Mohon tunggu...
Yodha Haryadi
Yodha Haryadi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Jakarta citizen that concerns on development for prosperity and better life: \r\n"I love you when you bow in your mosque, kneel in your temple, pray in your church. For you and I are sons of one religion, and it is the spirit." (Gibran)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bukan (Belum) Presiden

26 Januari 2014   16:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapapun presiden baru terpilih tahun 2014, penting untuk memahami kondisi dan posisi Indonesia untuk menentukan sikap kerjasama dengan negara lain atau lembaga internasional. Indonesia saat ini berbeda dengan Indonesia 10 tahun yang lalu, saat Presiden Indonesia untuk pertama kali dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya kerjasama luar negeri masih bersifat assistance atau bantuan, namun beberapa tahun terakhir kerjasama mulai berubah ke arah partnership atau kemitraan, suatu bentuk kerjasama yang lebih sejajar. Sebagai negara dengan penduduk nomor 4 terbesar sedunia, sebagai negara muslim terbesar sedunia, sebagai perwakilan negara berkembang yang masuk dalam kelompok negara maju dalam G20, dan diprediksi sebagai negara maju dalam beberapa tahun kedepan, Indonesia dinilai memiliki pengaruh signifikan di dunia.

Untuk keperluan analisis, World Bank menggambarkan kondisi ekonomi suatu negara berdasarkan pendapatan per kapita, sehingga terdapat 3 klasifikasi yakni negara berpendapatan rendah, menengah, dan tinggi. Untuk penghitungan tahun 2012, negara berpendapatan rendah memiliki pendapatan per kapita sama dengan atau kurang dari US$1.035; negara berpendapatan menengah level bawah antara US$1.036 - US$4.085 dan level atas antara US$4.086 - US$12.615; sedangkan negara berpendapatan tinggi sama dengan atau lebih dari US$12.616. Selanjutnya negara berpendapatan rendah dan menengah disebut sebagai negara berkembang, sedangkan negara berpendapatan tinggi disebut sebagai negara maju. Klasifikasi World Bank telah diikuti oleh banyak negara dan lembaga internasional dalam menyampaikan kondisi perekonomian. Adapun penerapan klasifikasi tersebut misalnya dalam menentukan apakah suatu negara bisa menerima pinjaman lunak atau harus pinjaman komersil. Ketika suatu negara masih berpendapatan rendah, maka bisa mendapatkan pinjaman lunak dengan bunga nol persen, tanpa potongan biaya di muka, mendapatkan masa pencicilan 10-30 tahun, dan kemudahan lainnya.

Pada masa Presiden Suharto, fasilitas pinjaman lunak tersebut dimanfaatkan untuk program pembangunan termasuk infrastruktur. Namun fasilitas pinjaman lunak tersebut tidak bisa lagi diperoleh sekitar tahun 2008, ketika pendapatan per kapita sudah masuk klasifikasi sebagai negara berpendapatan menengah pada level bawah. Pada akhir 2013, Kemenkeu menyampaikan bahwa pendapatan per kapita Indonesia mencapai US$ 5.170. Berdasarkan deskripsi sebelumnya, Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan menengah level atas.

Saat ini negara-negara Asia dinilai memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat baik. Namun kondisi stagnasi bisa mengancam atau disebut sebagai middle income trap. Suatu kondisi mengenai perkembangan ekonomi suatu negara yang sudah berhasil masuk klasifikasi sebagai negara berpendapatan menengah, tetapi selanjutnya mengalami stagnasi cukup lama dan sulit meningkat sebagai negara berpendapatan tinggi. Negara Asia yang telah lolos jebakan dan menjadi negara maju antara lain Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapore. Sementara Indonesia penting untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan Jawa-luar Jawa, pembangunan infrastruktur untuk konektivitas, pendidikan untuk meningkatkan kapasitas SDM, peningkatan pelayanan publik, pemberantasan korupsi, demokrasi, dan lainnya.

Pada zaman keterbukaan seperti saat ini, kerjasama luar negeri dilakukan oleh semua negara di dunia. Pola kerjasama bisa bilateral pemerintah ke pemerintah, atau multilateral dengan lembaga internasional, atau regional seperti Asean, atau modifikasi dari semuanya. Namun demikian, Indonesia perlu sedikit menengok ke belakang. Dulu Malaysia belajar banyak untuk segala bidang dari Indonesia, namun sekarang Malaysia relatif lebih maju dari Indonesia. Indonesia juga perlu mempelajari yang telah dilakukan China. Negeri tirai bambu itu sempat menjalankan politik isolasi, tidak banyak bekerja sama dengan pihak luar negeri. Namun begitu menerapkan keterbukaan dan bekerja sama dengan pihak luar negeri, China berlari sangat kencang dan meninggalkan teman atau lawan jauh di belakang, menjadi raksasa ekonomi dan disegani. Tidak semestinya kerjasama luar negeri justru merugikan kepentingan nasional. Hal ini dapat terjadi ketika perencanaan dan strategi pelaksanaan tidak digarap secara proporsional.

Contoh tantangan kerjasama luar negeri yang paling dekat adalah penerapan Masyarakat Ekonomi Asean atau Asean Economic Community (AEC) 2015. Persaingan dunia kerja akan semakin ketat pada era Pasar Bebas ASEAN tersebut. Perlu perhatian serius untuk peningkatan kapasitas pekerja, perbaikan sistem komunikasi dan koordinasi pengusaha-pekerja, dan perbaikan upah yang layak. Apabila upaya perbaikan tidak serius dan segera dilakukan, bukan mustahil pekerja Indonesia kalah dengan pekerja Malaysia, Thailand, atau Filipina; bisa jadi hanya akan menjadi pecundang di negeri sendiri. Waktu tidak akan menunggu, namun terus berlalu. Tahu-tahu 2014 dan presiden baru terpilih.

Di luar semua deskripsi di atas, ada penyangkalan menarik dari seorang teman. Mengapa Indonesia susah-susah menyiapkan ini dan itu, mengejar ini dan itu demi kerjasama luar negeri? Sudahlah, perkuat ekonomi dalam negeri. Bikin masyarakat sejahtera, aman, dan adil. Luar negeri akan menghargai dan berduyun-duyun mendatangi untuk kerjasama. Tidak percaya? Pak Jokowi tidak pernah menyiapkan ini dan itu, beliau bekerja dan bekerja untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi tamu-tamu luar negeri berlomba-lomba berkunjung ke balaikota Jakarta; puluhan walikota dari Belanda, Perdana Menteri Belanda, Duta Besar Norway, professor dari Singapore, Duta Besar Malaysia, Duta Besar Amerika, mantan Wakil Perdana Menteri Inggris, jurnalis Perancis, entah siapa lagi sampai Lorenzo dan Rossi pembalap motor GP. Teman tersebut sepertinya lupa, Pak Jokowi itu Gubernur Jakarta, bukan (belum) Presiden Indonesia. Sementara kerjasama luar negeri untuk level negara. Namun menarik juga pendapatnya. Anomali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun