Sayangnya, rumah tetangga itu kosong. Saya dan rekan saya kembali ke tempat semula, yaitu tempat penurunan pasir yang berada tepat di samping pagar tetangga samping kiri alias si Mas Pengadilan.Â
Tidak apa-apa, karena kemarin situasi sudah saya bicarakan dengan si Mas, asalkan tidak mengganggu aksesbilitas dan sirkulasi kendaraan para penghuni dan lain-lain.
Setelah proses perapian posisi pasir terselesaikan dengan baik, melintaslah sebuah mobil keluarga. Ternyata dalam mobil tersebut berisi tetangga yang rumahnya kosong tadi.Â
Saya tidak segera beranjak, karena saya harus memberikan waktu kepada tetangga itu beserta keluarganya untuk turun dari mobil dan melegakan diri dari perjalanan berhari raya.
Sekitar lima belas menit kemudian barulah saya dan rekan saya bertamu ke rumah tetangga itu. Maka ngobrollah kami sebagaimana lazimnya rakyat biasa-tradisional.
Ya, beginilah adanya saya dalam pelaksanaan pekerjaan sekaligus tetap bersilaturahmi dengan orang-orang sekitar. Tidak ada hal yang istimewa selain kelaziman hidup bertetangga di Indonesia.
Selanjutnya adalah bertamu ke rumah Penyair Ragil Sukriwul yang bapaknya berasal dari Malang, Jatim dan ibunya berasal dari Rote, NTT! Lumayanlah, selain kembali menikmati ketupat lebaran, juga lebih tiga jam saya berada dalam suasana Idulfitri di rumah si penyair.Â
Saya pun sempat ngobrol dengan bapaknya menggunakan bahasa Jawa, khususnya Krama Inggil. Aduhai sekali Idulfiti kali ini!
*******
Kupang, 5 Juni 2019 Â