Jika Agustus 1945 menjadi bulan proklamasi kemerdekaan, maka September menjadi bulan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Penyebabnya karena pada bulan ini Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda) mendarat di berbagai daerah di Indonesia seperti Surabaya dan Makassar.
Guru Muda hingga Menjadi Sekretaris LaskarÂ
Di antara tokoh pejuang di Makassar antara rentang 1945-1949 yang sangat menonjol peranannya dan sangat merepotkan Belanda adalah Robert Wolter Monginsidi---kadang juga ditulis Mongisidi. Berikut kisah perjuangannya menggunakan sumber utama buku "SOB: 11 Desember 1949, sebagai Hari Korban 40.000 di Sulawesi Selatan" diterbitkan hasil kerjasama Kodam XIV Hasanuddin, IKIP Ujung Pandang dan Universitas Hasanuddin tahun 1975.
Wolter merupakan pemuda kelahiran Menado tepatnya di Malalayang pada 14 Pebruari 1925. Bote---demikian ia akrab disapa di kampung halamannya---merupakan anak keempat dari pasangan Petrus Monginsidi dan Lina Suawa. Pendidikan tingkat SD hingga SMP diselesaikan. di Menado. Setelah itu ia dididik untuk dipersiapkan menjadi Guru Bahasa Jepang. Dia sempat mengajar di Liwutung, Minahasa dan Luwuk sebelum merantau ke Makassar untuk bergabung dengan pemuda pejuang melawan Belanda yang kembali ingin berkuasa.
Pendidikan yang terbilang tinggi saat itu membuatnya diberi amanah sebagai Sekretaris Laskar Pemberontak Republik Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Begitupun pengalamannya berdomisili di dalam kota Makassar membuatnya memahami kondisi kota sehingga sepak terjangnya sangat merepotkan Belanda.
Sebenarnya pada 27 Oktober 1945, Wolter---demikian ia dipanggil oleh rekan-rekan seperjuangannya---pernah ditangkap bersama 46 pemuda lainnya di SMP Nasional (masih ada hingga kini dan beralamat di jalan Sam Ratulangi). Wolter berhasil melarikan diri lalu kembali bergabung dengan pemuda-pemuda pejuang yang memutuskan menyebar ke daerah-daerah membentuk kelaskaran seperti LAPTUR Jeneponto, KRIS MUDA Mandar, GAPIS Soppeng, PPI Bantaeng, LPBAR Bulukumba, PRI Wajo, PKR Luwu, BPRI Pare-pare, PENGGERAK MAKALE Rantepao, Harimau Indonesia (Makassar-Maros-Pangkep-Barru). Wolter sendiri bergabung dengan laskar Harimau Indonesia. Mereka lalu sepakat menyatukan laskar-laskar itu ke dalam LAPRIS pada 17 Juni 1946. Dalam struktur kepengurusan LAPRIS, Wolter menjabat Sekretaris.
Merebut Jip Kapten dan Menyerang Markas Belanda
Aksi heroik pertama yang dilakukan oleh Wolter dan pemuda lainnya adalah saat merebut jip musuh. Saat itu, di sekitar jalan Sam Ratulangi, empat pemuda berseragam KNIL masing-masing berpangkat Sersan dan Kopral menyetop jip yang dikemudikan seorang perwira KNIL berpangkat Kapten. Wolter menodongkan pistol dan merebut jip serta pistol sang Kapten. Begitupun seragam dan tanda pangkat segera dikenakan oleh Wolter, sementara sang kapten ditinggalkan hanya dengan memakai pakaian dalam. Selanjutnya jip melaju ke markas KNIL di sekitaran jalan.Cenderawasih.
Dengan hormat senjata oleh para penjaga, jip menerobos masuk ke markas. Sambil berputar, Wolter memberondong musuh dengan tembakan. Setelah terjadi kepanikan, ia bersama rekan-rekannya melarikan diri ke arah Tidung. Sejak serangan itu, wajah Wolter mulai dikenal oleh tentara Belanda.
Terkepung dan Kehilangan Sahabat yang Meledakkan Diri
Hal ini menimpa Wolter pada pertempuran 16 Nopember 1945 menghadapi KNIL. Saat itu, Wolter dan Emmy Saelan terjebak di atas rumah. Wolter membawa kelewang (pedang). Sementara Emmy bersenjatakan oven-gung dan empat hauders (granat). Berhubung kekuatan tidak seimbang, maka mereka berdua memutuskan keluar dengan menyamar sebagai penduduk biasa.
Pertempuran heroik lainnya terjadi selama lima hari (3-7 Januari 1947) di pinggiran kota Makassar, saat para pejuang termasuk Wolter, Maramis dan Emmy berhadapan dengan 14 mobil pasukan KNIL bersenjata lengkap. Akibatnya terjadi pertempuran tidak seimbang.
Hanya berselang dua pekan dari pertempuran lima hari di pinggiran kota Makassar, para pemuda pejuang kembali berhadapan dengan serdadu Belanda. Pertempuran pada 22 Januari 1947 ini sekaligus menjadi pertempuran terakhir Wolter bersama Emmy.. Saat itu pukul 10.00 WITA pertempuran menghebat. Wolter memerintahkan Emmy yang bertugas sebagai Kepala Palang Merah untuk mengumpulkan pemuda yang luka-luka ke arah Kassi-Kassi, Tidung (sekarang jalan Emmy Saelan). Wolter juga menugaskan 10 pemuda bersenjata untuk mengawal Emmy. Naas karena mereka kemudian terkepung oleh pasukan KNIL/NICA yang dibantu oleh penghianat. Emmy yang terdesak lalu memutuskan meledakkan granat. Akibatnya, ia berhasil menewaskan delapan serdadu musuh, tetapi ia dan pemuda yang luka-luka juga ikut gugur.
Wolter Tertangkap karena Penghianatan
Wolter terus melakukan berbagai aksi yang merepotkan Belanda, baik tindakan sabotase maupun penyergapan, bahkan serangan gerilya masuk kota Makassar. Kita bisa menyaksikannya melalui film layar lebar yang didekasikan untuk perjuangan Wolter dan pemuda pejuang di Makassar berjudul "Tapak-Tapak Kaki Monginsidi". Di film yang diproduksi tahun 1982 ini sosok Wolter Robert Monginsidi diperankan oleh aktor senior yang banyak bermain di film-film bergenre perjuangan yaitu Roy Marten.
Aksi Wolter baru terhenti saat ia tertangkap pada 26 Oktober 1948. Ketika itu keberadaannya diketahui oleh pemuda-pemuda di gang 22 yang berhianat. Mereka melaporkan keberadaan Wolter sehingga ia terkepung dan ditangkap oleh serdadu KNIL. Sebenarnya ada sebuah granat di tangannya, tetapi tidak diledakkannya karena akan membahayakan keselamatan rakyat di gang itu. Akhirnya ia tertangkap tetapi masih dapat melangkah tegap sambil dikawal serdadu KNIL.
Pekikan "Merdeka" Sebelum Eksekusi dan Peti Jenazah Berselubung Merah Putih
Setelah empat bulan dalam penjara, Belanda menggelar pengadilan bagi Wolter yang tentu saja hasilnya sudah dapat ditebak. Pengadilan yang dilaksanakan pada 26 Maret 1949 memutuskan menjatuhkan hukuman mati bagi Wolter. Meski demikian, eksekusi mati baru dilaksanakan pada 5 September 1949. Kepada regu penembak ia masih sempat berjabat tangan sambil meminta, "Tembaklah setelah Saya berteriak merdeka." Ia juga meminta agar matanya tidak perlu ditutup. Wolter menghembuskan nafas terakhirnya sambil tetap menggenggam erat Injil di tangannya.
"Lebih tujuh peluru merenggut jiwanya, luka pada mulut mengerikan," demikian kata Dr. Towolio yang memeriksa jenazahnya. Sementara sahabat seperjuangan Wolter, Ali Walangadi menyebutkan sembilan peluru. Belanda sempat mengirim mobil jenazah tetapi ditolak oleh massa. Peti jenazah berselubung merah putih diusung sepanjang 7 km di kota Makassar. Sepanjang jalan hening, pintu jendela rumah tertutup, dan serdadu Belanda menghilang. Sepanjang jalan sesak oleh lautan manusia. Tempat akhir Robert Wolter Monginsidi dibaringkan adalah Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang. Bagi yang ingin menziarahi makamnya sangat mudah menemukannya, karena makam Harimau Malalayang ini terletak di bagian depan tidak jauh dari gerbang makam.
Kalimat "Setia Hingga Akhir" Warisan untuk TNI
"Setia Hingga Akhir" hingga kini menjadi motto TNI khususnya Kodam XIV Hasanuddin. Tulisan "setia hingga akhir dalam keyakinan" ditemukan di dinding tahanan Wolter. Ada juga yang menyebutkan tertulis dalam secarik kertas yang terselip dalam kitab Injil yang dipegangnya saat dieksekusi. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam film Tapak-Tapak Kaki Monginsidi. Diperlihatkan Wolter meminta secarik kertas dan pulpen sebelum dieksekusi untuk menuliskan kalimat "Setia hingga akhir dalam keyakinan." Kertas itu lalu diselipkan dalam kitab Injil yang dipegangnya hingga tubuhnya terkulai di hadapan regu penembak.
Permohonan Maaf pada Ayahanda dan Pesan untuk Adik Tercinta
Selain kalimat "Setia hingga akhir dalam keyakinan", sebelum dieksekusi Wolter juga sempat menuliskan surat untuk ayah dan adiknya. Untuk ayahnya Wolter menulis, "Ayahku yang kucinta: "Ampunkanlah segala kesalahan saya, tugas saya belum selesai tetapi Tuhan telah memanggilku...Saya mengerti betul kesusahan Bapak, tetapi biarlah ini dipandang sebagai pengorbanan untuk bangsa." (Makassar, 3 September 1949).
Sedangkan untuk adiknya tercinta, Wolter menitip pesan: "Adikku Marie, Saya Kakakmu, meninggalkan surat ini buatmu :...Hanya ini yang Saya bisa sebut di sini; Jangan takut melihat waktu yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian, walaupun tenagaku belum semua dikeluarkan....Jangan berhenti menuntut ilmu, pun dengan keteguhan keyakinan pada Tuhan, berihtiar dengan segala usaha....Kalau jatuh 9x bangunlah 10x; jika tidak bisa bangun maka berusahalah untuk duduk. Tuhan menyertai engkau adikku. Kakakmu, Bote" (Makassar, 3 September 1949).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H