Mohon tunggu...
Agussalim Ibnu Hamzah
Agussalim Ibnu Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Historia Magistra Vitae

Mengajar sambil belajar menulis beragam tema (sejarah, pendidikan, agama, sosial, politik, hingga kisah-kisah inspiratif). Menerbitkan sejumlah buku tunggal atau antologi bersama beberapa komunitas seperti AGUPENA, SATUPENA, MEDIA GURU, KMO, SYAHADAH, AGSI dan SAMISANOV.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Renungan Kemerdekaan: Belajar dari Negeri yang Dihancurkan karena Kesalahan Sendiri

10 Agustus 2022   20:20 Diperbarui: 10 Agustus 2022   20:47 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepekan lagi, bangsa ini akan memperingati Proklamasi Kemerdekaannya yang ke-77. Jika diibaratkan seorang manusia, usia bangsa ini sesungguhnya tak muda lagi. Di usia seperti ini seorang manusia seyogyanya membuka kembali beberapa lembaran masa lampau agar tidak mengulangi kesalahan di masa depan. 

Di usia seperti ini, seorang manusia yang sudah sangat dewasa tidak perlu lagi diajari tentang kebijaksanaan, cukup diperingatkan karena fitrah manusia sebagai makhluk yang masih bisa lupa.

Jika kita napak tilas sejarah bangsa ini, ada beberapa episode sejarah yang membuat kita bangga, terutama di masa kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit. 

Sriwijaya di masa kejayaannya merupakan kerajaan maritim terbesar sekaligus pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara. Pendeta dari China pun merasa perlu datang ke pusat kerajaan ini untuk mempelajari agama Buddha. 

Begitupun Majapahit, kerajaan yang berhasil mempersatukan Nusantara. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945 bahkan bisa disebut sebagai warisan Majapahit. 

Lalu apa di antara ikhtiar bangsa ini agar tetap eksis sebagai bangsa yang besar---tidak hanya mengagumi kebesaran pendahulunya di masa lampau? Mungkin kita perlu membaca ulang fragmen sejarah dari bangsa yang pernah mengalami kehancuran dalam salah satu episode sejarah mereka.

Bangsa yang coba kita selami salah satu episode sejarah kehancurannya adalah Irak. Hingga kini pun bangsa ini masih berusaha untuk bangkit dari puing-puing kehancurannya sejak era Saddam Hussein berakhir. 

Tetapi episode yang dimaksud di sini adalah saat negeri ini diluluhlantakkan oleh bangsa Tartar atau Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Ia diutus oleh Raja Mongol sekaligus saudaranya sendiri bernama Mongke Khan. Hulagu juga merupakan saudara Kubilai Khan, Raja Mongol yang pernah mengirim utusan ke Singosari pada masa Kertanegara.

Hulagu bukan hanya menaklukkan banyak negeri di Asia Barat, tetapi ia juga melakukan penghancuran kota dan pembantaian terhadap penduduknya yang melakukan perlawanan. Di antara kota yang dihancurkan oleh Hulagu pada tahun 1258 adalah kota berjuluk "Kota 1001 Malam". 

Kota yang dikenal sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Kota ini dihancurkan Hulagu pasca kekalahan pasukan muslim pada masa Khalifah Al-Musta'shim yang menolak menyerah pada Hulagu. Al-Musta'shim dikenal sebagai khalifah paling lemah dalam sejarah Bani Abbasiyah. 

Pemerintahannya lebih dikendalikan oleh wazirnya bernama Muayyidin al-Alqalami. Wazirnya inilah yang menyarankan agar khalifah tidak menyerah dengan janji-janji manis bahwa dunia Islam akan datang membela Baghdad. Namun kenyataannya, tak ada satu pun bangsa yang datang membela. 

Keputusan Al-Musta'shim di bawah pengaruh wazirnya inilah yang membawa bencana tak terperikan bagi rakyat Baghdad. Saat memasuki Baghdad, tentara Mongol melakukan pembantaian disertai pemerkosaan, penjarahan, pembakaran dan penghancuran banyak bangunan seperti masjid, perpustakaan, istana, rumah sakit dan bangunan bersejarah.

