Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Misteri G30S/PKI: Bagaimana Menyikapi Disebutnya Suharto dan Sukarno?

1 Oktober 2022   16:33 Diperbarui: 1 Oktober 2022   17:32 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suharto saat menyaksikan pengangkatan jenazah korban penculikan. Sumber Foto: timesindonesia.co.id

Meski sudah berlalu lebih dari setengah abad, Gerakan 30 September (G30S) masih menyisakan misteri. Pendapat yang berbeda dengan versi Orde Baru tetap muncul ke permukaan, misalnya yang menyebut CIA, Suharto hingga Sukarno. Tentu kita tidak boleh menyebut pembahasan tentang ini adalah hal yang tabu. Justru harus dibuka ruang diskusi yang selebar-lebarnya agar mendapatkan pemahaman yang kompleks. Di era keterbukaan seperti saat ini, memaksakan satu pendapat tidak akan menyelesaikan masalah. Pendapat mana yang paling benar, dikembalikan pada argumen yang disertai bukti dan kesaksian para pelaku sejarah. Selanjutnya masyarakatlah yang akan menafsirkan dipandu oleh sejarawan yang memang ahli dalam historiografi.

Suharto Terlibat? Jangan Terburu-buru Mengambil Kesimpulan

Ada banyak alasan yang dikemukakan oleh mereka yang menuduh Suharto sebagai dalang, misalnya sebagaimana ditulis Elson (2001). Ia mempertanyakan mengapa nama Suharto tidak tercantum dalam target penculikan? Prasangka Elson mungkin ada benarnya mengingat Suharto adalah pemegang kekuasaan tempur---dalam hal ini Panglima Kostrad. Bukankah hal ini sama saja dengan membiarkan macan tidur nyenyak dan setelah terbangun akan mengerahkan segenap kekuatannya untuk menerkam. Ada juga yang mencurigai dengan alasan personal yaitu kedekatan Suharto dengan beberapa pelaku gerakan, seperti Untung, Latif, Syam Kamaruzzaman dan Supardjo. Tuduhan dengan alasan kedekatan pribadi ini di antaranya dilontarkan oleh W. F. Wertheim yang mencoba menguak dalang G30S dengan menggunakan metode detektif.

Alasan kecurigaan lainnya ketika menafsirkan sikap Suharto yang begitu "ambisius" untuk segera berkuasa, misalnya menolak Pranoto Reksosamudro sebagai Panglima Angkatan Darat. Ini dilakukan Suharto dengan alasan bahwa selama ini jika Letjend Ahmad Yani selaku Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) berhalangan, maka dirinya yang akan mengambil alih Komando Angkatan Darat. Alasan lain penolakan Pranoto karena Suharto terlanjur memimpin operasi pengamanan yang sedang berlangsung. Ini adalah soal teknis militer, sedangkan penunjukan Pranoto lebih bersifat politis. Lalu mengapa bukan Suharto yang ditunjuk oleh Presiden Sukarno pasca Ahmad Yani menjadi korban? Namanya sebenarnya telah diusulkan oleh Panglima TNI AL (R.E. Martadinata) tetapi Sukarno konon menolak dengan alasan Suharto itu koppig (keras kepala).

Alasan lainnya terkait dengan konstelasi persaingan ideologi. Amerika Serikat yang liberalis-kapitalis punya kepentingan terhadap hancurnya komunis terutama di Asia Tenggara. Itulah sebabnya di era Perang Dingin, AS dan sekutunya sampai membentuk fakta pertahanan untuk membendung komunis di Asia Tenggara. Di mana peran Suharto? Ia ditengarai merupakan kekuatan lokal yang berkolaborasi dengan CIA untuk membasmi komunis. Tetapi lagi-lagi tidak ada bukti kuat untuk mendukung argumentasi ini, selain bahwa Suharto pernah bergabung di SSKAD dan bertemu dengan Suwarto, agen CIA---sebagaimana ditulis oleh Eros Djarot dkk (2006).

Kecurigaan yang mengarah pada Suharto juga terkait dengan kondisi para perwira korban penculikan. Media massa memberitakan bahwa para korban disiksa dengan biadab sebelum menemui ajal, bahkan ada yang diiris-iris, dicongkel matanya hingga dipotong alat kelaminnya. Keterangan ini kemudian dibantah oleh anggota tim forensik dari Universitas Indonesia bahwa apa yang diberitakan tersebut tidak berkesesuaian dengan hasil otopsi yang mereka lakukan. Penjelasan terkait ini pernah dituliskan oleh Surya Lesmana, dkk. Ed (2005).

Suharto saat menyaksikan pengangkatan jenazah korban penculikan. Sumber Foto: timesindonesia.co.id
Suharto saat menyaksikan pengangkatan jenazah korban penculikan. Sumber Foto: timesindonesia.co.id

Tuduhan terhadap Suharto sebelumnya makin gencar pasca bebasnya Latif tahun 1999. Intinya Latif memberi kesaksian bahwa dirinya telah melapor kepada Suharto akan adanya gerakan yang menargetkan tujuh jenderal, tetapi Suharto hanya terdiam. Penjelasan Suharto yang dinilai inkonsisten terkait pertemuannya dengan Latif makin menambah kecurigaan. Tetapi apapun alasannya, nyatanya sejarawan belum sepakat tentang keterlibatan Suharto apalagi sebagai dalang. Kita serahkan ke mereka untuk mengadakan semacam seminar untuk membedah dan menelisik lebih jauh.

Sebagai warga negara yang baik, apalagi seorang Muslim tentu tidak berani untuk buru-buru mengambil kesimpulan, sebab jika salah maka jatuhnya adalah fitnah. Saya sering berkata kepada siswa saya saat tiba pada pembahasan G30S: Jika orang yang masih hidup yang kita fitnah, mungkin kita masih bisa minta maaf, itupun kalau dimaafkan. Tetapi jika orang yang telah wafat yang kita fitnah, bagaimana meminta maafnya?

Bagaimana dengan Sukarno? Jika Bukti Tidak Kuat, Jangan Dipaksakan

Tuduhan bahwa Sukarno terlbat bahkan menjadi dalang G30S dilayangkan dengan sangat keras oleh Antonie C. A. Dake melalui bukunya Sukarno File: Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan---dilaunching di Jakarta 17 Nopember 2005. Pasca terbitnya buku ini, terjadilah "perang pernyataan" antara pendukung Sukarno dengan pendukung Suharto. Sukmawati Sukarno Putri mengatakan bahwa buku ini adalah bentuk character assassination (pembunuhan karakter) terhadap seorang bapak bangsa, sedangkan Soehardjo (Dirjen Bea Cukai saat itu) mengatakan bahwa buku Antonie Dake ini sangat obyektif, sarat informasi dan akurat. Mereka yang pro Sukarno bahkan mengajukan protes terhadap Sukarno File di beberapa daerah, seperti di Medan dan Yogyakarta. Di Medan, protes dilayangkan oleh massa dari Front Marhaenis dengan mendatangi Konsulat Jenderal Belanda, sebab Antonie C. A. Dake merupakan warga negara Belanda.

Perlu diketahui bahwa sebelum Sukarno File, kesaksian Widjanarko ini ternyata telah diterbitkan di negeri Belanda dengan judul The Devious Dalang (1974). Jadi Sukarno File hanya edisi ulangan dari The Devious Dalang yang di antaranya menuliskan kesaksian Widjanarko bahwa Presiden Sukarno pernah memanggil Brigjend Sabur dan Letkol Untung ke kamarnya dan menanyakan kesediaan mereka untuk menindak para jenderal yang dianggap tidak loyal. Kedua perwira ini kemudian menyatakan kesediaannya.

Ada satu hal yang dilupakan oleh Antonie C. A. Dake yaitu bagaimana suasana kebatinan Widjanarko saat ia diperiksa oleh Teperpu Kopkamtib. Hal ini baru terungkap 14 tahun setelah terbitnya The Devious Dalang---saat diskusi buku Sewindu Bersama Bung Karno (1988). Widjanarko mengemukakan bahwa pengakuan dirinya saat itu dilakukan karena terpaksa. Dengan demikian, kesaksian Widjanarko dengan sendirinya termentahkan.

Bambang Widjanarko saat bersama Presiden Sukarno. Sumber Foto: Soeparto/Buku Bung Karno Difitnah (YBK)
Bambang Widjanarko saat bersama Presiden Sukarno. Sumber Foto: Soeparto/Buku Bung Karno Difitnah (YBK)

Sebelum terbitnya Sukarno File, alasan menuduh Sukarno terlibat dalam gerakan pengkhianatan itu di antaranya adalah keberadaan dirinya di Halim Perdana Kusumah, karena Halim dianggap sebagai kompleks pemberontak menyusul tertuduhnya Angkatan Udara ikut terlibat. Mereka yang menuduh dengan alasan ini mungkin lupa bahwa keberadaan presiden di Halim karena di sana ada pesawat yang setiap saat dapat menerbangkan presiden jika ada keadaan yang membahayakan keselamatannya.

Alasan lainnya menuduh Sukarno adalah sikapnya yang dinilai tidak menunjukkan simpati terhadap para korban. Saat diberitahukan tentang penculikan para perwira, Sukarno merespon dengan mengatakan itu adalah riak kecil dalam arus revolusi Indonesia. Kemudian saat PKI mulai diserang karena dianggap menjadi dalang, Sukarno masih berusaha melindunginya dengan mengungkit jasa-jasa PKI yang yang turut serta membangun kemerdekaan Indonesia. Begitupun saat gelombang massa memintanya untuk membubarkan PKI, Sukarno tetap bersikukuh menolaknya. Saat Suharto memanfaatkan Supersemar untuk membubarkan PKI, ia masih sempat berteriak bahwa yang berhak membubarkan partai politik adalah presiden. Ia bahkan melayangkan surat protes kepada Suharto.

Tuntutan massa agar PKI dibubarkan. Sumber Foto: hype.grid.id
Tuntutan massa agar PKI dibubarkan. Sumber Foto: hype.grid.id
Jadi bagaimana kita bersikap terhadap kontroversi terkait Sukarno terlibat atau tidak, juga sehubungan dengan kontroversi pasca Sukarno File. Tempointeraktif telah melakukan jajak pendapat hanya dalam rentang setengah bulan pasca launchingnya Sukarno File. Hasilnya, dari 960 responden ada 66,35% yang tidak percaya bahwa Sukarno terlibat dalam G30S. Mungkin pendirian responden ini telah mewakili pikiran masyarakat Indonesia secara umum. Data selengkapnya dapat langsung merujuk pada diagram di bawah ini:

Hasil Survei Tempointeraktif melalui internet. Sumber Foto: Buku Bung Karno Difitnah (YBK)  
Hasil Survei Tempointeraktif melalui internet. Sumber Foto: Buku Bung Karno Difitnah (YBK)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun