Kalau mau merepotkan diri dengan sabar dan berhitung, kemungkinan jumlahnya lebih dari 1.000 orang pada malam perayaan Cap Go Meh yang bertema "Pemberdayaan Ekonomi Pariwisata di Provinsi Babel" itu. Tentu saja makanan-minuman gratis membetahkan para pengunjung, selain alam (cuaca) yang mendukung sepenuhnya.
Ruang Pandang, Sri Pemandang Atas, 9 Februari 2020
* Catatan :
Perayaan Cap Go Meh ini merupakan penutup dalam serangkaian mudik saya sejak 29 Desember 2019. Acara yang dimulai pada pkl. 17.00 WIB itu tidak terlambat saya hadiri.
Sebenarnya mudik saya hanya  untuk menutup 2019 dan membuka 2020 alias bertahun baru Masehi. Saya tidak memerhatikan kalender Januari 2020 selain berencana pulang bersama istri ke Balikpapan pada 4 Januari 2020.
Pada 2 Januari saya dan istri bertamasya ke Pantai Tongaci, Jalan Laut. Memasuki perkampungan orang Tionghoa itu saya melihat lampion berjejeran di sepanjang jalan dan berakhir di ujung jalan aspal kampung.
Saya diberi tahu oleh istri saya bahwasannya 25 Januari adalah Imlek 2571. Seketika saya berubah rencana. Saya mau mengalami kembali suasana Imlek, bahkan lebih dari sekadar berkunjung ke rumah kawan-kawan, karena biasanya Imlek di Sungailiat dirayakan dengan "suatu acara istimewa" seperti halnya daerah-daerah lain yang dihuni oleh banyak orang Tionghoa semisal Singkawang, Kalbar.
Terlebih ketika kami singgah di sebuah warung makan untuk mengisi perut sekaligus istri saya menggarap tugas laporan pekerjaan, saya pun mengenal orang warung yang juga satu angkatan di SMP Maria Goretti meski berbeda ruangan. Belum lagi di Jalan Laut terdapat lebih dari 10 orang yang pernah menjadi kawan seangkatan dengan saya di SD-SMP.
Meski lahir dan pubertas di Sungailiat, saya belum pernah mengalami "suatu acara istimewa" itu. Meski sejak balita, SD hingga tamat SMP (1987) mayoritas kawan sekolah dan beberapa guru beretnis Tionghoa sekaligus merayakan Imlek (padahal zaman rezim ORBA lho!), saya tidak berpikiran mengenai "suatu yang istimewa". Serta, meski pada 2008 mudik dan sempat mengunjungi rumah kawan-kawan untuk ber-Imlek, saya pun melewatkan "suatu acara istimewa" itu.
Kelihatannya istri saya memang memahami siapa saya dalam hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa kebudayaan, apalagi sebagian hal yang berkaitan dengan Tionghoa di Sungailiat terkadang menjadi bagian obrolan kami di Balikpapan. Belum lagi saya memang memiliki waktu bebas alias tidak terikat dalam suatu kontrak pekerjaan.