Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kisah Teladan Kejujuran dan Kesederhanaan Tiga Pahlawan

10 November 2022   17:05 Diperbarui: 10 November 2022   17:21 1650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Ki Hajar Dewantara sebulan sebelum meninggal. Sumber: Kompas.com

Peringatan 10 Nopember tahun ini mengusung tema "Pahlawanku Teladanku." Tema ini sangat tepat karena bangsa ini masih terkena krisis keteladanan. Mungkin karena setiap peringatan Hari Pahlawan, kita lebih mementingkan seremoni peringatannya tanpa berusaha merenungkan maknanya. 

Padahal para pahlawan sesungguhnya telah mengajarkan dan meneladankan makna hidup bagi generasi di belakang mereka misalnya tentang kejujuran dan kesederhanaan. Sayangnya, makna hidup yang mereka wariskan sepertinya belum sepenuhnya dibumikan. Apa buktinya? Silahkan kita simak data korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2022 ini.

Kompas.com (21/9/2022) melansir laman resmi KPK mengungkap bahwa dalam semester pertama tahun ini, KPK telah melakukan 66 penyelidikan, 60 penyidikan, 71 penuntutan, 59 perkara inkracht dan mengeksekusi putusan 51 perkara. 

Dari total perkara penyidikan, 68 tersangka telah ditetapkan oleh KPK dari total 61 surat perintah penyidikan (sprindik) yang diterbitkan. Selama semester ini KPK telah memulihkan kerugian keuangan negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi atau asset recovery sebesar Rp 313,7 miliar.

Semoga kita merasa malu jika membandingkan prilaku kita dengan para pahlawan yang telah berjasa besar memerdekakan bangsa ini tetapi belum tentu sempat menikmatinya. Jikapun ada yang sempat menikmati kemerdekaan, sekadar memenuhi kebutuhan mereka dan keluarga. Berikut penulis mencoba mengisahkan kembali kejujuran dan kesederhanaan dari para pahlawan kita berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber. D

i antara sumber dimaksud adalah buku ajar Kurikulum Merdeka yang diterbitkan oleh Kemendikbud mengutip buku Orange Juice For Integrity (2014), Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan buku Untuk Republik: Kisah-kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa sebagaimana dikutip dari faisalbasri.com (khusus untuk kisah Haji Agus Salim).

Bung Hatta dan Kisah Biaya Pengobatan serta Dana Non Bujeter

Bung Hatta bersama mesin ketiknya. Sumber: ruangguru.com
Bung Hatta bersama mesin ketiknya. Sumber: ruangguru.com

Sosok Mohammad Hatta dikenal sebagai seorang negarawan besar Indonesia. Beliau bukan hanya menjadi ujung tombak dalam beberapa perundingan dengan pemerintah kolonial Belanda, tetapi beliau juga adalah ekonom jempolan dan orang pertama yang menjabat wakil presiden Republik Indonesia. Meski demikian, kejujuran dan kesederhanaan tidak lantas hilang dari jiwanya.

Mahar Mardjono menjadi saksi hal tersebut ketika mendampingi Bung Hatta berobat ke luar negeri pada 1970-an. Mantan Rektor Universitas Indonesia yang juga seorang dokter ini pernah berkisah, "Waktu singgah di Bangkok dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Bung Hatta bertanya kepada sekretarisnya, Pak Wangsa, jumlah sisa uang yang diberikan pemerintah untuk berobat. Ternyata sebagian uang masih utuh karena ongkos pengobatan tak sebesar dari dugaan. Segera Hatta memerintahkan mengembalikan uang sisa itu kepada pemerintah via Kedubes RI di Bangkok."

 Hal serupa juga dilakukan Bung Hatta sesaat setelah lengser dari posisinya sebagai wakil presiden. Kala itu, Sekretaris Kabinet Maria Ulfah menyodorkan uang Rp 6 juta yang merupakan sisa dana nonbujeter untuk keperluan operasional dirinya selama menjabat wakil presiden. 

Namun, dana itu ditolaknya. Bung Hatta mengembalikan uang itu kepada negara. Bung Hatta melakukan itu karena tak ingin meracuni diri dan mengotori jiwanya dengan rezeki yang bukan haknya. Dia selalu teringat pepatah Jerman, 'Der Mensch ist, war es iszt', sikap manusia sepadan dengan caranya mendapat makan.

Ki Hajar Dewantara dan Kisah Mi Rebus Usai Dilantik Jadi Menteri

Potret Ki Hajar Dewantara sebulan sebelum meninggal. Sumber: Kompas.com
Potret Ki Hajar Dewantara sebulan sebelum meninggal. Sumber: Kompas.com

Terlahir dari keluarga bangsawan, tepatnya putra GPH Soerjaningrat dan cucu Pakualam III, tidak menjadi alasan seorang Raden Soewardi Soerjaningrat bergelimang harta. Tokoh yang kelak dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara ini justru memegang teguh prinsip hidupnya, "Lebih baik tak punya apa-apa tapi senang hati daripada bergelimang harta namun tak bahagia."

Prinsip hidupnya inipun dibuktikannya saat ditetapkan menjadi orang pertama yang menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia. Setelah pelantikan, ia tiba di rumah saat malam telah larut. Tak ada pesta atau jamuan istimewa yang menyambut kedatangannya. Bahkan sekadar lauk-pauk pun tak tersedia di meja makan. Nyi Hajar lantas menyuruh salah satu anak mereka untuk membeli mi godhok (rebus) di pinggir jalan.

Kisah kejujuran dan kesederhanaan Ki Hajar terwakili oleh pengakuan beliau sendiri sebagaimana terpampang di Museum Sumpah Pemuda, "Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia, dengan cara Indonesia. Namun, yang penting untuk kalian yakini, sesaat pun aku tak pernah mengkhianati tanah air dan bangsaku, lahir maupun batin aku tak pernah mengorup kekayaan negara. Aku bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkan langkah perjuanganku."

Haji Agus Salim dan Kisah Rumah Kontrakan

Haji Agus Salim bersama Sukarno. Sumber: Kompas.com
Haji Agus Salim bersama Sukarno. Sumber: Kompas.com

Siapa yang tidak kenal dengan Haji Agus Salim? Beliau adalah salah satu dari sembilan perumus dasar negara, anggota dewan Volksraad pada zaman Hindia Belanda, diplomat ulung di luar negeri agar kemerdekaan kita mendapat pengakuan internasional, dan Menteri Luar Negeri di awal kemerdekaan. Beliau juga dikenal menguasai sembilan bahasa. 

Meski demikian, ia sangat bersahaja dan merakyat hingga dijuluki The Grand Old Man. Tetapi tahukah kita bahwa hingga wafatnya beliau masih berpola hidup nomaden. Berpindah dari satu gang ke gang lainnya, dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya. Barulah beberapa tahun setelah beliau wafat, anak-anaknya patungan membeli salah satu rumah kontrakan ayahnya itu demi mengenang sang ayah.

Di dalam sebuah gang sempit, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang pada perkampungan di sudut kota, di tempat becek, di kawasan kumuh, di sanalah Agus Salim dan istrinya, Zainatun Nahar, menjalani hari-hari mereka. 

Di Jakarta, pasangan ini pernah tinggal di daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, di gang-gang Kernolong, Tuapekong, Gang Listrik dan masih banyak lagi. Khusus ketika tinggal di Gang Listrik, menjadi kenangan tersendiri. Di Gang Listrik, justru Haji Agus Salim dan istrinya Zainatun Nahar hidup tanpa listrik gara-gara tak sanggup membayar iuran listrik.

Salah satu muridnya yang juga diplomat pejuang, Mr. Mohammad Roem mengenang kasur gulung, ruang makan, dapur, dan tempat menerima tamu di kontrakan Haji Agus Salim yang bersatu dalam satu ruangan besar. Nasi goreng kecap mentega menjadi menu favorit, khususnya ketika keluarga Salim sedang tidak ada makanan lain yang lebih bergizi, dan tidak ada uang. 

Murid politiknya yang lain, Kasman Singodimedjo, mengagumi kondisi guru besarnya itu sambil mengingat adagiumnya yang menciutkan hati, "leiden is lijden" yang berarti memimpin itu menderita.

Ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, Willem Schermerhorn mencatat Agus Salim sebagai negosiator tangguh, pandai bicara dan berdebat. Ia hanya mempunyai satu kelemahan: selama hidupnya melarat. Mungkin nanti akan ada "pendekatan khusus" agar Salim tidak galak-galak amat dalam perundingan. 

Biar miskin, Salim ternyata tidak pernah mempan disogok, baik terang-terangan maupun secara tersamar. Baginya, jangankan yang haram; yang halal saja belum tentu ia mau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun