Sudah lebih sepekan ini perhatian masyarakat Indonesia terbelah. Di tengah rasa penasaran menanti tiga pasangan capres dan cawapres yang akan berlaga di Pilpres 2024, perhatian masyarakat Indonesia juga terarah ke Pulau Rempang. Apa yang sesungguhnya tengah terjadi? Kami akan mencoba menyuguhkannya secara kronologis.
Kasus Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau mulai mencuat dan menjadi komsumsi publik saat serangkaian video beredar di grup-grup whatsapp. Sejumlah video itu memperlihatkan sebuah kerusuhan atau bentrokan. Simpati meluas karena terlihat anak-anak sekolah juga ikut dievakuasi bahkan ada yang terdampak bentrokan terutama efek gas air mata yang ditujukan kepada massa. Aparat menyebutkan bahwa efeknya ikut dirasakan oleh anak-anak karena gas air mata terbawa oleh angin.
Rencana Pembangunan Kawasan Rempang Eco City
Rempang Eco City adalah proyek gabungan antara Otoritas Zona Bebas Indonesia dalam hal ini Badan Pengusahaan (BP) Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang disebut telah bekerja sama dengan Xinyi Group. Rempang Eco City akan dipersiapkan menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi. Proyek ini sesungguhnya telah direncanakan sejak 2004. Diketahui sejak itu, PT MEG dipilih oleh Pemerintah Kota Batam dan BP Batam untuk mengelola lahan di Pulau Rempang dengan hak konsesi selama 80 tahun. Meski demikian, barulah sejak 2023 rencana pembangunan Rempang Eco City ini masuk dalam Program Strategi Nasional sesuai Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Bidang Perekonomian RI No. 7/2023. Proyek ini ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun hingga 2080. Berdasarkan situs BP Batam, proyek Rempang Eco City membutuhkan lahan 7.572 ha (45,89% dari total lahan Pulau Rempang seluas 16.500 ha).
Bentrokan yang terjadi pada 7 September 2023 Â antara warga Pulau Rempang dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam. Bentrokan ini terkait rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City yang dinilai akan menghilangkan nilai historis masyarakat Melayu yang telah mendiami Pulau Rempang sejak sebelum Indonesia merdeka. Nilai historis yang dimaksud adalah 16 kampung tua yang telah berdiri sejak 1834. Warga di beberapa kampung tua inilah yang menolak untuk direlokasi. Meski demikian, pihak BP Batam menjelaskan bahwa bukan 16 kampung yang akan direlokasi dalam waktu dekat ini tetapi hanya tiga kampung. Ini sehubungan dengan kebutuhan 2.000 hektare yang akan dikembangkan lebih dulu sesuai kesepakatan (MoU) PT MEG dengan Xinyi Glass Holdings Ltd., dari China untuk membangun pabrik pengolahan pasir kuarsa untuk memproduksi kaca.
Bukan Penggusuran Tetapi Penyerahan Hak Guna Usaha
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Menko Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD di Jakarta sehari pasca bentrokan. Ia menegaskan bahwa peristiwa yang terjadi di Rempang bukan penggusuran tetapi pengosongan lahan karena akan digunakan oleh pemegang haknya yang sah sejak 2001-2002, dalam hal ini sebuah entitas perusahaan. Lalu mengapa terjadi masalah seperti saat ini? Mahfud menjelaskan bahwa ada kekeliruan yang dilakukan, baik oleh pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengubah status fungsional tanah.
Bentrokan KeduaÂ
Bentrokan kedua ini terjadi setelah massa menggelar aksi demonstrasi di depan kantor BP Batam yang juga menuntut pembebasan tujuh rekan mereka yang ditangkap pada bentrokan empat hari sebelumnya. Meski polisi telah menangguhkan penahanan ketujuh orang tersebut, tetap terjadi bentrokan. Menurut kepolisian, massa melempari kantor BP Batam dengan batu dan kayu bahkan Molotov. Diterangkan pula bahwa sebanyak 26 aparat gabungan mengalami luka-luka. Adapun massa yang ditangkap pada aksi 11 September 2023 itu sebanyak 43 orang.
Mewaspadai Hoaks
Sebuah video menyebar ke berbagai grup whatsapp. Video yang bersumber dari Tik Tok itu diberikan keterangan "Ya Allah...Selamatkan saudara Kami di Rempang...Amin...". Video itu menyuguhkan pemandangan bentrokan yang memang sangat memancing simpati. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang sedang pawai di tengah letusan kembang api yang saling bersahutan. Untuk semakin menggugah emosi lantunan tahlil juga menggema.
Mengutip dari situs resmi BP Batam kami menemukan penjelasan bahwa video berdurasi 41 detik itu bukan terkait Pulau Rempang. Hal ini disampaikan oleh Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait. Ia menjelaskan bahwa peristiwa dalam video itu terjadi di Sao Paulo, Brazil. Lalu apa motif penyebaran video itu? Menurutnya, ada orang-orang tak bertanggung jawab yang ingin memprovokasi masyarakat kota Batam.
Hoaks kedua yang mengemuka adalah kabar Ustadz Abdul Somad dipanggil polisi karena membantu warga Rempang. Kabar ini diposting oleh salah satu akun dengan menandai 14 akun lainnya. Polisi sudah membantah kabar ini sebagaimana ditegaskan oleh Kabid Humas Polda Kepri Kombes. Pol. Zahwani Pandra Arsyad. Ia menambahkan bahwa pihaknya sedang melakukan pengejaran terhadap pelaku penyebar berita hoaks tersebut.
Unggahan hoaks lainnya bahkan menyasar ke pribadi bakal calon presiden Anies Baswedan. Unggahan itu diberi judul yang cukup mencolok, "Merinding...!!! ORASI ANIES DI BATAM REMPANG." Video yang berasal dari youtube ini diunggah sejak 16 September 2023 oleh salah satu akun facebook. Di antara kanal youtube yang membahas tentang hoaksnya video ini adalah kompas.com berdasarkan penelusuran tim cek fakta. Berdasarkan penelusuran, sampul foto pada video youtube itu ternyata mengarah ke salah satu artikel di kompas.com, tepatnya saat sejumlah organisasi buruh menuntut pembatalan UU Cipta Kerja di depan gedung DPR, pada 9 Nopember 2020. Begitupun saat kompas.com memutar video tersebut hingga tuntas, tak satu pun ditemukan bukti soal keterlibatan Anies dalam aksi demo di Pulau Rempang meskipun pada awal video terdengar suara Anies berorasi. Berdasarkan penelusuran kompas.com, audio tersebut serupa dengan pidato Anies saat pidato politik di Apel Siaga Perubahan Partai Nasdem pada 16 Juli 2023. Dokumentasi audio dan video dimaksud dapat dilihat di kanal YouTube Kompas.TV.
Pulau Galang Batal Jadi Tempat Relokasi
Pulau Galang pernah disebut-sebut akan menjadi tempat relokasi sekitar 5.000-10.000 warga Pulau Rempang yang terdampak proyek pembangunan Rempang Eco City, tetapi belakangan dipastikan rencana ini tidak akan terealisasi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Menurutnya warga Rempang yang terdampak proyek Rempang Eco City hanya akan dipindahkan ke kampung lain dalam wilayah Pulau Rempang. Ia juga menjelaskan bahwa ini bukan relokasi jadi hanya pergeseran karena masih di dalam Pulau Rempang bukan pulau lainnya. Bahlil menjelaskan hal ini di sela-sela acara ICIOG di Bali Nusa Dua Convention Center pada Rabu (20/9). Sebelumnya Bahlil sempat melakukan pertemuan dengan warga Pulau Rempang, bahkan bermukim selama dua hari di sana.
Kesepakatan Pemerintah dengan WargaÂ
Setelah bermukim dua hari dan melakukan serangkaian pertemuan dengan warga Pulau Rempang di sejumlah titik, ada beberapa hal yang menjadi kesepakatan antara pemerintah yang diwakili oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dengan warga. Di antara kesepakatan itu adalah warga bersedia dipindahkan ke kampung lain di Pulau Rempang yaitu Tanjung Banun. Di Tanjung Banun ini pemerintah akan menyediakan rumah tipe 45 seharga RP 120 juta per unit. Warga juga dijanjikan akan mendapatkan sertifikat milik 500 meter per rumah. Pemerintah juga berjanji akan menanggulangi sisa biaya bagi warga yang punya rumah lebih besar dan mahal. Bahkan meski ia bukan warga asli Rempang, ia akan tetap mendapat rumah sesuai haknya.
Mengenai waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan, estimasinya diperkirakan butuh waktu 6-7 bulan. Lebih jauh, pemerintah juga akan memperhatikan hak kesulungan yaitu hak atau warisan yang diteruskan kepada seseorang dalam sebuah keluarga. BP Batam telah meminta dana 1,6 triliun ke pemerintah pusat sebagai dana untuk menyiapkan sarana dan prasarana relokasi termasuk fasilitas tempat ibadah, jalan bahkan pelabuhan khusus karena sebagian besar warga Rempang bekerja sebagai nelayan. Jika pemerintah pusat tak menyanggupi dana tersebut, maka sudah dipersiapkan skenario dana talangan memanfaatkan setoran Uang Wajib Tahunan (UWT) dari pengelola 17.600 ha wilayah Rempang, yakni PT MEG yang sudah mengelola kawasan Rempang sejak 2004.
Masyarakat Terbelah?
Perkembangan terkini di Rempang menunjukkan tanda-tanda masyarakat belum kompak menyikapi rencana pergeseran sebagaimana disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Diketahui bahwa ada dua lembaga masyarakat adat yang berbeda sikap terkait kesepakatan seperti yang disampaikan oleh Bahlil. Warga yang tidak setuju dengan klaim Bahlil yang dianggap sepihak tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sedangkan warga yang setuju dengan pernyataan Bahlil tergabung dalam Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT).
Sebagai saudara sebangsa dan setanah air kita hanya berharap saudara kita di Pulau Rempang mendapatkan keadilan sebagaimana dijamin dalam dasar negara kita yakni "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H