Mudik, bagi sebagian perantau, khususnya perantau sejati alias tidak pernah menetap lagi di kampung halaman, adalah pulang ke kampung halaman (pulang kampung/pulkam). Berkumpul dengan orangtua, keluarga kandung, keluarga besar, tetangga atau kawan kampung, dan bersama keluarga baru bertamasya ke tempat wisata yang aduhai di sekitar daerah asal.
Bagi sebagiannya lagi, mudik tidaklah cukup begitu. Mudik yang berikutnya adalah "mudik selera" atau "pulang ke selera asal". Ada kerinduan yang mendayu-dayu, dan merayu-rayu lidahnya, sehingga mudik menjadi kesempatan yang paling aduhai untuk menuntaskan kerinduannya.
Makanan, khususnya jajanan/kudapan, khas kampung halaman merupakan impian selera usang bagi para putera daerah yang telah lama merantau, bahkan berdomisili di luar daerah yang sangat jauh. Bukan makanan berlabel "nasional" apalagi "internasional", karena selama waktu yang lama lidah udik "ditaklukkan" oleh rasa yang "asing-baru".
Mudik Selera
Tiga alinea pembuka di atas hanyalah pendapat saya sendiri (subyektif). Boleh diabaikan, dikritisi, dikoreksi, bahkan disanggah, karena setiap lidah memiliki kesan subyektif-mendalam sejak berfungsi untuk mengecap rasa suatu santapan atau kudapan tertentu dan pola pikir membentuk patokan awal mengenai "selera".
Mudik pun merupakan bagian subyektivitas (kemauan) saya alias bukan hasil kesepakatan (obyektif) dengan banyak orang. Iya, 'kan?
Nah, pada akhir 2019, tepatnya 29 Desember, saya mudik bersama istri saya. Perjalanan mudik kami tempuh dengan dua kali penerbangan dari bandara Sepinggan, Balikpapan sampai ke Depati Amir, Pangkalpinang.
Terhitung sejak 2015, tepatnya pada waktu merayakan ulang tahun pernikahan orangtua, saya rutin mudik. Saya memang sudah bukan lagi warga Babel, tepatnya Sungailiat, karena sejak 2009 saya sudah menjadi warga Kaltim, tepatnya Balikpapan.
Kebetulan di Kota Minyak saya sudah mendapatkan dua jajanan khas yang memang dibuat oleh orang Bangka yang merantau di sana. Jajanan khas itu ialah hok lo pan (martabak manis atau martabak terang bulan) dengan merek "Martabak Asen" (Gunung Guntur), dan kue jungkong (bubur sumsum) dengan merek "Puspitasari".
Kue Jungkong Air Ruay Sungailiat (Dokpri)
Mudik pun selalu meliputi "mudik selera" atau "memanjakan lidah asal"pula. Karena lahir hingga puber tinggal di Sungailiat, cita rasa asal sangat dipengaruhi oleh makanan atau jajanan khas sekitar rumah dan sekolah.
Bersama keluarga angkat di Air Ruay (Dokpri)
Sajian biasa di keluarga (Dokpri)
Mohon dimaklumi, setelah tamat SMP hingga sekian belas tahun lidah saya dipengaruhi oleh makanan khas Jawa, misalnya mendoan, tempe-tahu bacem, tahu susur, bala-bala, rondo royal, molen, combro, gudeg, lotek, pecel lele, dan lain-lain. Sekian tahun kemudian menjadi warga Balikpapan, lidah saya mengecap soto banjar, coto makassar, bubur samarinda, dan lain-lain.
Makanan yang umum lainnya, misalnya pisang goreng, tempe-tahu goreng, cilok/salome, batagor, bakso, mi ayam, dan lain-lain, bukanlah sesuatu yang istimewa di lidah saya sebagai kudapan bercita rasa Bangka. Biasa-biasa saja, dan tidak menjadi semacam bahan obrolan yang mampu menggoda selera asal saya.
Meskipun sejak empat tahun terakhir rutin mudik, saya belum menuliskan perihal "mudik selera" di kampung halaman saya sendiri. Padahal tempat melabuhkan lidah saya tidaklah perlu dijangkau dengan kendaraan bermotor dan waktu yang lama, apalagi zaman saya belum keluar dari Bangka.
Pembentuk Selera Asal
Sepakat atau tidak, menurut saya, selera atau cita rasa terbentuk sejak masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak, selera asal dimulai dari dalam rumah, luar rumah (sekitar rumah), dan sekolah.
