Unjuk Rasa dan Mogok Militer Terjadi di Tengah Memanasnya Konflik dengan Palestina
Kekhawatiran PM Netanyahu yang diungkapkan oleh Kepala Stafnya tentu dapat dimaklumi, sebab sebelum aksi mogok ratusan perwira dan personil militernya, Israel baru saja mendapat serangan pada awal bulan ini, tepatnya sejak Selasa (4/7). Serangan yang menyasar kerumunan orang di kota Tel Aviv itu berbentuk penyerangan menggunakan mobil yang dilanjutkan dengan penikaman. Diberitakan 8 orang terluka dalam serangan ini. Menurut Polisi Israel pelaku yang merupakan warga Palestina dan berasal dari Tepi Barat berhasil dilumpuhkan.
Serangan bersenjata yang menargetkan warga Israel terjadi lagi dua pekan setelah serangan ke Tel Aviv, tepatnya pada Minggu (16/7). Ini artinya hanya berselang dua hari sebelum aksi mogok militer Israel. Lagi-lagi aksi penembakan oleh seorang warga Palestina di Tepi Barat itu menyebabkan tiga warga Israel terluka.
Selain serangan insidentil itu, suasana konflik Israel-Palestina memang sedang memanas. Pertempuran masih berlangsung sejak awal tahun ini di Tepi Barat dan mengakibatkan tewasnya lebih dari 150 lebih warga Palestina. Serangan Israel ini merupakan balasan terhadap serangan pejuang Palestina yang mengakibatkan tewasnya 26 orang Israel. Salah seorang yang tewas adalah tentara Israel.
Situasi Memanas, RUU Kontroversial Tetap Disahkan: Israel Terbelah?
Meski di tengah memanasnya kembali konflik Israel-Palestina dan bergejolaknya gelombang penolakan, RUU yang dinilai kontroversial tetap disahkan pada Senin (24/7). Seperti yang ditakutkan oleh massa yang berunjuk rasa selama tujuh bulan, semua anggota koalisi pemerintahan menyatakan mendukung. Sementara itu anggota parlemen oposisi memilih bersikap walk out dari pemungutan suara setelah negosiasi mereka menemui jalan buntu. Akibatnya pihak sayap kanan memenangi pemungutan suara dengan kemenangan mutlak 64-0.
Pihak oposisi khawatir undang-undang yang disahkan akan menjadi akhir dari demokrasi dan awal tidak terlindunginya minoritas non-Yahudi di negara ini. Oposisi juga meyebut rencana pengesahan itu adalah kudeta dan mengancam Israel. Lebih jauh pegesahan rancangan undang-undang yang membatasi wewenang Mahkamah Agung itu dianggap menjadi awal dari kediktatoran karena wewenang lembaga Yudisial ini dibatasi untuk mengawasi anggota parlemen dan pemerintah. Dalam RUU, pengadilan dilarang melakukan pemeriksaan atas keputusan kabinet dan menteri. Sebaliknya kekuasaan parlemen bertambah karena mereka diberikan kewenangan menunjuk hakim. Para kritikus juga menilai bahwa reformasi undang-undang ini akan melemahkan peradilan sehingga membahayakan kebebasan sipil, membahayakan ekonomi, dan melemahkan hubungan dengan sekutu Barat.
Sehubungan dengan alasan terakhir, keadaan dalam negeri Israel memang tidak luput dari pantauan negara sekutu mereka, di antaranya Amerika Serikat. Sebelum pengesahan, Presiden Joe Biden sendiri bahkan mengingatkan, "Dari sudut pandang teman-teman Israel di AS, sepertinya proposal reformasi peradilan saat ini tak lebih dari sekadar situasi yang semakin memecah-belah."
Kita tunggu perkembangan Israel pasca disahkannya undang-undang tentang reformasi peradilan Israel. Apakah Israel akan tetap chaos, atau bahkan terbelah seperti yang diingatkan oleh Joe Biden, atau PM Netanyahu dengan dukungan koalisinya tidak akan tergoyahkan dan justru dapat mengendalikan situasi dan menstabilkan kembali keadaan dalam negerinya? Menarik untuk kita tunggu. Apalagi pasca disahkannya rancangan undang-undang dimaksud, seperti telah diprediksi, massa kembali ke jalan-jalan kota Tel Aviv, bahkan protes berlanjut hingga malam hari. Seperti aksi sebelumnya, mereka juga kembali memblokir jalan utama di Israel. Mereka juga turut berunjuk rasa di stasiun utama kereta api dan bursa efek.sambil melemparkan uang kertas palsu sebagai simbol korupsi. Bedanya massa aksi terbesar dalam sejarah Israel ini akan bertambah setelah serikat buruh terbesar Israel Histadrud berunding untuk rencana aksi pasca pengesahan RUU.