Saya sedang malas menulis. Hari-hari terakhir ini saya merasa hobi saya satu ini hanya melanyah (menyia-nyiakan) waktu. Sama sekali tidak menjadi apa-apa.
Tiga artikel kemarin saya buat dalam waktu yang panjang. Menulis dan memfoto. Menyunting tulisan dan foto. Dan seterusnya agar terbaca dengan pas. Bukan melalui proses yang mudah dan cepat saji.
Artikel yang paling lama prosesnya, bahkan lebih dua minggu hingga menambah waktu mudik, adalah soal mudik selera. Bolak-balik di tiga tempat untuk mengumpulkan bahan dan foto-foto yang relevan. Sudah begitu, saya pun menatanya sedemikian rupa agar pas. Sangat menguras energi saya.
Sementara artikel tentang harmoni Imlek saya buat lebih dari satu minggu. Saya bukan wartawan. Saya bukan pengamat sosial. Artikel hanya begitu-begitu saja.
Tiga artikel yang sia-sia, padahal masih ada lagi artikel seputar Imlek yang sedang menunggu proses penyelesaian. Tiga artikel itu saja sudah benar-benar melanyah waktu saya. Sama sekali tidak berfaedah bagi saya sendiri, apalagi bagi orang lain.
Konyol sekali saya ini. Sudah lelah bekerja, masih berusaha untuk menulis yang tidak pernah bisa langsung menjadi sebuah artikel. Mendingan, lelah bekerja dilanjutkan dengan beristirahat saja agar energi segera pulih. Atau, sepulang bekerja, cukup dilanjutkan dengan ngobrol bersama keluarga atau bermain gawai saja.
Saya pun maklum, mengapa hobi satu ini jarang diminati atau dipilih oleh banyak orang di sekitar saya, termasuk istri dan keluarga besar saya. Saya berusaha memberi alternatif hobi jika di antara mereka masih menyisakan sedikit waktu. Ternyata justru saya yang konyol, bahkan sangat konyol, dan mereka telah memilih hobi yang paling menyenangkan.
Sekarang saya sedang malas menulis, apalagi dengan foto sebagai pelengkap artikel. Mungkin saya sedang dirundung jenuh karena banyak gagasan lainnya berdesakan dalam kepala.Â
Mungkin juga saya perlu cuti menulis, atau pensiun saja. Cuti dari kerutinan atau kerumunan gagasan. Pensiun dari hobi yang ujung-ujungnya terasa sekadar "melanyah waktu"
Lho, pekerjaan saya apa, kok "cuti menulis"? Lha, terus, kalau "pensiun menulis", mana ada pesangon atau gaji "pensiun menulis", 'kan?
Terlalu konyol dengan "cuti menulis" atau "pensiun menulis", lha wong hobi bukanlah pekerjaan. Kalau bisa, konyolnya dilengkapi saja dengan "tunjangan menulis" dan "bonus menulis".
Mungkin saya memang orang konyol sedunia yang sedang menyadari bahwa ada "sesuatu" yang keliru selama ini. Mungkin saya sedang lelah atau mendapat pencerahan bahwa hobi menulis perlu ditinjau ulang, apakah perlu dilanjutkan ataukah segera ditinggalkan.
Mungkin begini saja. Tidak perlu repot begitu lagi.
*******
Ruang Pandang, Sri Pemandang Atas, 1 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H