Awal Hijriah tahun ini bertepatan dengan akhir pekan, sehingga kita punya banyak waktu untuk merenungkan pesannya. Di antara ikhtiar untuk menyimpulkan pesan Hijriah adalah menelusuri kembali sejarahnya, mengapa hijrahnya kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah menjadi tonggak awal penanggalan Islam. Tentu ada pesan yang ingin disampaikan oleh para generasi salaf, murid langsung dari Baginda Rasulullah Sallallaahu alaihi wasallam (saw).
Jika ditelusuri sejarahnya, awal kalender Islam ditetapkan pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khatthab radhiyallaahu anhu (r.a.). Bersama para sahabat senior ketika itu, Amirul Mukminin bermusyawarah untuk menetapkan awal kalender Islam. Ada yang mengusulkan hari lahir Rasulullah saw sebagai awal penanggalan, ada pula yang mengusulkan saat pengangkatan Rasulullah saw sebagai Nabi dan Rasul. Adapun yang disepakati adalah saran dari Ali bin Abi Thalib r.a. agar menjadikan hijrahnya Rasulullah saw bersama para sahabat dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) sebagai tahun pertama dalam penanggalan Islam.
Lalu apa pesan yang harus ditangkap oleh generasi saat ini? Mengapa momen hijrah menjadi tonggak awal tahun Islam? Mungkin kita bisa simpulkan dalam satu pesan bahwa alangkah baiknya jika awal Tahun Hijriah ini menjadi tonggak awal bagi kita untuk berhijrah, dengan kata lain menjadi seorang Muhajir.
Muhajir adalah sebutan bagi mereka yang berhijrah. Jika pada masa Nabi saw dan para sahabat r.a, berhijrahnya dari kota Makkah ke kota Madinah, maka generasi kita saat ini adalah berhijrahnya dari jalan sesat menuju jalan agama. Nama jalan yang harus ditempuh dalam berhijrah adalah "Jalan Tobat", sedangkan nama kota yang menjadi tujuan hijrah tidak lain adalah "Surga". Demikianlah yang tersimpul dalam judul kitab yang ditulis oleh seorang ulama bernama Abdul Hadi bin Hasan Wahby yakni "At-Taubah, Thariqun ilal Jannah."
Dalam kitab itu beliau menasihatkan pentingnya segera bertobat. Pertama, karena seseorang tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia tunda-tunda, bisa jadi kematian datang tiba-tiba tanpa dia sempat bertobat. Kedua, karena dengan menunda tobat, akan membuat hati menjadi keras dan semakin jauh dari Allah Ta'ala serta melemahkan iman. Ketiga, karena dengan terus-menerus berbuat maksiat membuat hati semakin senang dan bergantung terhadap kemaksiatan.
Dr. Aidh al-Qarni dalam "Mulhim al-'Alam" menulis bahwa hijrah pertama Nabi saw adalah hijrah yang tidak terikat waktu dan tempat, serta hijrah yang terus berlangsung hingga Hari Kiamat kelak. Hijrah seperti ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, "dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji." (QS. al-Muddatstsir: 5).
Jika Muhajir adalah sebutan bagi mereka yang berhijrah dari perbuatan keji atau kemaksiatan, maka Mujahar adalah sebutan bagi mereka yang tetap dalam kemaksiatan bahkan bangga dengan kemaksiatannya dengan cara menampakkan atau memperlihatkannya sebagaimana makna kata "jahar."
Semoga kita bisa menangkap pesan dari Tahun Hijriah untuk segera berhijrah menjadi Muhajir dan bukannya Mujahar. Tentu kita tak ingin hidup kita berakhir dalam keadaan masih menjadi Mujahar, karena siksa neraka yang amat pedih dan tak pernah terbayangkan di dunia. Renungkan peringatan Rasulullah saw, bahwa siksa neraka yang paling ringan adalah seperti menginjak bara api. Bukankah ketika menginjak bara api, panasnya mampu melelehkan isi kepala kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H