan memencilkan golongan petualangan G.30.S/PKI. Ia juga meminta agar usaha-usaha keamanan di RK dan RT dipergiat di bawah bimbingan alat negara, dan agar semua alat produksi, distribusi, dan komunikasi diamankan/dicegah dari sabotase, petualangan dan pencolengan.
Dukungan lain yang harus dicatat adalah dari para mahasiswa. Dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mereka menyelenggarakan rapat umum di halaman Fakultas Kedokteran UI pada 3 November 1965. Rapat umum diikuti oleh 17 organisasi mahasiswa Pancasilais, antara lain HMI, PMII, PMKRI, GMNI, Germahii, SEMMI, Imada dan lain-lain. Di kesempatan itu para mahasiswa mengeluarkan suatu kebulatan tekad untuk membantu ABRI dalam menghancurkan gerakan kontra revolusi G.30.S/PKI dan semua orpol/ormas yang langsung maupun tidak langsung turut serta di dalamnya.
Ada satu kalimat Letjend Suharto yang semakin memperkuat kemanunggalan ABRI-Rakyat yang diucapkannya saat kaum ibu ikut menyatakan dukungannya pada 8 November 1965. Pak Harto menyatakan bahwa masalah pengembalian keamanan tidak hanya menjadi tugas ABRI saja, melainkan juga tugas dari seluruh masyarakat, karena masyarakat dan ABRI ibarat air dengan ikan. Tanpa air, ikan tak dapat hidup, begitu pula halnya dengan ABRI yang tidak dapat hidup tanpa rakyat.
Menjawab Fitnah TNI-AD Merebut Kekuasaan
Kemanunggalan ABRI-rakyat bukan tanpa ujian. Sebagaimana kita pahami bahwa alasan G.30.S melakukan penculikan terhadap para perwira TNI-AD karena mereka dituduh akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Hal ini sebagaimana pidato Letkol Untung melalui RRI pada 1 Oktober 1965. Letkol Untung menyatakan bahwa Gerakan Tigapuluh September yang dipimpinnya ditujukan kepada para jenderal yang disebutnya "Dewan Jenderal" yang bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Sukarno.
Menjawab fitnah ini, Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf ABRI (Menko Hankam/KASAB) Jenderal A.H. Nasution pada kesempatan Hari Pahlawan 10 November 1965 mengungkapkan bahwa hampir semua perwira tinggi TNI, termasuk Perwira Tinggi Kehormatan, telah menandatangani permohonan kepada Panglima Tertinggi (Pangti)---Presiden Sukarno---agar mereka diadili sebagai penghianat jika fitnah terhadap jenderal-jenderal AD terbukti kebenarannya. Sebaliknya mereka meminta agar tukang fitnah itu sendiri diberikan hukuman yang setimpal, bilamana ternyata fitnahan itu tidak benar.
Di momen yang sama Menpangad Letjend Suharto juga menyatakan bahwa gugurnya pahlawan revolusi merupakan hasil dari fitnah keji yang dilancarkan oleh goolongan tertentu dengan maksud untuk memisahkan TNI-AD dari rakyat, dan Pemimpin Besar Revolusi (PBR) Bung Karno. Sebelumnya, melalui sebuah pamflet yang disebar di Jawa Tengah, Menpangad di antaranya menegaskan bahwa Gerakan 30 September adalah yang sebenarnya gerakan penghianatan terhadap rakyat dan Penyambung Lidah Rakyat Bung Karno, pemecah belah persatuan kita, mengadu domba kita, yang sangat menguntungkan Nekolim (Neo-kolonialisme-imperialisme, jargon yang diciptakan oleh Bung Karno).
Sebenarnya, tanpa Menko Hankam/KASAB Jend A.H. Nasution dan Menpangad Letjend. Suharto menjelaskan hal di atas, rakyat dengan sendirinya sudah menaruh kepercayaan kepada ABRI dibuktikan dengan dukungan yang mereka berikan. Dukungan dimaksud terutama menjelang Letjend Suharto dilantik Menpangad atau saat pelantikan seperti telah disinggung sebelumnya.
Dukungan rakyat terhadap ABRI bukan hanya secara moril untuk pemulihan keamanan dan ketertiban, tetapi juga secara materil. Hal ini terbukti saat Menpangad Letjend Suharto menyerahkan uang sebesar Rp. 620 juta untuk 6 kesatuan dalam ABRI pada 26 November 1965. Uang yang terbilang sangat besar jumlahnya saat itu adalah sumbangan dari masyarakat kepada ABRI yang diteruskan kepada kesatuan-kesatuan untuk pelaksanaan operasi-operasi dan kesejahteraan mereka. Sumbangan ini sekaligus menjadi bukti bahwa rakyat tidak percaya dengan fitnah G.30.S bahwa ABRI khususnya Angkatan Darat akan merebut kekuasaan.
Tritura dan Kabinet Ampera sebagai Pembuktian Manunggalnya ABRI-Rakyat
Manunggalnya ABRI-rakyat kembali terbukti saat Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan beberapa stafnya hadir pada rapat umum KAMI di halaman FK-UI. Pada rapat umum 10 Januari 1966 inilah untuk pertama kali diperkenalkan "Tritura" singkatan dari Tiga Tuntutan Rakyat yaitu: (1) Bubarkan PKI, (2) Bersihkan kabinet dari unsur-unsur G.30.S/PKI, dan (3) Turunkan harga. Selesai rapat umum, para mahasiswa dengan jaket kuningnya bergerak menuju Departemen PTIP, dan kemudian ke Sekretariat Negara untuk pernyataan mereka.
Manunggalnya ABRI-rakyat berlanjut pasca keluarnya Tap MPRS No. IX/1966 yang memperkuat Supersemar yang sebelumnya diberikan oleh Presiden Sukarno kepada Menpangad Letjend Suharto. KAMI menyambut gembira dan menaruh harapan penetapan ini menjadi jalan merealisasikan Tritura. Itulah sebabnya 600 anggota Laskar Ampera yang dipimpin oleh Fahmi Idris dan David Napitupulu dari Presidium KAMI Pusat menyampaikan resolusi agar segera dibentuk Kabinet Ampera dengan Letjend Suharto sebagai formatur tunggal. Juga meminta pemerintah memperbaiki perekonomian dan melarang Marxisme/Komunisme dengan undang-undang. Resolusi ini diikuti oleh sebuah nota politik dari para pimpinan KAMI Pusat, Bandung, dan Surabaya yang disampaikan oleh Cosmas Batubara kepada Letjend Suharto. Nota politik KAMI inipun meminta agar Letjend Suharto segera membentuk Kabinet Ampera. Rangkaian resolusi dan nota politik mendukung segera dibentuknya Kabinet Ampera terjadi pada 1 Juli 1966.
Sepekan kemudian, tepatnya pada 7 Juli 1966 12 ormas yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan aksi dan delegasi KAMI (KAMI Pusat, Bandung dan Surabaya) menemui Menpangad Letjend Suharto untuk menyatakan dukungan dan pandangan. Di hari yang sama, datang pula utusan Front Pancasila yang meliputi seluruh ormas, orpol dan Golkar di Jakarta menyampaikan dukungan dan pandangan mereka. Dalam pertemuan tersebut, Letjend Suharto mengatakan bahwa sesudah selesainya Sidang Umum IV MPRS, yang terpenting adalah mengamankan dan menjamin agar seluruh ketetapan MPRS dapat dilaksanakan serta diamalkan sesuai dengan Tritura. Letjend Suharto sependapat dengan pandangan-pandangan dalam masyarakat bahwa kita memang harus membentuk Kabinet Ampera. Oleh karena itu kita perlu mempersiapkan langkah-langkah untuk pembentukan Kabinet Ampera. Selanjutnya berturut-turut dari 11 Juli hingga 14 Juli Menpangad Letjend Suharto menerima pimpinan dan perwakilan dari partai politik dan organisasi massa termasuk NU dan Muhammadiyah melanjutkan dengar pendapat sebagai langkah persiapan pembentukan Kabinet Ampera.
Dengan demikian rangkaian pertemuan yang dilakukan terutama untuk membahas pembentukan Kabinet Ampera menjadi bukti dukungan rakyat terhadap Menpangad Letjend Suharto untuk merelisasikan Tritura. Ini sekaligus semakin membuktikan manunggalnya ABRI dengan rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H