Suatu suasana di warung Yuk Nina (Dokpri)
Suatu suasana di warung Kang Cecep (Dokpri)
Pada zaman
old alias belum keluar dari Bangka, terkadang ibu saya membeli jajanan khas di tempat lain, misalnya pantiauw, serabi kuah durian, dan lain-lain. Sadar-tidak sadar, selera atau cita rasa dengan stempel "enak" atau "tidak enak" bisa dimulai dari rumah, dan subyektivitas mula-mula.
Kemudian tempat menikmati jajanan khas Bangka memang dekat di sekitar rumah orangtua saya, Kampung Sri Pemandang Atas. Ketika masih SD, beberapa tetangga memproduksi (home industry) empek-empek, bakwan, rujak su'un (su'un = mi putih), lakso (laksa), kue jungkong, dan seterusnya.
Ada tetangga yang membuka warung jajanan, semisal Nek Jarmi. Warung berkonstruksi kayu sederhana tanpa dinding, dan beratap anyaman daun rumbia itu berada di depan rumahnya yang berjarak puluhan meter saja dari rumah orangtua saya. Menunya berupa empek-empek, bakwan, dan rujak su'un.
Ada juga yang menjualnya sampai melintasi kampung-kampung dengan berjalan kaki saja setelah pulang dari sekolah, semisal Rosidi (Sidi) bin Dullah. Rumahnya bersebelahan dengan Nek Jarmi atau satu rumah dengan tetangga samping kanan rumah orangtua saya. Kalau terlewatkan atau kehabisan, saya bisa datang ke rumahnya untuk membeli empek-empek yang belum digoreng.
Rosidi (kanan) dan Junardi (kiri)
Ada pula tetangga yang hanya menunggu orang datang untuk membeli, semisal neneknya Junardi. Jaraknya sekitar enam rumah dari rumah orangtua saya. Saya bisa datang lalu bertanya "apakah ada jual empek-empek". Kalau jawabannya "ada", saya tinggal menunggu empek-empek digoreng sesuai dengan pesanan saya.
Para tetangga yang menjual, semisal empek-empek, pasti menyertakan cukanya (kuahnya). Cukanya "sederhana" dengan bahan bawang putih, cabai, kecap, gula, sedikit garam, sedikit cuka makanan, dan air panas.
Ketika memasuki masa pubertas-remaja, para tetangga itu sudah tidak berproduksi. Yang kemudian muncul sekitar awal 1980-an adalah warung Yuk Nina yang masih sangat sederhana dengan konstruksi kayu bulat, tanpa dinding, dan beratap anyaman daun rumbia.
Selain di sekitar rumah, saya pun jajan di lingkungan dekat sekolah (SD-SMP Maria Goretti) atau selama 9 tahun (masa sekolah). Di situ terdapat jajanan, misalnya engjan (enjan), bujan, bujan saga' (bujan ubi parut), dan lain-lain dengan kuah yang berbahan tauco. Waktu itu kuah tauco belum saya temukan di jajanan sekitar rumah orangtua saya.
SD Maria Goretti Sungailiat (Dokpri)
SMP Maria Goretti Sungailiat (Dokpri)
Dulu sekolah saya berada dalam lingkungan etnis Tionghoa. Di lingkungan SD dan SMP, para penjaja jajanan beretnis Tionghoa, dan tauco merupakan cuka/kuah yang selalu mereka sajikan untuk menyempurnakan cita rasa jajanan. Jelas sekali bahwa hal ini turut berpengaruh dalam pembentukan selera asal saya.
Dulu ada dua warung di depan SD saya (Dokpri)
Jajanan ketika SD (Dokpri)
Ketika keluar dari Bangka pada 9 Juni 1987 tetapi beberapa kali mudik, warung Yuk Nina masih ada, bahkan semakin jaya. Pada 1992 warung kayunya dipugar setelah suaminya, Bang Nusron, pensiun dini dari PT. Timah dengan pesangon yang lumayan ketika itu.
Bang Nusron dan Yuk Nina (Dokpri)
Setiap rutin mudik selama empat tahun terakhir, warung Yuk Nina menjadi tempat utama untuk melabuhkan kerinduan lidah saya. Kebetulan juga Bang Nusron juga mantan murid bapak saya di Jurusan Mesin STM Sungailiat, sehingga hubungan antartetangga tetap akrab, di samping antara pembeli dan penjual (pemilik warung).
Maka, pada kesempatan mudik akhir 2019 saya ingin menuliskan perihal makanan atau jajanan khas Bangka di kampung halaman, meskipun tidak terperinci dengan maksimal. Lokasi untuk memanjakan selera asal pun tidak perlu ditempuh dengan kendaraan berjelajah jauh dan berliuran sampai yang tetes terakhir. Dengan berjalan kaki saja, saya bisa segera menuntaskan kerinduan lidah secara leluasa dan aduhai.
Kampung Sri Pemandang Atas
Meski tidak setenar Kampung Melayu atau Kampung Rambutan di Jakarta, saya tetap senang mudik ke kampung halaman saya, Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Kab. Bangka Induk, Prov. Kepulauan Bangka Belitung. Ya, mau bagaimana lagi, namanya juga kampung halaman sendiri, 'kan?
Simpang TELKOM-Sri Pemandang Atas (Dokpri)
Kampung Sri Pemandang Atas atau sering disebut "Kampung Pucuk" merupakan bagian dari Kampung Sri Pemandang. Kampung atas sekitar dimana bagian bawah berujung di Simpang Mustafa alias pertigaan antara jalan Kampung Sri Pemandang Bawah, Kampung Senang Hati, dan jalan Taman Sari. Jalan raya yang menjadi semacam benang merahnya adalah Jalan Batintikal.
Merah = Sri Pemandang Atas (Dokpri)
Secara administratif, kampung halaman saya ini berada di Lingkungan/Dusun Sri Pemandang, Kelurahan Sri Menanti, dan Kecamatan Sungailiat. Kantor kelurahannya terletak di kawasan Pasar Inpres (dulu: Pasar Pagi), Singkai Melintang (Jalan Sam Ratulangi).
Kantor Kelurahan Sri Menanti (Dokpri)
Nama "Kampung Sri Menanti" yang kental dalam ingatan saya adalah kawasan kuburan Muslim di belakang Masjid Jami' Sungailiat. Hal ini disebabkan oleh jalan tembus dari arah Pasar Sungailiat yang menerus dan mudah melewatinya sampai ke samping Masjid Jami'.
Gerbang ke Kampung Sri Menanti (Dokpri)
Kalau boleh diasumsikan mengenai "Kampung Sri Pemandang" ini dan dari arah Pasar Sungailiat, Sri Pemandang dimulai setelah Masjid Jami' sampai sekitar Masjid Nurul Huda. Itu kalau boleh diasumsikan lho, ya?
Masjid Jami' Sungailiat (Dokpri)
Tempat Jajanan Terdekat Saya menyebutnya "terdekat" karena saya menempuhnya cukup dengan berjalan kaki. Jarak dalam ukuran "dekat" itu adalah 100-500 meter saja. Tidak terlalu berkeringat, dan tidak langsung menghabis energi ketika pulang dari tempat jajanan khas Bangka.
Posisi warung terdekat (Dokpri)
Lokasi pertama yang terdekat di kampung halaman saya sendiri (Sri Pemandang Atas) adalah warung Yuk Nina (Yuk = kakak perempuan; Mbak Yu dalam bahasa Jawa) atau pada spanduknya tertera "Terminal Makanan Khas Bangka Bu Nina". Jaraknya sekitar 200 meter dari rumah.
Warung "Yuk Nina" berada di dekat perempatan Telkom-Sri Pemandang Atas-Sam Ratulangi/Kampung Batu Bawah-Singkai Melintang Atas, atau lebih dikenal dengan sebutan "Simpang Telkom". Kalau dari arah Kota Sungailiat menuju Pemali hingga Kota Muntok, posisinya sekitar 8 meter setelah perempatan.
Warung yang saya kenal sejak masih SMP ini karena berjarak sekitar 20 meter dari tempat nongkrong saya di depan rumah Om Naswan si mantri sunat (mantri sunat saya juga). Menu andalannya dulu hanya empek-empek, bakwan, dan rujak su'un yang diletakkan di atas daun mangkuk-mangkuk.
Yuk Nina dan dapurnya terkini (Dokpri)
Ruang racik warung Yuk Nina (Dokpri)
Ruang sajian warung Yuk Nina terkini (Dokpri)
Sejak dipugar pada 1992 hingga kunjungan saya pada akhir Desember 2019, menu yang disajikan pun "dipugar". Rujak su'un tidak ada lagi, tetapi lebih banyak tambahan, misalnya es serut, engjan, bujan, bujan ubi saga' (ubi saga' = singkong parut), otak-otak, tekwan, engpiang, empek-empek telok, pantiauw, mi ikan, dan lain-lain.
Engpiang dan cuka belacan
Cuka (kuahnya) tidak hanya cuka "biasa" (biasa untuk empek-empek, rujak su'un, atau kempelang), tetapi juga cuka belacan (belacan=terasi), dan cuka tauco. Jelas sekali bahwa pengembangan usaha Yuk Nina tidak sebatas tempat.
Lokasi kedua yang jaraknya sedang atau sekitar 400 meter dari rumah adalah warung "Kang Cecep". Letaknya di Sri Pemandang Tengah atau sekitar 200 meter dari warung "Yuk Nina" ke arah pusat Kota Sungailiat.
suasana-warung-cecep-2-5e270938d541df25382e6e42.jpg
suasana-warung-cecep-3-5e270a90097f366a7d3a3ec2.jpg
suasana-warung-cecep-4-5e27096ed541df2fd851c8b2.jpg
Siap dimasak atau kondisi hangat (Dokpri)
Warung "Kang Cecep" berdiri sejak 2009 setelah Cecep keluar dari unit alat berat PT Timah. Bapaknya Cecep berasal dari Garut, Jabar, dan Cecep kelahiran Sungailiat, 1970.
Saya mengenal Cecep sejak masih SD. Waktu itu alumnus STM Negeri Pangkalpinang ini sering melintas di jalan depan saya untuk memarutkan kelapa di rumah Wak Warijan. Biasanya dia bersama kakaknya, Oni, yang kini menjadi rekan kakak saya di Pemprov. Babel.
Tempat Jajanan yang Agak Jauh
Saya menyebutnya "agak jauh" karena jarak tempuhnya cukup melelahkan bila dilakukan dengan berjalan kaki. "Agak jauh" itu secara ukuran versi saya adalah minimal 600 meter.
Peta Lokasi Jajan (Dokpri)
Lokasi ketiga adalah warung pecel "Embah Gepeng" di kawasan Pasar Inpres (dekat kantor Kelurahan Sri Menanti) Jalan Sam Ratulangi/Singkai Melintang. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari rumah orangtua saya, sehingga lumayan aduhai jika ditempuh dengan berjalan kaki saja.
warung-mbah-gepeng-1-5e270ab8d541df5e853c6065.jpg
warung-embah-gepeng-2-5e270c7e097f36639f190a22.jpg
Meskipun warung yang sebelumnya dirintis pada 1984 oleh Mbah Gepeng lalu dilanjutkan oleh anak dan menantunya ini "agak Jawa" dengan makanan berupa pecel uleg, di situ juga selalu tersedia empek-empek dan bakwan khas Bangka. Cukanya (kuah) "sederhana" dengan bahannya, yaitu bawang putih, cabai, kecap, gula, sedikit garam, sedikit cuka makanan, dan air panas.
warung-mbah-gepeng-suasana-1-5e270c65097f365a233a6903.jpg
warung-mbah-gepeng-suasana-2-5e270b5fd541df26755af0e2.jpg
warung-mbah-gepeng-sajian-1-5e270b91d541df285431f782.jpg
warung-mbah-gepeng-sajian-2-5e270ced097f3608f879f092.jpg
Menantunya Mbah Gepeng sedang menggoreng empek-empek
Terusan Jalan Sam Ratulangi (Singkai Melintang) hingga berujung di Simpang Toniwen, pada arah ke kanan atau Pangkalpinang terdapat Martabak Areng (Areng=Arang, alias bahan bakar arang) "Hendry Acun". Letaknya di sebelah kanan jalan masuk Stadion OROM (Olah Raga Obat Masyarakat/Gelanggang Olah Raga "Sutiyono") atau sekitar 1,5 km dari rumah orangtua saya di Sri Pemandang Atas.
warung-serabi-dan-bca-5e270d47097f361a5579a052.jpg
warung-serabi-5e270c20d541df6aeb226702.jpg
Warung "Hendry Acun" ini saya ikutkan karena secara kebetulan saya menemukan serabi kuah (saus) durian. Kebetulannya adalah ketika saya hendak mengambil uang di sebuah anjungan tunai mandiri di sampingnya.
Lokasi keempat (lebih dekat daripada "Hendry Acun") adalah daerah Air Ruay yang berada di jalan menerus ke Pemali atau Mentok (Muntok, Bangka Barat), sebelum simpang BTN/Perumnas lama, atau sekitar 1,5 km dari rumah orangtua saya. Di situ ada sebuah warung yang buka pada pagi hari, dan menjual lakso (laksa), selain kue-kue.
Sebuah warung di Air Ruay
Lainnya, warung "Alvista" di daerah Cokro (H.O.S. Cokroaminoto) yang berjarak sekitar 2 km dari rumah orangtua saya. Warung ini pun saya lihat secara kebetulan ketika pulang dari pasar Sungailiat. Salah satu jajanan khas Bangka yang pernah saya kenal adalah rujak su'un.
warung-alvista-1-5e270e61097f363a4e047b22.jpg
warung-alvista-2-5e270d3ed541df75720da142.jpg
warung-alvista-3-5e270d54d541df75720da144.jpg
warung-alvista-4-5e270d6cd541df75720da146.jpg
Tentu saja lokasi lainnya masih ada, baik yang lolos dari liukan lidah saya maupun yang payah dijangkau oleh kaki saya. Mungkin di daerah jauh itu jajanan lebih lengkap dan bercita rasa "lebih" Bangka.
Saya tidak bisa mengklaim bahwa tempat-tempat berkuliner khas Bangka tadi menjadi tempat mutlak alias satu-duanya. Lidah saya pun bukanlah patokan/ukuran yang mutlak berlaku bagi semua lidah atau selera orang, sebab sejak semula selera terbentuk oleh pengalaman pribadi. Nama makanan boleh sama, tetapi lidah setiap orang pasti berbeda.
Sebagian Kudapan Khas dan Pas yang Subyektif
Saya menyebutkan "sebagian", karena tidak semuanya harus saya masukkan ke tulisan ini, apalagi kalau tidak memuaskan selera lidah usang-subyektif saya. Subyektivitas selera saya pun berbeda dengan orang lain di sekitar saya, apalagi yang jauh entah di mana.
Meski subyektif, paling tidak, dengan masih berproduksi, bahkan bervariasi, hingga penambahan luasan ruang warung dan jumlah pengunjung itu bisa membuktikan bahwa selera saya mirip dengan selera sekian orang. Dengan begitu, saya tidak perlu malu hati sendiri.
1. Empek-empek khas Bangka dan Kuahnya yang Khas
Empek-empek khas Bangka berbeda dengan pempek khas Palembang. Kata "empek-empek" dan "pempek" saja sudah berbeda, apalagi bahan dasar (ikan air asin dan ikan air tawar), bahan tambahan (kosong dan telur), bentuk, kuah, dan rasanya.
Pempek Palembang dikenal dengan nama "kapal selam". Sebagian orang Bangka biasa menyebutnya "empek-empek telok (telur)".
Empek-empek belum digoreng di warung
Empek-empek siap santap di warung
Empek-empek siap santap di warung
Empek-empek siap santap di warung
Empek-empek saya nikmati di warung "Yuk Nina", warung "Kang Cecep", dan warung "Embah Gepeng". Hanya saja kuah cukanya yang pas dengan lidah usang saya (ini jelas subyektif banget!) berada di salah satu warung.
2. Bakwan khas Bangka
Kata "bakwan", oleh masyarakat umum, sering disandangkan pada kudapan yang digoreng. Bahan utamanya dari tepung. Nama lainnya ialah "bala-bala", "ote-ote", dan seterusnya.
Bakwan khas Bangka adalah empek-empek yang direbus dengan bumbu tertentu, dan diberi kuah. Nama lainnya adalah empek-empek basah.
Bakwan khas Bangka ini terdapat di warung "Yuk Nina", warung "Kang Cecep", dan warung "Embah Gepeng". Lidah usang saya cocok dengan bakwan sekaligus kuahnya di salah satu warung.
3. Jajanan Berkuah Tauco
Tempat jajanan berkuah tauco adalah warung "Yuk Nina". Menurut pengalaman lidah saya yang dulu sering jajan di SD-SMP Maria Goretti yang penjualnya adalah orang Tionghoa, kuah tauco warung "Yuk Nina" juga aduhai nian.
Jajanan zaman sekolah dengan kuah tauco ialah otak-otak, engjan, bujan, bujan ubi saga', dan lain-lain selain empek-empek, bakwan, apalagi pantiauw.
otak-otak-1-5e2710e0097f366d6f74bc12.jpg
otak-otak-2-5e2710f6097f360c3a3386b2.jpg
Engjan dan bujan tidak perlu digoreng
Bujan yang tergigit, aduhai
Bujan ubi saga' harus digoreng
4. PantiauwKekuatan cita rasa pantiauw terdapat pada bumbu gilingan ikannya. Masing-masing pembuat pantiauw memilih jenis ikan yang berbeda.
Sajian pantiauw di warung
Pantiauw terdapat di warung "Yuk Nina" dan warung "Kang Cecep". Tidak tersedia di warung "Embah Gepeng" sejak semula.
5. Es Serut
Es serut, es giling atau es campur terdapat di warung "Yuk Nina" dan warung "Kang Cecep". Kedua warung ini tetap menggunakan santan sebagai bagian utama, dan pengolahannya sudah menggunakan mesin yang dialiri listrik.
Perbedaan keduanya berada dalam formasi isi. Warung "Yuk Nina" masih memasukkan kacang merah rebus, dan kacang hijau rebus. Warung "Kang Cecep" memasukkan dua potong tapai (tape/peuyeum), tetapi tanpa kacang merah dan kacang hijau rebus.
Es serut dalam proses di warung
Kacang merah rebus yang lembut
Mesin es serut dan pembuatan es serut di warung
es-serut-warung-cecep-2-5e2713fb097f36405a3cc622.jpg
Sementara warung “Mbah Gepeng” tidak menjual es serut lagi sejak dipindah untuk dipugar pada 2018. Tahun sebelumnya masih ada, bahkan mesinnya masih manual.
6. Serabi Kuah Durian
Desember juga musim durian, dan menjadi kesempatan penting untuk kuah/saus serabi. Akan tetapi kudapan satu ini tidak terdapat di warung-warung terdekat.
Kali terakhir saya menikmati serabi kuah durian adalah pada awal 1987, dan dibelikan oleh saudara. Maka, ketika bisa mendapatkannya lagi (2020), saya menghabiskan tiga serabi dan kuahnya langsung bikin saya langok (mbelenger; eneg). Sudah begitu, masih juga saya beli untuk dibungkus dan saya bawa pulang.
7. Rujak Su’unIni salah satu rujak yang “aneh” jika saya bandingkan dengan rujak-rujak di luar Bangka. Bahannya mi putih, irisan tahu goreng, kecambah (toge), dan lain-lain, termasuk dengan cuka/kuah empek-empek.
rujak-suun-2-5e27148fd541df675e57d032.jpg
***
Demikian saja sedikit kisah “mudik selera” di kampung halaman sendiri yang baru sekarang saya sempat menuliskannya. Kesempatan ini pun tidak satu-dua kali singgah untuk jajan, melainkan lebih tiga kali, karena keterbatasan perut saya.
Barangkali tulisan ini merupakan tulisan pertama dan terakhir saya yang berkaitan dengan “mudik selera” di kampung halaman. Tulisan ini pun saya dedikasikan untuk kampung halaman saya yang memiliki tempat jajanan khas Bangka.
Memang kurang lengkap kalau soal jajanan atau makanan khas lokal. Masih ada tefu sui (susu kedelai), tefu cong, tefu fa, lempah kuning, lempah darat, gulai nanas, rusip, sambelingkung, dan seterusnya, karena makanan khas yang saya tuliskan di atas merupakan jajanan/kudapan yang paling mudah-dekat saya santap, dan tidak perlu disantap bersama sepiring nasi.
tempoyak-5e27150ad541df19de436292.jpg
Belum lagi Desember adalah musim durian. Selain serabi kuah durian dan lempok (dodol) durian, ada lagi kudapan dengan olahan berbahan dasar durian. Misalnya ketan durian (tempoyak), talam ubi durian, dan lain-lain.
Istri saya sedang menikmati masakan Tionghoa Bangka di dekat Kuday
Sementara kisah dari lidah Melayu (
fan ngin)ini akan berbeda dengan kisah istri saya yang berlidah Tionghoa (
thong ngin; dari kakek moyangnya yang berasal dari Bangka juga). Kalau istri saya yang berkisah, pasti berbeda, dan berbanding-sanding dengan makanan khas Pontianak-Tionghoa, Kalbar yang pernah dinikmatinya ketika berkunjung dalam rangka suatu pekerjaan.
*******
Ruang Pandang, Sri Pemandang Atas, 21 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya