Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gerakan 30 September: Meneropong Sisi Lain Penyebab Kegagalan

4 Oktober 2023   13:52 Diperbarui: 4 Oktober 2023   15:55 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan PKI di Batavia tahun 1925 (Kompas.com)

Gerakan 30 September (G.30.S) telah lama usai bahkan mungkin sudah dianggap usang. Tetapi bagi pemerhati sejarah tema ini tetap mengandung magnet untuk dikaji ulang. Terutama saat mengetahui fakta bagaimana singkatnya waktu yang dibutuhkan oleh gerakan ini untuk gagal dan digagalkan sebelum pelaku-pelakunya sempat tampil di depan media atau konferensi pers untuk menjelaskan maksud mereka---meminjam istilah John Roosa. Ia adalah seorang peneliti yang telah mengkaji G.30.S sejak dirinya mendapat beasiswa pascadoktoral dari Rockefeller Foundation di Institute of International Studies di University of California-Berkeley, sebagai bagian dari Communities in Contention Program pada 2001-2002. Penulis berpendapat bahwa beberapa poin hasil kajian John Roosa bersama peneliti yang tergabung dalam Jaringan Kerja Budaya di Jakarta menarik untuk diangkat menjadi sebuah tulisan.

Tujuan kami menyajikan hal ini agar kita tidak salah paham mengapa gerakan ini gagal dan hanya menjadi bumerang khususnya secara organisasi menyebabkan terkuburnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal partai ini sempat berjaya bahkan menjadi salah satu dari The Big Four pemenang Pemilu 1955. Kegagalan G.30.S bukan semata-mata karena kecepatan dan ketepatan langkah penindakan yang dilakukan di bawah Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Letnan Jenderal Suharto, tetapi juga karena G.30.S memang telah "keropos" sejak perencanaan hingga eksekusi di lapangan. Maka tulisan kali ini mengajak kita untuk meneropong sisi lain penyebab kegagalan G.30.S merujuk pada pendapat John Roosa dari The Dapartmen of History at The University of British Columbia dalam bukunya "Dalih Pembunuhan Massal". Buku ini menjadi salah satu buku terbaik bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars di Kuala Lumpur (2007). Di antara sisi lain penyebab kegagalan yang menarik untuk disajikan adalah kecilnya jumlah personil, semrawutnya koordinasi militer-sipil, dan tidak memadainya fasilitas baik perangkat komunikasi maupun militer terutama kendaraan tempur.

John Roosa, Penulis buku Dalih Pembunuhan Massal (dok. blog John Roosa)
John Roosa, Penulis buku Dalih Pembunuhan Massal (dok. blog John Roosa)

Kecilnya Jumlah Personil Militer dan Sipil

Sebelum meneropong semrawutnya koordinasi militer-sipil dalam G.30.S ada baiknya kita menyimak data yang disajikan John Roosa terkait jumlah personil militer dan sipil yang mengambil bagian dalam G.30.S. Jumlah total personil militer adalah 2.130 sedangkan personil sipil berjumlah 2.000 orang berasal dari PKI dan ormas yang berafiliasi dengan salah satu partai pemenang pemilu 1955 ini. Meskipun John Roosa menyajikan data jumlah personil militer dan sipil yang mengambil bagian dalam G-30.S tetapi dia sendiri mengakui bahwa tidak ada angka yang andal tentang jumlah keseluruhan personil militer dan sipil yang ikut serta. Angka yang disajikan hanya menggambarkan sintesis data dari berbagai sumber. Walaupun angka ini tidak akurat, setidak-tidaknya dapat memberi gambaran kasar tentang kekuatan G.30.S.

Semrawutnya Koordinasi Militer-Sipil

Selain jumlah personil yang kecil, semrawutnya koordinasi juga diteropong oleh John Roosa sebagai salah satu penyebab kegagalan. Mengutip keterangan Supardjo (salah satu pimpinan gerakan dari unsur militer), pasukan menjadi kelaparan karena orang-orang sipil yang seharusnya memasok mereka tidak muncul. Hal ini berbeda dengan keterangan Njono (Ketua PKI Comite Djakarta Raja dan anggota politbiro) di depan sidang Mahmilub. Ia menyatakan bahwa sektor-sektor yang telah dibentuknya adalah sukarelawan sipil yang tidak bertanggung jawab terhadap pemasokan makanan untuk pasukan reguler. Justru menurutnya pasukan-pasukan di Lubang Buaya itulah yang semestinya menyediakan makanan untuk pasukan. Njono bahkan mengenang bahwa para sukarelawan di bawah pimpinannya sepanjang hari tidak berbuat apa-apa sambil menunggu nasi, seragam dan senjata dari pasukan yang ada di Lubang Buaya. Sepanjang hari pada 1 Oktober itu perintah para perwira untuk sektor-sektor hanyalah bersiaga. Njono menyadari bahwa G.30.S sudah "macet" ketika sampai lepas tengah hari persediaan yang dijanjikan belum kunjung datang.

Penulis (memakai ransel) di depan rumah penyiksaan dalam kawasan Lubang Buaya (dok. Pribadi)
Penulis (memakai ransel) di depan rumah penyiksaan dalam kawasan Lubang Buaya (dok. Pribadi)

Ketiadaan Peralatan Komunikasi dan Kendaraan Tempur

Pasukan-pasukan dalam operasi pagi hari 1 Oktober 1965 itu dipimpin oleh tiga perwira militer yaitu Letkol Untung dari pasukan kawal kepresidenan, Kolonel Abdul Latief dari garnisun Angkatan Darat Kodam Jaya dan Mayor Soejono dari penjaga pangkalan udara Halim Perdana Kusumah. Sedangkan pemimpin operasi dari kalangan sipil adalah Sjam Kamaruzzaman dan Pono dari organisasi klandestin, Biro Chusus yang dipimpin oleh Ketua PKI, D.N. Aidit. Kelima pimpinan inti inilah yang berkali-kali bertemu selama beberapa pekan sebelumnya dan mendiskusikan rencana operasi mereka.

Di manakah keberadaan kelima pimpinan inti ini saat gerakan operasi? John Roosa menuliskan bahwa pada pagi 1 Oktober, sejak sekitar pukul 2.00 lewat tengah malam, lima orang pimpinan gerakan ini duduk bersama di sebuah gedung yang tak jauh dari sudut barat laut Halim. Gedung ini adalah kantor divisi pengamat udara AURI, Pemetaan Nasional (Penas). Demi alasan-alasan yang tidak pernah dijelaskan, sekitar pukul 9.00 pagi, kelima tokoh tersebut pindah dari tempat persembunyian di gedung Penas ke rumah kecil Sersan Sujatno, yang terletak di kompleks kediaman di Halim.

Kelima pimpinan inti G.30.S di atas tinggal di rumah Sersan Sujatno sepanjang siang dan malam 1 Oktober 1965. Untung sendiri walaupun dikenal sebagai pimpinan G.30.S pasca siaran RRI hanya menghabiskan waktu sepanjang hari itu tanpa menampakkan diri di depan umum, bahkan juga tidak di hadapan pasukannya sendiri. Kelima pimpinan inti ini juga tidak mempunyai sarana untuk berkomunikasi dengan pasukan mereka di Lubang Buaya dan Lapangan Merdeka selain melalui kurir pribadi. Mereka tidak mempunyai peralatan walkie-talkie atau pesawat radio dua arah.

Kurir pribadi menjadi satu-satunya perantara komunikasi termasuk antara kelima pimpinan inti gerakan dengan Ketua PKI, D.N. Aidit yang juga bersembunyi dalam kompleks perumahan lain di Halim, tepatnya di rumah Sersan Suwandi yang berjarak kira-kira setengah mil dari rumah Sersan Sujatno. Kurir pribadi menjalankan tugasnya sebagai perantara komunikasi antara lima pimpinan inti dengan Ketua PKI dengan mengendarai jip mondar-mandir di antara kedua tempat persembunyian pimpinan gerakan sambil membawa dokumen. Terkadang satu atau dua di antara pimpinan inti menuju ke tempat Aidit untuk berbicara langsung.

Selain ketiadaan peralatan komunikasi, mengutip buku Dari Peristiwa ke Peristiwa yang ditulis oleh Wirahadikusumah, mereka juga tidak mempunyai perlengkapan yang hampir selalu dipakai oleh para perancang kudeta di sepanjang paroh kedua abad ke-20 yaitu tank. Seluruh kekuatan G.30.S terdiri dari tentara infanteri bersenjata. Gerakan ini juga tidak berusaha melumpuhkan tank-tank yang dikendalikan pasukan-pasukan yang berpotensi memusuhi G.30.S. Ketika Panglima Kodam Jaya mendengar berita penggerebekan di rumah-rumah para jenderal, ia memerintahkan beberapa pasukan tank untuk berpatroli di jalan-jalan ibu kota.

Mengingat jumlah pasukan yang terlibat kecil, penyebaran pasukan yang tidak berpengaruh, dan tidak ada tank, maka John Roosa berkesimpulan bahwa G.30.S tampaknya tidak dirancang untuk merebut kekuasaan negara. Mengikuti aksi-aksi G.30.S pagi hari itu, ia berpendapat bahwa gerakan ini tampak dirancang sebagai semacam pemberontakan para perwira muda terhadap sekelompok perwira senior. Meskipun demikian, keterlibatan sipil dalam gerakan membuat John Roosa berkesimpulan bahwa Gerakan 30 September tidak dirancang sebagai aksi militer murni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun