Penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara memang mengacu pada satu peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini bukan hanya menjadi momentum tetapi sekaligus tonggak tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasalnya, pasca Agresi Militer Belanda II dunia internasional termasuk PBB disuguhi berita hoaks oleh Belanda bahwa Indonesia sudah tidak ada. Alasan mereka, Presiden dan Wakil Presiden berada dalam kekuasaan Belanda. Mereka juga menyiarkan bahwa Tentara Nasional Indonesia sudah tidak ada, yang ada adalah gerombolan yang melakukan kekacauan. Alasan Belanda karena tentara kita hanya berani menyerang dalam skala kecil dan secara bergerilya dan terkadang di malam hari.
Bukti dan Fakta
Berita-berita bahwa Indonesia sudah tidak ada, begitupun tentara nasionalnya disimak dengan seksama melalui radio oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sultan sangat khawatir akan eksistensi Republik Indonesia di luar negeri, apalagi menjelang Sidang Umum PBB. Maka Sultan segera menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman agar mengadakan serangan umum dan disetujui oleh Panglima Besar. Selanjutnya Sultan berkoordinasi dengan Letnan Kolonel Suharto sebagai Komandan Werkhreise III Yogyakarta. Maka bisa dibayangkan selanjutnya bahwa dengan persetujuan Panglima Sudirman dan restu Sultan Yogya, Letkol Suharto mengkoordinasi kekuatan untuk melakukan serangan umum 1 Maret 1949 ke dalam kota Yogya.
Peran Letkol Suharto ini diperkuat oleh bukti dan fakta yang dipaparkan oleh Drs. Agus Santoso, M. Hum dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Bukti dan fakta yang dimaksud berbentuk foto dan arsip. Di antara foto itu ada yang diberi keterangan "Kesatuan TNI yang terdiri dari Brigade X Garuda Mataram, Militer Akademi Brigade XVI (KRIS) TP dan TGP yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan WK. III, mengadakan gerilya di sekitar dan di dalam kota Yogyakarta antara Desember 1948-Juni 1949. ANRI: IPPHOS 23/2."
Sedangkan arsip yang dimaksudkan di antaranya adalah arsip wawancara sejarah lisan dengan saksi dan pelaku sejarah di antaranya KRT. Sudarisman Purwakusuma (Walikota Yogyakarta 1947-1966), Syafruddin Prawiranegara (Presiden PDRI), dan Herman Nicolas Sumual (Komandan SWK 103A, Yogyakarta). Jika informasi dari ketiga arsip ini diinterpretasi maka Serangan Umum 1 Maret digagas oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Jenderal Sudirman, kemudian dikoordinasi dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Dengan demikian, antara bukti dan fakta berupa foto dan arsip saling menguatkan.
SU 1 Maret 1949 dalam Textbook
SU 1 Maret 1949 dalam textbook juga berkesesuaian dengan bukti dan fakta yang ditampilkan dari arsip nasional. Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M. Hum (Guru Besar Sejarah UI) mengutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) Jilid VI (1984) hlm. 162: "setelah pasukan-pasukannya tersebar di luar kota-kota yang didudukinya, TNI mulai menyerang kota-kota itu sendiri. Serangan Umum 1 Maret 1949 pada siang hari terhadap kota Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel (sekarang Presiden) Soeharto dengan berhasil didudukinya kota itu selama enam jam, dengan terang benderang membuktikan kepada dunia bahwa TNI jauh daripada hancur, bahkan masih mempunyai kemampuan ofensif...".
Sedangkan di SNI Jilid VI edisi Pemutakhiran (2010:260) dituliskan: "Situasi perang pun berbalik, TNI yang tadinya defensif mulai beralih ke ofensif...salah satu serangan yang cukup monumental dan berdampak politis selain berdampak militer ialah Serangan Umum ke Yogya tanggal 1 Maret 1949 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto."
Tanggung Jawab Sejarawan
Berdasarkan bukti dan fakta di atas, serta uraian dalam buku SNI termasuk edisi pemutakhiran, maka sejarawan tentu sangat menyayangkan jika nama Letkol Suharto tidak disebutkan dalam Keppres, berdampingan dengan nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Justru nama Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta juga muncul padahal menurut Prof. Susanto Zuhdi, belum ada bukti keterlibatan kedua tokoh ini dalam SU 1 Maret 1949.