Meski sudah berlalu lebih dari setengah abad, Gerakan 30 September (G30S) masih menyisakan misteri. Pendapat yang berbeda dengan versi Orde Baru tetap muncul ke permukaan, misalnya yang menyebut CIA, Suharto hingga Sukarno. Tentu kita tidak boleh menyebut pembahasan tentang ini adalah hal yang tabu. Justru harus dibuka ruang diskusi yang selebar-lebarnya agar mendapatkan pemahaman yang kompleks. Di era keterbukaan seperti saat ini, memaksakan satu pendapat tidak akan menyelesaikan masalah. Pendapat mana yang paling benar, dikembalikan pada argumen yang disertai bukti dan kesaksian para pelaku sejarah. Selanjutnya masyarakatlah yang akan menafsirkan dipandu oleh sejarawan yang memang ahli dalam historiografi.
Suharto Terlibat? Jangan Terburu-buru Mengambil Kesimpulan
Ada banyak alasan yang dikemukakan oleh mereka yang menuduh Suharto sebagai dalang, misalnya sebagaimana ditulis Elson (2001). Ia mempertanyakan mengapa nama Suharto tidak tercantum dalam target penculikan? Prasangka Elson mungkin ada benarnya mengingat Suharto adalah pemegang kekuasaan tempur---dalam hal ini Panglima Kostrad. Bukankah hal ini sama saja dengan membiarkan macan tidur nyenyak dan setelah terbangun akan mengerahkan segenap kekuatannya untuk menerkam. Ada juga yang mencurigai dengan alasan personal yaitu kedekatan Suharto dengan beberapa pelaku gerakan, seperti Untung, Latif, Syam Kamaruzzaman dan Supardjo. Tuduhan dengan alasan kedekatan pribadi ini di antaranya dilontarkan oleh W. F. Wertheim yang mencoba menguak dalang G30S dengan menggunakan metode detektif.
Alasan kecurigaan lainnya ketika menafsirkan sikap Suharto yang begitu "ambisius" untuk segera berkuasa, misalnya menolak Pranoto Reksosamudro sebagai Panglima Angkatan Darat. Ini dilakukan Suharto dengan alasan bahwa selama ini jika Letjend Ahmad Yani selaku Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) berhalangan, maka dirinya yang akan mengambil alih Komando Angkatan Darat. Alasan lain penolakan Pranoto karena Suharto terlanjur memimpin operasi pengamanan yang sedang berlangsung. Ini adalah soal teknis militer, sedangkan penunjukan Pranoto lebih bersifat politis. Lalu mengapa bukan Suharto yang ditunjuk oleh Presiden Sukarno pasca Ahmad Yani menjadi korban? Namanya sebenarnya telah diusulkan oleh Panglima TNI AL (R.E. Martadinata) tetapi Sukarno konon menolak dengan alasan Suharto itu koppig (keras kepala).
Alasan lainnya terkait dengan konstelasi persaingan ideologi. Amerika Serikat yang liberalis-kapitalis punya kepentingan terhadap hancurnya komunis terutama di Asia Tenggara. Itulah sebabnya di era Perang Dingin, AS dan sekutunya sampai membentuk fakta pertahanan untuk membendung komunis di Asia Tenggara. Di mana peran Suharto? Ia ditengarai merupakan kekuatan lokal yang berkolaborasi dengan CIA untuk membasmi komunis. Tetapi lagi-lagi tidak ada bukti kuat untuk mendukung argumentasi ini, selain bahwa Suharto pernah bergabung di SSKAD dan bertemu dengan Suwarto, agen CIA---sebagaimana ditulis oleh Eros Djarot dkk (2006).
Kecurigaan yang mengarah pada Suharto juga terkait dengan kondisi para perwira korban penculikan. Media massa memberitakan bahwa para korban disiksa dengan biadab sebelum menemui ajal, bahkan ada yang diiris-iris, dicongkel matanya hingga dipotong alat kelaminnya. Keterangan ini kemudian dibantah oleh anggota tim forensik dari Universitas Indonesia bahwa apa yang diberitakan tersebut tidak berkesesuaian dengan hasil otopsi yang mereka lakukan. Penjelasan terkait ini pernah dituliskan oleh Surya Lesmana, dkk. Ed (2005).
Tuduhan terhadap Suharto sebelumnya makin gencar pasca bebasnya Latif tahun 1999. Intinya Latif memberi kesaksian bahwa dirinya telah melapor kepada Suharto akan adanya gerakan yang menargetkan tujuh jenderal, tetapi Suharto hanya terdiam. Penjelasan Suharto yang dinilai inkonsisten terkait pertemuannya dengan Latif makin menambah kecurigaan. Tetapi apapun alasannya, nyatanya sejarawan belum sepakat tentang keterlibatan Suharto apalagi sebagai dalang. Kita serahkan ke mereka untuk mengadakan semacam seminar untuk membedah dan menelisik lebih jauh.
Sebagai warga negara yang baik, apalagi seorang Muslim tentu tidak berani untuk buru-buru mengambil kesimpulan, sebab jika salah maka jatuhnya adalah fitnah. Saya sering berkata kepada siswa saya saat tiba pada pembahasan G30S: Jika orang yang masih hidup yang kita fitnah, mungkin kita masih bisa minta maaf, itupun kalau dimaafkan. Tetapi jika orang yang telah wafat yang kita fitnah, bagaimana meminta maafnya?
Bagaimana dengan Sukarno? Jika Bukti Tidak Kuat, Jangan Dipaksakan