Di tengah ketakutan karena pembantaian Hulagu, ada sebuah kisah yang sangat inspiratif dan menarik untuk dibaca ulang. Kisah ini disarikan dari pidato Presiden Erdogan yang dishare melalui whatsApp. 

Kisah ini tentang Kadihan, seorang guru muda madrasah yang berani menemui Hulagu yang pernah mengumumkan ingin bertemu seorang ulama paling berilmu di Baghdad. Kadihan memutuskan menemui Hulagu, setelah tak seorang pun ulama berani menemui pemimpin kejam ini. Guru muda ini datang dengan membawa seekor unta, seekor kambing, dan seekor ayam jantan.

Melihat sosok Kadihan yang bahkan belum berjenggot, Hulagu tentu heran dan bertanya, "Mereka hanya menemukan orang sepertimu untuk bertemu denganku?".

"Jika Anda ingin bertemu yang lebih besar, di luar ada seekor unta. Jika Anda ingin bertemu dengan yang berjenggot, di luar ada seekor kambing, dan Jika Anda ingin bertemu dengan yang bersuara lantang, di luar ada ayam jantan. Anda dapat bertemu dengan apa pun yang Anda inginkan," jawab Kadihan tenang.

Mendengar jawaban guru muda ini, Hulagu menyadari pemuda ini bukan orang sembarangan. Ia lalu bertanya padanya, "Katakan padaku apa yang telah membawaku sampai di sini?"

Ulama muda ini menjawab, "Perbuatan kami sendirilah yang telah membawamu ke sini. Kami tidak pernah lagi mensyukuri nikmat pemberian Allah. Kami telah tenggelam dalam kesenangan dunia berfoya-foya. Kami hanya sibuk mengejar pangkat, jabatan dan kekayaan. Allah lah yang telah menggerakkanmu untuk menarik kembali semua kenikmatan itu."

Hulagu kembali memberi pertanyaan, "Lalu apa yang dapat mengusirku dari sini?"

Kadihan menjawab, "Jika kami kembali menyadari diri, kembali mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan dan kami berhenti bertikai satu sama lain, maka Anda tidak akan pernah bisa bertahan di sini."

Tercatat kemudian dalam sejarah bahwa Hulagu berhasil dikalahkan pada tahun 1259 oleh pasukan Muslim dari kekhalifahan Mamluk di Mesir. Perpecahan dalam pasukan Mongol berhasil dimanfaatkan oleh pemimpin Mamluk.

Bagaimana dengan Baghdad? Bangsa yang mendiami kota ini tetap saja tidak mengambil pelajaran dari kehancuran pada masa Hulagu. Bangsa ini tidak mengambil hikmah dari apa yang dipesankan oleh Kadihan, ulama muda mereka yang sekaligus guru madrasah. 

Di episode selanjutnya, mereka bukan hanya berpecah di dalam negeri sendiri antara Sunni dan Syiah, tetapi mereka bertikai dengan sesama bangsa Persia sendiri memperebutkan salah satu nikmat Allah, yaitu minyak. Terjadilah Perang Teluk I  dan Perang Teluk II yang memancing campur tangan Amerika. 

Di episode selanjutnya Baghdad kembali hancur karena serangan pasukan multinasional di bawah komando Amerika, setelah dituduh menyembunyikan senjata pemusnah massal, sebagaimana yang pernah kita saksikan bersama di abad ini. Tragisnya, tak ada satu pun negara yang bersimpati dan membela atau mendukung Baghdad. 

Padahal hasil penyelidikan PBB, Baghdad tidak terbukti memproduksi atau menyembunyikan senjata pemusnah massal. Meski demikian tak ada bangsa yang terang-terangan bersimpati dan mendukung Baghdad persis saat mereka dihancurkan oleh Mongol + tujuh abad sebelumnya.

Semoga pengalaman Baghdad dan pesan Kadihan menjadi renungan kemerdekaan di usia ke-77 tahun. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang melupakan nikmat pemberian Sang Pencipta. 

Lalai beribadah bahkan sebaliknya lebih mencintai dunia dan berfoya-foya di dalamnya. Jangan sampai kita membiarkan dan menganggap biasa perilaku korup dan suap menyuap, apalagi saling bertikai di antara kita sendiri karena perbedaan agama, suku, budaya, ataupun karena perbedaan pandangan dan pilihan politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun