Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dato Tallua: Kisah Perjalanan Dakwah Ulama Sumatra di Sulawesi Selatan

21 September 2022   17:10 Diperbarui: 21 September 2022   19:03 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Jampi Palopo, bukti islamisasi di Kerajaan Luwu. Sumber Foto: Pribadi

Dato (Datuk) Tallua adalah sebutan bagi tiga ulama dari Minangkabau (Sumatra Barat) yang menyebarkan Islam di jazirah Sulawesi Selatan. Ketiganya adalah (1) Khatib Sulung Datuk Sulaiman; (2) Khatib Tunggal Abdul Makmur; dan (3) Khatib Bungsu Abdul Jawad. Khatib Sulung dan Khatib Tunggal dikenal sebagai ahli fiqih sedangkan Khatib Bungsu adalah seorang sufi yaitu mendalami ilmu tasawuf. Aceh memang dikenal banyak melahirkan ulama sufi terkenal seperti Hamzah al-Fansuri (abad XVI M), Syamsuddin ar-Raniri, dan Nuruddin Ali bin  bin Hasan bin Muhammad Humaid ar-Raniri sebagai pengarang dan ahli tasawuf (abad XVII M).

Berguru pada Wali Songo

Kedatangan ketiga ulama ini tidak terlepas dari peran masyarakat Melayu yang menetap di bandar Somba Opu (ibukota Kerajaan Gowa). Merekalah yang sebelumnya menyurati  Raja Aceh agar mendatangkan ulama ke Sulawesi Selatan. Sultan Muda Alaiddin Riayat Syah yang memang dikenal banyak mengirim ulama keluar Aceh, mengabulkan permohonan ini.  Ia mengutus tiga ulama yang sebelumnya telah berguru di zawiah-zawiah (semacam pesantren) di Aceh. Ketiga ulama ini juga telah berpengalaman menyebarkan Islam di kampung halaman mereka di Minangkabau.

Ketiga ulama ini meninggalkan Minangkabau menuju Riau, kemudian menyeberang ke Johor. Di Riau dan Johor mereka belajar mengenai budaya masyarakat Sulawesi Selatan dari para pelaut Bugis-Makassar. Selanjutnya dengan difasilitasi Sultan Johor mereka melanjutkan perjalanan misi dakwahnya. Di perjalanan, mereka menyempatkan singgah dan berguru kepada Wali Songo di Tanah Jawa.

Memutuskan Berdakwah di Jalur Politik

Ketiga ulama ini mengakhiri perjalanan panjangnya setelah mendarat di pelabuhan Somba Opu (ibukota Kerajaan Gowa) pada permulaan abad XVII. Kronik Makassar mengabadikan ketiga ulama dari Minangkabau ini dengan sebutan Dato Tallua. Kedatangan ketiga ulama ini tentu saja disambut gembira, terutama oleh para saudagar Muslim Melayu yang telah lama menantikan kedatangan mereka. 

Berdasarkan informasi yang telah dipelajarinya saat di Riau dan Johor, mereka memilih dakwah Islam melalui jalur politik (birokrasi kerajaan). Maka langkah pertama yang harus mereka lakukan adalah mencari tahu raja yang paling berpengaruh di daerah Sulawesi Selatan ini untuk diajak masuk Islam dan selanjutnya akan membantu dalam penyebaran Islam ke kerajaan-kerajaan lain. 

Informasi yang mereka dapatkan, Raja Luwu yang dianggap sebagai kerajaan tertua dan paling berpengaruh di kalangan kerajaan Bugis-Makassar. Berdasarkan informasi ini mereka memutuskan berangkat ke Tanah Luwu yang pada masa itu istananya masih berada di Pattimang (sekarang wilayah Kecamatan Malangke).

Masjid Jampi Palopo, bukti islamisasi di Kerajaan Luwu. Sumber Foto: Pribadi
Masjid Jampi Palopo, bukti islamisasi di Kerajaan Luwu. Sumber Foto: Pribadi

Mengislamkan Para Raja dan Karaeng

Masih ada kekeliruan di sebagian kalangan pemerhati sejarah. Mereka beranggapan bahwa raja di Sulawesi Selatan yang pertama menerima Islam adalah Raja Gowa. Anggapan ini mungkin disebabkan oleh begitu besarnya hegemoni Kerajaan Gowa di jazirah Sulawesi bahkan di Nusantara bagian Timur. Padahal sebagaimana fakta sejarah bahwa sebelum mengislamkan Raja Gowa, Dato Tallua telah memutuskan ke wilayah Kerajaan Luwu untuk mengislamkan raja sekaligus rakyatnya berdasarkan informasi dari komunitas Melayu di Somba Opu.

Setibanya di istana Raja Luwu di Pattimang berlangsunglah dialog terbuka antara Dato Tallua yang diwakili oleh Datuk Sulaiman dengan Raja Luwu La Pattiware. Hadir pula pejabat-pejabat kerajaan dan disaksikan oleh rakyat. Setelah dialog beberapa hari yang membahas masalah kepercayaan, ibadat, pemerintahan, dan yang lainnya termasuk mengenai tauhid, barulah Raja Luwu beserta keluarganya bersedia memeluk Islam pada 15 Ramadhan 1013 H (4 Pebruari 1603 M). Setelah resmi memeluk Islam, Raja La Pattiware daeng Para'bung kemudian bergelar Sultan Muhammad Mudharuddin.

Setelah raja dan rakyat Luwu memeluk Islam, Dato Tallua memohon kiranya kerajaan Luwu membantu penyebaran agama ini ke negeri Bugis-Makassar lainnya. Namun Raja Luwu justru menyarankan agar mereka mendekati kerajaan Gowa-Tallo. Saran raja ini berdasarkan fakta bahwa pada saat itu Luwu hanya memiliki kemuliaan, tetapi Gowa-Tallo memiliki kekuatan dan kekuasaan yang diperlukan dalam penyebaran Islam. 

Menindaklanjuti saran dari Raja Luwu, Dato Tallua kembali bermusyawarah untuk kelanjutan dakwah Islam dan sempat terjadi perdebatan. Beberapa sumber menyebut bahwa Khatib Tunggal Abdul Makmur dan Khatib Bungsu Abdul Jawad berpendapat bahwa Raja Gowa perlu didekati untuk penyebaran Islam, sementara Datuk Sulaiman berpendapat sebaliknya. Akhirnya diputuskan Khatib Tunggal dan Khatib Bungsu memutuskan kembali ke Gowa, sementara Khatib Sulung Datuk Sulaiman melanjutkan dakwah Islam di Luwu.

Berdasarkan musyawarah diputuskan bahwa Khatib Tunggal Abdul Makmur dan Khatib Bungsu Abdul Jawad memutuskan kembali ke Gowa, sedangkan Khatib Sulung Datuk Sulaiman menetap di Luwu. Ternyata dalam perjalanan kembali ke Gowa, terjadi perbedaan pendapat antara Khatib Tunggal dan Khatib Bungsu. Khatib Tunggal berpendapat bahwa aspek syari'ah harus dikedepankan karena sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Gowa saat itu yang cenderung kepada prilaku yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti minum khamr (angnginung tuak) dan suka berjudi (abbotoro'). 

Sedangkan Khatib Bungsu berpandangan bahwa aspek tasawuf lebih penting dikedepankan karena sesuai dengan tradisi masyarakat, sehingga ajaran Islam akan lebih mudah diterima. Kedua ulama ini tidak menemukan titik temu dan masing-masing tetap teguh pada pendiriannya. Akibatnya mereka memutuskan untuk berpisah, Khatib Tunggal melanjutkan perjalanan ke kerajaan Gowa, sementara Khatib Bungsu singgah dan menetap di Tiro (sekarang wilayah kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba). Inilah yang menyebabkan Khatib Bungsu kemudian digelari Dato Tiro.

Meskipun pendekatan tasawuf menjadi metode dakwahnya, Dato Tiro tetap memulai penyebaran Islam dengan mengajak Karaeng Tiro I Launru Daeng Biasa masuk Islam pada 1013 H (1604 M). Cerita tutur menceritakan bahwa sebelum memutuskan masuk Islam, Karaeng Tiro meminta adu kesaktian dengan Dato Tiro yang berhasil dimenangkan oleh Dato Tiro. Ketika Karaeng Tiro dikhitan, ia menggigil menahan sakit (versi lain ia menggigil ketika membaca syahadat yang masih asing baginya). Oleh karena menggigil, maka masyarakat menyebutnya Karaeng Ambibia (=yang menggigil).

Bagaimana dengan misi dakwah Khatib Tunggal di Kerajaan Gowa-Tallo? Khatib Tunggal mendarat pertama kali di tepi pantai Mangarabombang, Tallo dan memperlihatkan gerakan yang mengundang tanda tanya bagi masyarakat yang melihatnya. Kejadian ini kemudian dilaporkan kepada Raja Tallo I Karaeng Matowaya. 

Raja sendiri berkenan menyaksikan langsung kedatangan orang asing yang dilaporkan oleh masyarakat dengan segala keanehannya. Terkesan dengan penampilan dan tutur kata Khatib Tunggal, maka dengan kesadaran sendiri raja bersama saudaranya bersedia masuk Islam pada malam Jumat 9 Jumadil Awal 1014 H (22 September 1605) dan bergelar Sultan Awalul Islam. Raja Tallo yang juga Mangkubumi Gowa ini kemudian meminta Khatib Tunggal agar bersedia menetap di Tallo dan mengajarkan Islam kepada rakyatnya.

Menyusul Raja Tallo masuk Islam adalah Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabbia yang kemudian bergelar Sultan Alauddin. Khatib Tunggal sendiri terjun langsung menjadi guru agama Islam bagi kerabat istana kerajaan Gowa. Untuk kepentingan dakwah, Khatib Tunggal memohon kepada Raja Gowa agar bersedia membangunkan masjid di Kaluku Bodoa. 

Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa dan Tallo sudah selesai diislamkan dan sebagai buktinya diadakan shalat Jum'at yang pertama di Tallo, yakni pada 19 Rajab 1016 H (9 Nopember 1607). Hari itu juga Sultan Alauddin mengeluarkan dekrit untuk menjadikan Islam sebagai agama kerajaan dan agama masyarakat.

Masjid Tua Katangka, bukti islamisasi di Kerajaan Gowa. Sumber Foto: Pribadi
Masjid Tua Katangka, bukti islamisasi di Kerajaan Gowa. Sumber Foto: Pribadi
Setelah kerajaan Gowa dan Tallo menjadi negara Islam dan raja-rajanya telah memperoleh gelaran Sultan, maka kerajaan itu juga yang menjadi pusat pengislaman di seluruh Sulawesi Selatan. Sesuai dengan tuntutan syariat, maka Raja Gowa mulai mengirim seruan kepada raja-raja di Sulawesi Selatan, agar mereka juga menerima Islam. 

Seruan ini juga berdasarkan perjanjian Gowa dengan kerajaan lain, yang menyatakan bahwa siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, maka ia akan memberitahukan jalan itu kepada raja-raja yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun