Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kerusuhan di Prancis: Isu Diskriminasi, Sumpah Khadafi, hingga Revolusi

18 Juli 2023   13:27 Diperbarui: 18 Juli 2023   14:32 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Revolusi Prancis (Kompas.com)

Siapa yang tak kenal Paris dengan Menara Eifel-nya yang jadi ikon romantisme Prancis bahkan Eropa?  Hitler saja menyempatkan berfoto di depan Menara Eifel saat pasukan Der Fanzer Jerman berbaris memasuki Paris di era Perang Dunia II. 

Namun sepertinya saat ini Paris tak lagi romantis karena kerusuhan yang telah melanda kotanya. Apa sesungguhnya yang terjadi di negara yang ibukotanya juga berjuluk sebagai kota mode ini?

Kerusuhan Buntut Penembakan Remaja Keturunan Afrika

"France police shooting: Protest spread over killing of Nahel". Demikian salah satu judul berita sebuah media di Eropa. Tidak meragukan lagi bahwa pemicu atau sebab khusus kerusuhan yang berpotensi melumpuhkan beberapa kota di Prancis ini adalah penembakan aparat kepolisian terhadap seorang anak berusia 17 tahun bernama Nahel Merzouk pada Selasa, 27 Juni 2023. 

Nahel adalah remaja keturunan Afrika Utara, lebih tepatnya Aljazair-Maroko. Video yang memperlihatkan insiden penembakan ini beredar di sosial media dan menjadi viral. 

Diketahui kemudian bahwa awalnya Nahel tidak menggubris permintaan polisi untuk menghentikan kendaraannya, hingga mobil mercedez berwarna kuning yang dikendarai Nahel berhenti setelah menabrak trotoar. Ternyata karena usianya masih 17 tahun, anak ini tidak mampu menunjukkan izin berkendara.

Menyusul viralnya peristiwa penembakan terhadap Nahel ini, terjadi gelombang demonstrasi sejak 28 Juni 2023 yang disusul oleh tindakan kerusuhan. 

Pengunjuk rasa bukan hanya merusak kendaraan, fasilitas umum dan bangunan seperti supermarket, bank dan sekolah tetapi juga melakukan penjarahan. Mereka juga berani melawan kepolisian yang berusaha meredam aksi dengan cara melemparkan kembang api. 

Diberitakan 45.000 polisi telah dikerahkan ke seluruh wilayah Prancis karena aksi massa yang semula di kota Paris telah menyebar ke kota-kota lain, termasuk Marseille dan Lyon yang paling menderita dengan kerusuhan dan penjarahan. 

Kerusuhan ini disebut-sebut juga telah melumpuhkan banyak sektor seperti pendidikan, ekonomi dan perkantoran bahkan memicu PHK karena banyaknya kantor yang dibakar massa.

Himbauan keluarga Nahel agar pengunjuk rasa tidak lagi melakukan pengrusakan fasilitas umum tidak mampu menghentikan aksi massa. Bagi keluarga Nahel, kerusuhan yang dilakukan oleh pendemo bukan lagi bertujuan memperjuangkan kematian Nahel karena kerusakan yang diakibatkan sangat besar. 

Kerusuhan juga tidak mampu diredam pasca pernyataan Perdana Menteri Elizabeth Borne bahwa penembakan itu bertentangan dengan aturan dan pernyataan Presiden Emmanuel Macron bahwa penembakan terhadap Nahel tidak bisa dimaafkan. 

Kerusuhan baru berangsur mereda pada Senin, 3 Juli 2023. Meski demikian, polisi tetap dipersiapkan untuk menjamin kondisi tetap tenang pasca kerusuhan.

Mobil-mobil yang dibakar saat kerusuhan (Kompas.id)
Mobil-mobil yang dibakar saat kerusuhan (Kompas.id)

Tragedi Nahel Mengungkap Diskriminasi di Prancis?

Sebenarnya keluarga Nahel dan pengacaranya telah menyatakan bahwa penembakan terhadap Nahel tidak terkait dengan masalah rasial. Demikian pula yang disampaikan oleh pihak kepolisian dan pemerintah. 

Pemerintah mengklaim telah memilih sekulerisme sebagai fondasi kunci yang menjunjung tinggi kesetaraan untuk seluruh rakyat. Meski demikian, suka atau tidak suka, isu rasial dan diskriminasi tetap mengemuka seiring peristiwa itu, sebab prilaku aparatnya dinilai tidak mencerminkan prinsip kesetaraan ini. 

Dikutip dari salah satu media, sebuah lembaga pengawas hak asasi manusia di Prancis merilis pada 2017 bahwa pria muda berkulit hitam memiliki kemungkinan 20 kali lebih besar untuk diberhentikan oleh polisi. Lembaga Amnesty Internasional bahkan ikut bersuara di PBB terkait sikap kepolisian Prancis yang dinilai diskriminatif ini. 

Namun Kementerian Luar Negeri PBB justru menyatakan bahwa Prancis dan Kepolisian sedang berjuang melawan rasisme dan diskriminasi.

Prancis Sedang Termakan Sumpah Khadafi?

Ini adalah salah satu hal unik untuk diulik. Sebagaimana diketahui bahwa Prancis ikut berperan dalam persekutuan yang menumbangkan Moammar Khadafi di Libya. 

Khadafi pernah mengingatkan Eropa akan kesulitan dengan imigran dari Timur Tengah dan Afrika jika Libya tidak stabil. 

Ia ingin memberi pesan bahwa kestabilan Libya didukung oleh kepemimpinan dirinya dan jika ia ditumbangkan maka Libya tidak lagi stabil. Itu artinya Eropa akan mengalami masalah imigran jika dirinya ditumbangkan.

Apa yang pernah diingatkan oleh Khadafi dua belas tahun lalu saat mulai terdesak oleh koalisi Barat, kini dialami oleh Prancis. Imigran dari Afrika memang telah menjadi persoalan bagi negara ini. 

Bahkan di jantung kotanya, tepatnya di pinggiran Paris telah terdapat satu kawasan yang warga mudanya sering mengalami bentrok dengan aparat kepolisian. 

Kawasan yang identik dengan keterbelakangan ekonomi ini dihuni oleh sebagian besar warga imigran Afrika. Masalah ekonomi ini lalu menjalar menjadi kerawanan sosial.

Lalu apakah masalah imigran ini terkait dengan tragedi yang tengah dialami Prancis? Itay Lotem, seorang pakar study Prancis di University of Westminster menyatakan bahwa pembunuhan polisi terhadap remaja di salah satu komunitas kurang mampu di pinggiran Paris memicu gelombang kemarahan. 

Ia bahkan menyebut aksi ini sebagai "pembalasan yang hampir baik". Menurutnya, kerusuhan yang menyebar luas di Prancis juga terkait dengan ketimpangan ekonomi dan sosial yang dialami oleh imigran minoritas Afrika di negara ini khususnya di kawasan pinggiran Paris.

Moammar Khadafi (Kompas.com)
Moammar Khadafi (Kompas.com)

Riwayat Protes terhadap Diskriminasi hingga Revolusi

Warga Prancis termasuk masyarakat yang dikenal tidak lelah turun ke jalan menyuarakan apa yang mereka anggap sebagai haknya. Mundur ke belakang, pada Januari 2023, mereka telah turun ke jalan memprotes usia pensiun, demo rompi kuning memprotes kenaikan pajak bahan bakar (2018), dan pada 2005 terjadi kerusuhan yang serupa dengan kerusuhan yang baru-baru ini terjadi. 

Pemicunya pun mirip, yakni tewasnya dua remaja berkulit hitam setelah kendaraan mereka berkejar-kejaran dengan kendaraan aparat kepolisian. Protes massa ketika itu juga disertai dengan kerusuhan yang mengakibatkan ribuan mobil terbakar.

Jika mau dirunut ke masa yang lebih awal, maka tentu kita semua masih ingat dengan Revolusi Prancis abad ke-18. Rakyat Prancis ketika itu turun ke jalan menyuarakan ketimpangan sosial yang terutama disebabkan oleh diskriminasi yang dilakukan oleh raja dan kaum bangsawan bersama para pendeta. 

Ilustrasi Revolusi Prancis (Kompas.com)
Ilustrasi Revolusi Prancis (Kompas.com)

Mereka yang menjadi korban praktik diskriminasi ini adalah pengusaha kaya (Borjuis), kaum intelektual dan rakyat jelata yang dibebani berbagai macam pajak. Tentu saja yang paling menderita adalah rakyat jelata disebabkan kewajiban membayar pajak yang menekan kehidupan mereka.

Rakyat Prancis yang saat itu diinspirasi oleh beberapa pemikir seperti Montesquie, J.J. Rosseau dan Voltaire juga menuntut penghapusan monarki absolut yang ditengarai menjadi penyebab krisis di negara mereka. 

Sebagai gantinya, mereka menuntut Monarki Konstitusi. Bukan hanya turun ke jalan, mereka juga melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat yang dianggap sebagai simbol kesewenangan raja dan para bangsawan. 

Puncaknya pada 14 Juli 1789 mereka melakukan penyerangan terhadap Penjara Bastille yang menjadi simbol absolutisme. Pada penyerangan itu mereka membebaskan para tahanan politik, membunuh para penjaga dan merebut sejumlah amunisi. 

Tidak cukup sampai di situ, mereka juga menyerbu istana raja di Versaille serta sejumlah rumah bangsawan kaya dan menjarah harta mereka. Bahkan yang paling diingat dalam sejarah adalah saat mereka memenggal kepala raja mereka, Louis XVI bersama istrinya Madame Maria Antoinette yang juga ikut berperan menciptakan krisis di Prancis dengan gaya hidupnya yang glamour. 

Keduanya dieksekusi menggunakan Guillotine, alat pemenggal kepala yang telah ada sebelum masa Revolusi Prancis untuk mengeksekusi para terdakwa dengan cepat. 

Alat yang diperkirakan telah mengeksekusi sekitar 40.000 orang pada masa Revolusi Prancis ini terakhir dipergunakan pada 1977.  Guillotine atau gillete kemudian diadopsi menjadi silet dalam bahasa Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun