Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Siapkah Sumpah Pocongnya, Jenderal?

27 Februari 2019   14:36 Diperbarui: 16 Maret 2019   01:53 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (18/12/2018). (CHRISTOFORUS RISTIANTO/KOMPAS.com)

"Jangan didik anak kita penakut 
Jangan ajar anak kita pengecut" -- Iwan Fals, 1984.

"Wiranto Tantang Prabowo dan Kivlan Zen Sumpah Pocong soal Dalang Kerusuhan 98," judul berita di Tribunnews.Com pada, Selasa (26/02/2019). Waduh, berita apa lagi ini, sampai pocong masuk dalam sumpah begitu, ya?

"Saya berani, katakanlah berani untuk sumpah pocong saja. Tahun 1998 itu yang menjadi bagian dari kerusuhan itu, saya, Prabowo, Kivlan Zen, sumpah pocong kita," kata Wiranto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (26/2/2019).

Tantangan Wiranto ini merupakan tanggapan terhadap "tuduhan" Kivlan Zen dalam acara "Para Tokoh Bicara 98" di Add Premiere Ballroom, Jalan TB Simatupang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin, (25/2/2019) kemarin. Dalam acara yang dimoderatori oleh Mubalig Haikal Hassan, Kivlan menjadi pembicara bersama anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Fuad Bawazier, Budayawan Betawi Ridwan Saidi, dan mantan Wakil Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto.

Sebelumnya lagi, BBC.Com edisi 25/7/2018 menayangkan berita "Dokumen rahasia Amerika Serikat diungkap: 'Prabowo perintahkan penghilangan aktivis 1998'". Dokumen-dokumen ini diungkap Arsip Keamanan Nasional dengan memanfaatkan Undang-Undang Kebebasan Informasi yang mengharuskan arsip rahasia diungkap setelah beberapa tahun.

Salah satu dokumen merupakan telegram berisi percakapan antara Asisten Menteri Luar Negeri AS, Stanley Roth, dengan Komandan Kopassus, Mayor Jenderal Prabowo Subianto dalam pertemuan selama satu jam pada 6 November 1997.

"Prabowo terlibat perebutan kekuasaan dengan Wiranto," tulis arsip tersebut seperti yang dilansir oleh BBC.Com.

Dan, dalam grafis "Komandan Lapangan Kerusuhan Mei 1998" di Tirto.Com edisi 22 Mei 2017 melalui artikel "Mereka Tetap Jenderal Setelah Tragedi Mei 1998" tertera nama-nama komandan lapangan itu. Nama mereka ialah Prabowo Subianto, Wiranto, Sjafrie Sjamsoeddin, Timur Pradopo, dan Hamami Nata (Alm.).

Ilustrasi dikejar pocong (Karya Gus Noy)
Ilustrasi dikejar pocong (Karya Gus Noy)
Masih seperti Pilpres 2014
Sebenarnya bukan berita baru. Pada Pilpres 2014, ketika masih menjadi juru bicara Paslon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa Kivlan Zen sudah mengungkapkannya. Kompas.Com edisi 18/06/2014 memajang berita "Kivlan Zen Tunjuk Dalang Kerusuhan Mei 1998 di Kubu Jokowi".

Sementara VoaIndonesia.Com edisi 19/06/2014 memajang berita "Wiranto Pastikan Keterlibatan Prabowo Dalam Penculikan 1998". Jendral (Purn.) Wiranto menjelaskan bahwa dirinya pada waktu itu membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang dipimpin oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn.) Subagyo HS untuk menyelidiki kasus penculikan aktivis 1998.

"Selaku Panglima ABRI saat itu atas kasus itu saya kemudian melakukan pengusutan dan penghukuman kepada para pelaku penculikan. Letjen Prabowo Subianto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), oleh DKP yang saya bentuk, telah dibuktikan bahwa beliau terbukti terlibat dalam kasus penculikan. Maka DKP dari hasil penyelidikan kasus penculikan 1998 merekomendasikan Panglima Kostrad waktu itu diberhentikan dari dinas keprajuritan," kata Wiranto.

Selain itu, dalam artikel "Inilah Dalang Kerusuhan Mei 1998" di Kompasiana.com, 1 April 2014, Kompasianer Robert Strong justru membuat kesimpulan berbeda. "CSIS dan Benny Moerdani adalah aktor utama Kerusuhan Mei 1998 dan bukan Wiranto maupun Prabowo," tulis Robert.

Kesimpulan Robert didukung oleh Priyono Budisuroso melalui artikel "Prabowo Dalang Kerusuhan Mei 1998?" di Kompasiana.Com, 18 Mei 2014. "Dari ulasan wawancara dan fakta yang terungkap diatas, kecil kemungkinan Prabowo adalah dalang kerusuhan Mei 1998," tulis Priyono.

Tradisi Masyarakat dan Negara
Tantangan Wiranto pun dijawab oleh Kivlan Zen. "Saya tidak mau sumpah pocong, itu kan sumpah setan. Tidak sesuai koridor hukum. Kalau mau kita berdebat saja di semua media TV di Indonesia," katanya seperti yang dilansir di Kompas.Com, Rabu, 27/02/2019.

Dengan demikian batallah acara "Sumpah Pocong" yang bisa menjadi viral, bahkan paling heboh dalam sejarah Indonesia. Sama seperti tantangan Yusril Ihza Mahendra pada Prabowo Subianto pada Sabtu, 24/11/2018, karena sebelumnya, di acara pembekalan relawan capres 02, 22/11, Prabowo mengatakan PBB adalah Partai Buatan Bowo.   

"Kalau ada orang bilang bapak bukan pendiri terus dia bilang pendiri, tinggal dibilang bapak mau sumpah pocong nggak? Bukan sumpah mubahalah, sumpah pocong saja," kata Yusril.

Ya, begitulah yang ternyata masih terjadi, bahkan disampaikan langsung oleh segelintir elite politik Indonesia, baik jenderal maupun profesor. Barangkali saja mereka mewakili salah satu tradisi masyarakat biasa, semisal di Madura (Sri Endah Kinasih, 2013), jika suatu persengketaan atau permasalahan mengalami jalan buntu dalam penyelesaian, hukum formal-positif "kehilangan palu", dan masing-masing pihak terkait bersikukuh sebagai pihak yang benar.

Akan tetapi, yang selalu dihindari oleh penyelenggara negara adalah tradisi keterbukaan kepada masyarakat umum (publik) mengenai persoalan bangsa-negara. Padahal, sangatlah penting adanya pertanggungjawaban secara terbuka kepada publik agar generasi-generasi selanjutnya tidak terjebak dalam "sengketa" bahkan "kegelapan" sejarah bangsa-negara sendiri.

Memang akan berat langkah Indonesia untuk mencoba "gaya Amerika". Di Amerika Serikat Pusat Deklasifikasi Nasional (NDC) wajib membuka dokumen-dokumen atau arsip negara yang berusia lebih 25 tahun sesuai dengan keputusan kongres mereka pada 1992 demi keterbukaan.

Jangankan membuka dokumen negara sendiri, lha wong ketika Amerika Serikat membuka dokumennya pada 26 Oktober (27 Oktober waktu Indonesia) 2017 saja, secara langsung disambut oleh segelintir jenderal Indonesia dengan "gemetar" karena terkait dengan Tragedi 1965 dan 1998. Apalagi, dengan sumpah pocong yang "ditawarkan" Wiranto, 'kan?

*******
Balikpapan, 27/02/2019

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun