Di dalam sebuah gang sempit, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang pada perkampungan di sudut kota, di tempat becek, di kawasan kumuh, di sanalah Agus Salim dan istrinya, Zainatun Nahar, menjalani hari-hari mereka.Â
Di Jakarta, pasangan ini pernah tinggal di daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, di gang-gang Kernolong, Tuapekong, Gang Listrik dan masih banyak lagi. Khusus ketika tinggal di Gang Listrik, menjadi kenangan tersendiri. Di Gang Listrik, justru Haji Agus Salim dan istrinya Zainatun Nahar hidup tanpa listrik gara-gara tak sanggup membayar iuran listrik.
Salah satu muridnya yang juga diplomat pejuang, Mr. Mohammad Roem mengenang kasur gulung, ruang makan, dapur, dan tempat menerima tamu di kontrakan Haji Agus Salim yang bersatu dalam satu ruangan besar. Nasi goreng kecap mentega menjadi menu favorit, khususnya ketika keluarga Salim sedang tidak ada makanan lain yang lebih bergizi, dan tidak ada uang.Â
Murid politiknya yang lain, Kasman Singodimedjo, mengagumi kondisi guru besarnya itu sambil mengingat adagiumnya yang menciutkan hati, "leiden is lijden" yang berarti memimpin itu menderita.
Ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, Willem Schermerhorn mencatat Agus Salim sebagai negosiator tangguh, pandai bicara dan berdebat. Ia hanya mempunyai satu kelemahan: selama hidupnya melarat. Mungkin nanti akan ada "pendekatan khusus" agar Salim tidak galak-galak amat dalam perundingan.Â
Biar miskin, Salim ternyata tidak pernah mempan disogok, baik terang-terangan maupun secara tersamar. Baginya, jangankan yang haram; yang halal saja belum tentu ia mau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H