Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cheng-Ho: Tujuh Ekspedisi Menjelajahi Samudra Bukti Cinta pada Nusantara

1 November 2022   17:00 Diperbarui: 1 November 2022   17:50 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Laksamana Cheng-Ho. Sumber: Britannica (Kompas.com)

Hampir satu abad sebelum para penjelajah Eropa mengarungi Samudra, seorang penjelajah samudra dari Asia telah melakukannya. Jika penjelajah Eropa mencari benua atau daerah baru untuk dijadikan daerah jajahan, penjelajah Asia ini justru lebih dulu mengunjungi banyak negeri untuk menjalin hubungan perdagangan dan diplomasi. 

Inilah misi Laksamana Laut ternama dari Tiongkok bernama Cheng He atau lebih akrab disebut Cheng-Ho. Ia mulai memimpin ekpedisi armada Dinasti Ming sejak usianya baru 34 tahun. Usia yang masih sangat muda dibandingkan prestasinya yang sangat mendunia. 

Memimpin tujuh ekpedisi menjelajahi samudra sejauh 50.000 km dalam rentang 28 tahun (1405-1433)---meliputi tiga pemerintahan Kaisar Ming. Selama kurun waktu itu ia telah mengunjungi banyak negeri di tiga kawasan, Asia, Afrika dan Timur Tengah (sekarang terletak dalam 30 negara). Ia memulai penjelajahannya di usia 34 tahun dan mengakhirinya di usia 62 tahun.

Dikebiri Sejak Remaja Agar Fokus Mengabdi di Istana

Cheng Ho atau Zheng He lahir dengan nama Ma He pada 1371 M di daerah Kun dekat perbatasan Laos dan Myanmar (sekarang bagian dari Propinsi Yunan, China bagian Selatan) atau daratan Asia Tengah, Mongolia. Ia anak ke-2 pasangan Ma Hazhi dan Wen dari suku Hui---etnis minoritas yang identik dengan Muslim. 

Nama "Ma" sendiri adalah nama marga di Yunan untuk menyebut Muhammad. Ia disebut keturunan bangsawan Persia karena masih cicit dari Sayyid Ajjal Syamsuddin Umar, Gubernur Yunan pada masa Dinasti Yuan.

Saat usianya sekitar 12 tahun, Ma He menjadi salah satu anak yang ditawan oleh Dinasti Ming saat mereka menyerbu Yunan, sementara ayahnya telah dieksekusi menyusul kekalahan Dinasti Yuan oleh Dinasti Ming. Ma He dan anak-anak lainnya dibawa ke Nanjing lalu dikebiri untuk dijadikan Kasim (eunuch) atau abdi di istana. 

Ma He sendiri diabdikan kepada putra Kaisar Zhu Yuanchang yang bernama Zhu De di istana Beiping (sekarang Beijing) dengan nama San Bao---dalam dialek Fujian bisa diucapkan menjadi San Po atau Sam Po. 

Ada yang berpendapat bahwa setelah mengabdi pada Dinasti Ming, Ma He berpindah keyakinan dari Islam ke Budha---pendapat ini masih perlu dikaji sehubungan dengan bukti artefak seperti cindera mata yang bertuliskan Ayat Kursi dan makam yang bertuliskan kalimat Bismillahirrahmanirrahim dan Allahu Akbar.

Seiring pengabdiannya, Ma He tumbuh menjadi pemuda dengan postur di atas rata-rata temannya. Badannya tinggi besar bahkan ada yang menyebutnya lebih dari dua meter. Sebuah postur badan yang serasi dengan bentuk wajahnya yang lebar.

Lukisan Cheng-Ho. Sumber: id.wikipedia.org
Lukisan Cheng-Ho. Sumber: id.wikipedia.org

Karir Ma He sebagai kasim di istana Beijing mulai bersinar setelah tuannya, Zhu De menduduki tahta Kaisar Ming. Ma He kemudian menjadi orang dekat kaisar bahkan ia menjadi salah satu penasihat. Ma He lalu mendapat penghargaan yakni berhak menggunakan nama  Cheng---sebuah nama marga yang terhormat.

Kaisar Zhu De yang juga disebut Kaisar Yong Le ini berambisi mengembalikan kejayaan negeri Tiongkok sejak kejatuhan Dinasti Mongol (1368). Cheng Ho yang ketika itu masih berusia 34 tahun menawarkan diri mengadakan muhibah ke berbagai negeri. Kaisar tentu kaget sekaligus terharu karena muhibah ini berarti sebuah perjalanan mengarungi samudra yang bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun. 

Meski demikian, Kaisar akhirnya menyetujui dengan catatan muhibah ini mengusung dua misi utama yaitu mengembangkan perdagangan internasional dan diplomasi untuk meluaskan pengaruh kekaisaran Tiongkok (Dinasti Ming).

Armada Besar di Setiap Ekspedisi

Kaisar Zhu De mendukung sepenuhnya misi Laksamana Cheng-Ho. Hal ini dibuktikan dengan menyertakan armada besar di setiap ekspedisi yang dipimpinnya. Hal itu sudah terlihat sejak ekspedisi pertama yang bertepatan dengan musim semi 1405. Saat itu terlihat ada 62---catatan lain menyebut 300 kapal yang dipersiapkan di Pelabuhan Taichang di muara sungai Yang Tse. 

Di antara kapal-kapal itu ada yang terlihat menyolok karena ukurannya yang sangat besar. Itulah kapal induk yang akan digunakan oleh Laksamana Cheng-Ho. Panjang kapal yang mencapai 138 m dan lebar 56 m menjadikannya kapal terbesar yang pernah dibuat sejak abad ke-5. 

Kapal induk ini bukan hanya dilengkapi peralatan navigasi yang canggih pada masa itu tetapi juga teknologi penyimpanan pangan yang baik sehingga sayur-sayuran akan tetap segar meski harus berlayar dalam waktu lama. Sanitasi yang baik juga mampu mencegah penyakit agar tidak mewabah. Kapal ini kemudian dikenal dengan nama "Kapal Pusaka" atau "Kapal Harta Karun."

Ilustrasi armada Cheng-Ho. Sumber: oseanografi.lipi.go.id
Ilustrasi armada Cheng-Ho. Sumber: oseanografi.lipi.go.id

Armada Cheng-Ho juga disertai oleh kapal-kapal dengan fungsinya masing-masing, misalnya kapal pengangkut perbekalan dan kuda, kapal bahan makanan, kapal pembantu, kapal duduk (kapal komando) dan kapal tempur yang tujuannya bukan untuk penyerbuan tetapi sekedar berjaga-jaga terhadap kemungkinan serangan perompak. 

Itulah sebabnya, kapal-kapal itu tidak banyak mengangkut senjata. melainkan justru banyak membawa cindera mata untuk mendukung misi diplomasi mereka. Tidak lupa mereka membawa barang-barang seperti kain sutra, keramik porselen, barang logam (emas, perak, besi, perunggu), kertas, teh, obat-obatan, dan alat pertanian.

Secara keseluruhan, jumlah awak dalam armada besar ini mencapai 27.800 awak dengan beragam profesi seperti di bagian komando, navigasi, logistik, protokol dan sekretaris, medis, dan militer.

Inilah gambaran armada Cheng-Ho di ekspedisi pertamanya, maka tidak mengherankan jika Cheng-Ho memecahkan rekor penjelajahan samudera dengan armada kapal terbesar sepanjang sejarah pelayaran. Rekor berikutnya adalah kapal kayu terbesar dan terbanyak. 

Hingga saat ini rekor Cheng-Ho belum terpecahkan. Meski dengan armada besar dan anak buah yang luar biasa banyak, Cheng-Ho masih mampu mengendalikan armadanya untuk tidak melakukan penjajahan di negeri-negeri yang dikunjungi atau disinggahi. Alih-alih menjajah, Cheng-Ho justru menjalin persahabatan dengan penguasa-penguasa negeri yang dikunjungi. Ia bahkan diyakini turut menyebarkan Islam di kalangan masyarakat.

Di setiap ekpedisinya, Cheng-Ho juga menyertakan penerjemah bahasa yang merupakan lulusan sekolah bahasa di Nanjing di antaranya Ma Huan dan Guo Chongli yang mahir berbahasa Arab dan Persia. Tugas penerjemah ini sangat mendukung misi diplomasi. Di antara karya Ma Huan adalah manuskrip yang diterjemahkan menjadi Pengamatan Menyeluruh tentang Pantai-Pantai Samudera. 

Adapun untuk fungsi pemimpin spiritual selama perjalanan Cheng-Ho di antaranya memilih seorang pemimpin masjid dari Xian bernama Hassan. Tugasnya memimpin kegiatan keagamaan selama ekspedisi, misalnya memimpin penguburan di laut atau shalat hajat agar terhindar dari bahaya di laut terutama saat ada badai.

Selama kurun waktu 28 tahun (1405-1433) Cheng-Ho telah memimpin tujuh ekspedisi ke berbagai negeri yang tersebar di wilayah Asia, Afrika dan Timur Tengah---meliputi tiga pemerintahan Kaisar Ming (Zhu De atau Yong Le, Hong Xi dan Xuan De).

Rute Pelayaran Cheng-Ho. Sumber: oseanografi.lipi.go.id
Rute Pelayaran Cheng-Ho. Sumber: oseanografi.lipi.go.id

Di ekspedisi pertamanya Cheng-Ho mengunjungi negeri-negeri yang sekarang terletak di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Ekspedisi kedua dan ketiga mencapai India dan Sri Lanka. Cheng-Ho mengantarai ekpedisi ketiga dengan keempatnya dengan pulang kampung untuk berziarah ke makam ayahnya sekaligus berpuasa dan berlebaran. 

Barulah setelah itu, ia memulai ekpedisi keempat yang berhasil mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini kembali diulangi pada ekpedisi kelima dan keenam, hanya saja di ekspedisi kelima Cheng-Ho singgah di Semenanjung Arabia dan menyempatkan menunaikan ibadah haji. Setelah berhaji, ia bernama Haji Mahmud Shams.

Di ekspedisi ketujuh, Cheng-Ho yang saat itu berusia 60 tahun (1431-1433) kembali ke Semenanjung Arab dan Laut Merah. Saat perjalanan pulang dalam ekpedisi terakhirnya ini, Cheng-Ho wafat di Calicut (India) dalam usia 62 tahun. Ada yang menyebut jenazahnya dilarung ke Laut Malabar, ada pula yang menyebut bahwa Cheng-Ho sempat sampai ke Nanjing dan wafat dua tahun kemudian. 

Ia dimakamkan di sebuah desa di pinggir kota Nanjing tepatnya di kawasan Niu Shou Shan (Gunung Niu Shou) Propinsi Jiangsu. Selain bertuliskan Bismillahirrahmanirrahim, di atas makam ini terpahat kalimat yang juga berbahasa Arab bertuliskan Allahu Akbar.

Enam Kali Mengunjungi Nusantara

Nusantara sudah menjadi tujuan Cheng-Ho sejak ekspedisi pertama. Ada yang menuliskan bahwa Nusantara dikunjungi oleh Cheng-Ho sebanyak tujuh kali. Ini artinya Nusantara dikunjungi di setiap ekspedisinya. Tetapi jika berdasarkan buku Maritime Silk Road wilayah di Nusantara terutama Sumatra dan Jawa dikunjungi oleh Cheng-Ho sebanyak enam kali. 

Minus ekspedisi keenam, karena pada pelayaran ini Cheng-Ho menuju Hormuz, Afrika Timur dan Jazirah Arab. Ini adalah pembuktian betapa besar cinta Cheng-Ho terhadap Nusantara dan betapa ia ingin agar Tiongkok menjalin hubungan persahabatan dengan para penguasa negeri di Nusantara.

Di antara yang dikunjungi Cheng-Ho di Nusantara adalah Selat Malaka, Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Di Selat Malaka armada Cheng-Ho sempat mengalahkan perompak pimpinan Chen Zhuji, asal Cina Kanton yang menguasai Selat Malaka. Setelah ribuan anak buahnya tewas, Chen Zhuji sendiri dibawa ke Nanjing untuk dihadapkan ke Kaisar. 

Setelah mengalahkan Chen Zhuji, Cheng-Ho mengunjungi Kerajaan Samudera Pasai di Aceh untuk menjalin persahabatan. Di kesempatan itu, ia menghadiahkan lonceng raksasa "Cakra Donya". Hingga saat ini, lonceng itu masih tersimpan di Museum Banda Aceh.

Di Jawa, Cheng-Ho mengunjungi Cirebon yang saat itu masih di bawah kekuasaan Pajajaran. Di antara cindera mata yang dipersembahkan oleh Cheng-Ho adalah guci dan piring-piring dengan lafaz tauhid di antaranya sebuah piring bertuliskan Ayat Kursi yang hingga saat ini masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon. 

Daerah yang pernah ditinggali Cheng-Ho di Cirebon adalah Muara Jati (sekarang area makam Sunan Gunung Jati) dan di sini seorang pengikut Cheng-Ho bernama Syekh Nurjati memutuskan berdakwah. Cheng-Ho dan anak buahnya juga mengajarkan manajemen kesyahbandaran, pembuatan jala dan cara bercocok tanam. 

Di wilayah Jawa lainnya, Cheng-Ho sempat berkeliling ke berbagai daerah seperti Indramayu, Karawang, Semarang, Tuban, Gresik, Surabaya dan akhirnya Mojokerto untuk bertemu dengan Raja Majahahit, Wikramawardhana. Di daerah Indramayu, giliran pengikut Cheng-Ho lainnya yang bernama Syekh Quro yang menyebarkan Islam.

Sementara di Semarang, seorang anak buah Cheng-Ho bernama Wang Jinghong beserta beberapa pengikutnya bahkan memilih menetap dan menyebarkan Islam. Mereka kemudian menikah dengan wanita-wanita setempat. Inilah cikal bakal etnis Tionghoa di daerah itu. Wang Jinghong sendiri kemudian dikenal dengan nama Kyai Juru Mudi Dampo Awang.

Patung Cheng-Ho di Simongan, Semarang, Jawa Tengah. Sumber: historia.id
Patung Cheng-Ho di Simongan, Semarang, Jawa Tengah. Sumber: historia.id

Warisan Cheng-Ho

Di antara warisan mendunia yang ditinggalkan oleh Cheng-Ho adalah buku Zheng He's Navigation Map yang memuat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan dunia. Buku ini bukan hanya mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15, tetapi juga mengubah jalur perdagangan Tiongkok yang sebelumnya hanya bertumpu di Jalur Sutra.

Selain itu, ekspedisi Cheng-Ho ke berbagai negeri telah meninggalkan kesan yang sangat mendalam sehingga berbagai even diadakan untuk mengenangnya. Misalnya pada 2005 diselenggarakan Pameran Internasional Cheng-Ho di Semarang dan Pekan Olah Raga Cheng-Ho Sriwijaya di Palembang. 

Selain untuk untuk mengabadikan sosok Cheng-Ho, Dinas pos di enam negara Asia (Cina, Hongkong, Makau, Malaysia, Singapura, dan Indonesia) serentak meluncurkan perangko seri Cheng-Ho bertema 600th Anniversary of Admiral Zheng He. Terbaru di bulan Agustus 2022, warga Semarang menggelar Prosesi Budaya memperingati 617 Tahun Kedatangan Laksamana Cheng-Ho.

Perangko seri 600Th Cheng-Ho. Sumber: mongabay.co.id
Perangko seri 600Th Cheng-Ho. Sumber: mongabay.co.id

Lalu apa warisan yang paling fenomenal khususnya menyangkut dakwah Islam Laksamana Cheng-Ho? Tentu saja pendirian masjid-masjid berarsitektur Tiongkok di berbagai negeri yang pernah dikunjungi atau disinggahinya. 

Khusus di Indonesia, masjid yang biasanya dinaungi oleh yayasan dilengkapi dengan pesantren atau asrama ini didirikan di banyak kota seperti Surabaya, Malang, Pasuruan, Palembang, Jambi, Makassar, Gowa, Kutai, Samarinda, Pontianak, dan Batam. Salah satu masjid Cheng-Ho yang sering penulis singgahi ini terletak di pinggiran pantai Selat Makassar.

Lalu bagaimana dengan warisan Cheng-Ho bagi negerinya sendiri? Jika Cheng-Ho dituliskan memberikan banyak cindera mata kepada raja-raja dan penguasa negeri yang dikunjungi, lalu apa yang didapatkan olehnya untuk dibawa ke Tiongkok? Di antara cindera mata yang diperoleh Cheng-Ho adalah kulit dan getah pohon kemenyan, batu permata jenis ruby, emerald dan lainnya. Cheng-Ho bahkan membawa binatang Afrika seperti jerapah sebagai hadiah, tetapi mati dalam perjalanan.

 Selain berbentuk barang, ada pula hadiah berbentuk budaya dari India berupa seni bela diri Kallary Payatt yang saat dikembangkan di Tiongkok menjadi salah satu cabang kungfu. Lalu apa yang diperoleh Cheng-Ho dari Nusantara? Kapal-kapal Cheng-Ho berlayar meninggalkan Nusantara kembali ke Tiongkok dengan membawa hasil-hasil bumi seperti rempah-rempah, kemenyan, kapuk, belerang, kayu cendana, sarang burung dan lain-lain.

Penulis di Masjid Cheng-Ho Makassar. Sumber: Pribadi
Penulis di Masjid Cheng-Ho Makassar. Sumber: Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun