Mudik, bagi sebagian perantau, khususnya perantau sejati alias tidak pernah menetap lagi di kampung halaman, adalah pulang ke kampung halaman (pulang kampung/pulkam). Berkumpul dengan orangtua, keluarga kandung, keluarga besar, tetangga atau kawan kampung, dan bersama keluarga baru bertamasya ke tempat wisata yang aduhai di sekitar daerah asal.
Bagi sebagiannya lagi, mudik tidaklah cukup begitu. Mudik yang berikutnya adalah "mudik selera" atau "pulang ke selera asal". Ada kerinduan yang mendayu-dayu, dan merayu-rayu lidahnya, sehingga mudik menjadi kesempatan yang paling aduhai untuk menuntaskan kerinduannya.
Makanan, khususnya jajanan/kudapan, khas kampung halaman merupakan impian selera usang bagi para putera daerah yang telah lama merantau, bahkan berdomisili di luar daerah yang sangat jauh. Bukan makanan berlabel "nasional" apalagi "internasional", karena selama waktu yang lama lidah udik "ditaklukkan" oleh rasa yang "asing-baru".
Mudik Selera
Tiga alinea pembuka di atas hanyalah pendapat saya sendiri (subyektif). Boleh diabaikan, dikritisi, dikoreksi, bahkan disanggah, karena setiap lidah memiliki kesan subyektif-mendalam sejak berfungsi untuk mengecap rasa suatu santapan atau kudapan tertentu dan pola pikir membentuk patokan awal mengenai "selera".
Mudik pun merupakan bagian subyektivitas (kemauan) saya alias bukan hasil kesepakatan (obyektif) dengan banyak orang. Iya, 'kan?
Makanan yang umum lainnya, misalnya pisang goreng, tempe-tahu goreng, cilok/salome, batagor, bakso, mi ayam, dan lain-lain, bukanlah sesuatu yang istimewa di lidah saya sebagai kudapan bercita rasa Bangka. Biasa-biasa saja, dan tidak menjadi semacam bahan obrolan yang mampu menggoda selera asal saya.