Di manakah keberadaan kelima pimpinan inti ini saat gerakan operasi? John Roosa menuliskan bahwa pada pagi 1 Oktober, sejak sekitar pukul 2.00 lewat tengah malam, lima orang pimpinan gerakan ini duduk bersama di sebuah gedung yang tak jauh dari sudut barat laut Halim. Gedung ini adalah kantor divisi pengamat udara AURI, Pemetaan Nasional (Penas). Demi alasan-alasan yang tidak pernah dijelaskan, sekitar pukul 9.00 pagi, kelima tokoh tersebut pindah dari tempat persembunyian di gedung Penas ke rumah kecil Sersan Sujatno, yang terletak di kompleks kediaman di Halim.
Kelima pimpinan inti G.30.S di atas tinggal di rumah Sersan Sujatno sepanjang siang dan malam 1 Oktober 1965. Untung sendiri walaupun dikenal sebagai pimpinan G.30.S pasca siaran RRI hanya menghabiskan waktu sepanjang hari itu tanpa menampakkan diri di depan umum, bahkan juga tidak di hadapan pasukannya sendiri. Kelima pimpinan inti ini juga tidak mempunyai sarana untuk berkomunikasi dengan pasukan mereka di Lubang Buaya dan Lapangan Merdeka selain melalui kurir pribadi. Mereka tidak mempunyai peralatan walkie-talkie atau pesawat radio dua arah.
Kurir pribadi menjadi satu-satunya perantara komunikasi termasuk antara kelima pimpinan inti gerakan dengan Ketua PKI, D.N. Aidit yang juga bersembunyi dalam kompleks perumahan lain di Halim, tepatnya di rumah Sersan Suwandi yang berjarak kira-kira setengah mil dari rumah Sersan Sujatno. Kurir pribadi menjalankan tugasnya sebagai perantara komunikasi antara lima pimpinan inti dengan Ketua PKI dengan mengendarai jip mondar-mandir di antara kedua tempat persembunyian pimpinan gerakan sambil membawa dokumen. Terkadang satu atau dua di antara pimpinan inti menuju ke tempat Aidit untuk berbicara langsung.
Selain ketiadaan peralatan komunikasi, mengutip buku Dari Peristiwa ke Peristiwa yang ditulis oleh Wirahadikusumah, mereka juga tidak mempunyai perlengkapan yang hampir selalu dipakai oleh para perancang kudeta di sepanjang paroh kedua abad ke-20 yaitu tank. Seluruh kekuatan G.30.S terdiri dari tentara infanteri bersenjata. Gerakan ini juga tidak berusaha melumpuhkan tank-tank yang dikendalikan pasukan-pasukan yang berpotensi memusuhi G.30.S. Ketika Panglima Kodam Jaya mendengar berita penggerebekan di rumah-rumah para jenderal, ia memerintahkan beberapa pasukan tank untuk berpatroli di jalan-jalan ibu kota.
Mengingat jumlah pasukan yang terlibat kecil, penyebaran pasukan yang tidak berpengaruh, dan tidak ada tank, maka John Roosa berkesimpulan bahwa G.30.S tampaknya tidak dirancang untuk merebut kekuasaan negara. Mengikuti aksi-aksi G.30.S pagi hari itu, ia berpendapat bahwa gerakan ini tampak dirancang sebagai semacam pemberontakan para perwira muda terhadap sekelompok perwira senior. Meskipun demikian, keterlibatan sipil dalam gerakan membuat John Roosa berkesimpulan bahwa Gerakan 30 September tidak dirancang sebagai aksi militer murni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H