Pemilu Turki memang telah usai hampir tiga pekan lalu. Pemilu putaran kedua yang digelar pada 28 Mei 2023 itu berhasil dimenangkan oleh Recep Tayyip Erdogan dengan perolehan suara 52,16% suara. Hasil ini sekaligus mengukuhkan puncak kepemimpinan Erdogan untuk ketiga kalinya di Republik yang didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk.Â
Ini tentu hal yang luar biasa karena sosok Erdogan yang dinilai "agamis" akan banyak mendapat penentangan dari kaum "sekularis" yang lebih menjagokan saingannya Kemal Kilicdaroglu. Ditambah lagi kondisi krisis yang dialami Turki yang diprediksi akan membuat banyak pendukungnya menimbang-nimbang dukungannya.
Tidak mengherankan jika sebelum pemilihan digelar, perkiraan hasilnya lebih banyak mengunggulkan Kemal. Bahkan sejumlah lembaga survey meramalkan, Erdogan akan langsung kalah dalam putaran pertama. Namun ramalan ini dipastikan meleset, setelah di putaran pertama saja (15 Mei 2023), Erdogan telah meraup 49,50% suara.Â
Nyaris mencapai ambang batas perolehan suara untuk menang satu kali putaran. Hal ini tentu menarik untuk didiskusikan. Soalnya kemenangan Erdogan yang dipersonifikasikan sebagai tokoh yang akan membangkitkan nilai-nilai Islam ini adalah ketiga kalinya di negara sekuler yang berbatasan langsung dengan negara Eropa.Â
Lalu apa yang mengantar Erdogan kembali memenangi pemilu Turki meskipun kali ini dengan susah payah? Jawabannya tersimpul dalam satu kalimat, "Dia juga punya daya tarik bagi masyarakat umum. Anda tidak bisa menyangkalnya. Dia memancarkan kekuatan. Itu satu hal yang tidak dilakukan Kilicdaroglu." Demikian yang diakui oleh Prof. Soli Ozel, dosen Hubungan Internasional Universitas Kadir Has (Kompas.com).
Apa yang disimpulkan oleh Prof. Soli Ozel ini dibuktikan dengan jejak Erdogan di pemerintahan. Ia pernah menjabat Walikota Istanbul kemudian Perdana Menteri Turki selama 11 tahun (2003-2014). Kini ia menjadi satu-satunya presiden Turki yang terpilih secara demokratis selama tiga periode dalam rentang waktu sembilan tahun (2014-2023).
Catatan kali ini mencoba "menapaktilas" perlawanan Erdogan terhadap sekulerisme. Mengapa ini penting? Karena ini adalah sebuah keberanian luar biasa, mengingat beberapa pemimpin Turki yang pernah mencoba melawan sekulerisme, hidupnya berakhir dengan tragis.Â
Itulah sebabnya, ada kaum oposisi yang memprediksi Erdogan hidupnya akan berakhir seperti Adnan Menderes yang hidupnya berakhir di tiang gantungan karena mencoba melawan sekulerisme dan "mengislamisasi" kembali Turki.
Mengumandangkan "Perang" dengan Sekulerisme
Dunia mengetahui bahwa Sekulerisme Turki lahir setelah kejatuhan Ottoman oleh Mustafa Kemal di era Sultan Hamid II. Beberapa kebijakan Mustafa Kemal misalnya penutupan madrasah, pelarangan jilbab dan pakaian keagamaan, dan adzan dirubah ke bahasa Turki.Â