Hal serupa juga dilakukan Bung Hatta sesaat setelah lengser dari posisinya sebagai wakil presiden. Kala itu, Sekretaris Kabinet Maria Ulfah menyodorkan uang Rp 6 juta yang merupakan sisa dana nonbujeter untuk keperluan operasional dirinya selama menjabat wakil presiden.Â
Namun, dana itu ditolaknya. Bung Hatta mengembalikan uang itu kepada negara. Bung Hatta melakukan itu karena tak ingin meracuni diri dan mengotori jiwanya dengan rezeki yang bukan haknya. Dia selalu teringat pepatah Jerman, 'Der Mensch ist, war es iszt', sikap manusia sepadan dengan caranya mendapat makan.
Ki Hajar Dewantara dan Kisah Mi Rebus Usai Dilantik Jadi Menteri
Terlahir dari keluarga bangsawan, tepatnya putra GPH Soerjaningrat dan cucu Pakualam III, tidak menjadi alasan seorang Raden Soewardi Soerjaningrat bergelimang harta. Tokoh yang kelak dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara ini justru memegang teguh prinsip hidupnya, "Lebih baik tak punya apa-apa tapi senang hati daripada bergelimang harta namun tak bahagia."
Prinsip hidupnya inipun dibuktikannya saat ditetapkan menjadi orang pertama yang menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia. Setelah pelantikan, ia tiba di rumah saat malam telah larut. Tak ada pesta atau jamuan istimewa yang menyambut kedatangannya. Bahkan sekadar lauk-pauk pun tak tersedia di meja makan. Nyi Hajar lantas menyuruh salah satu anak mereka untuk membeli mi godhok (rebus) di pinggir jalan.
Kisah kejujuran dan kesederhanaan Ki Hajar terwakili oleh pengakuan beliau sendiri sebagaimana terpampang di Museum Sumpah Pemuda, "Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia, dengan cara Indonesia. Namun, yang penting untuk kalian yakini, sesaat pun aku tak pernah mengkhianati tanah air dan bangsaku, lahir maupun batin aku tak pernah mengorup kekayaan negara. Aku bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkan langkah perjuanganku."
Haji Agus Salim dan Kisah Rumah Kontrakan
Siapa yang tidak kenal dengan Haji Agus Salim? Beliau adalah salah satu dari sembilan perumus dasar negara, anggota dewan Volksraad pada zaman Hindia Belanda, diplomat ulung di luar negeri agar kemerdekaan kita mendapat pengakuan internasional, dan Menteri Luar Negeri di awal kemerdekaan. Beliau juga dikenal menguasai sembilan bahasa.Â
Meski demikian, ia sangat bersahaja dan merakyat hingga dijuluki The Grand Old Man. Tetapi tahukah kita bahwa hingga wafatnya beliau masih berpola hidup nomaden. Berpindah dari satu gang ke gang lainnya, dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya. Barulah beberapa tahun setelah beliau wafat, anak-anaknya patungan membeli salah satu rumah kontrakan ayahnya itu demi mengenang sang ayah.