Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Politik Seidentik dengan Kemasan Plastik

22 Februari 2019   01:30 Diperbarui: 22 Februari 2019   03:01 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca-Debat II Pilpres 2019 (17/2) komentar banyak kalangan, baik tim resmi di kedua kubu maupun pendukung tidak resmi di internet, seputar lahan ternyata jauh lebih panjang dari perkiraan Eratosthenes (276-194 SM) bahkan 4,8 x keliling bumi melalui jalan yang dibangun di desa-desa. Pangkalnya hanya dari "Saya tahu" setelah "Bapak bangga membagi-bagikan".

Sebenarnya konyol jika sudi kembali sejenak pada "sebab-akibat". Dari "Saya tahu" atau "Saya tahu Pak Prabowo memiliki..." lantas dituding sebagai "serangan atas pribadi" (menyerang pribadi). Tidak seorang pun mengulik frasa sebelumnya, yaitu "Bapak bangga", padahal justru frasa itulah yang "menyerang pribadi" karena bukan dengan frasa "Pemerintah sibuk membagi-bagikan...".

Akan tetapi, ya, apa boleh buat, politik bisa dibuat-buat menjadi "seolah-olah", apalagi dalam rangka agenda lima tahunan. Dampaknya, komentar berbalasan terus berlanjut pasca-Debat II, bahkan melebar ke mana-mana, di samping "daur ulang" kabar kekayaan siapa-siapa di luar kontestan yang sebenarnya. Bukankah itu konyol?   

Kursi Tertinggi-Terpanas di Negara Republik
Di Republik Indonesia pilpres memang sebuah agenda resmi-konstitusional dalam perebutan kekuasaan secara politik setiap lima tahun, meski bukanlah tertinggi secara kelembagaan negara. Kelembagaan tertinggi secara konstitusional adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sayangnya, ya, tidak lebih dari simbol belaka.

Bukankah seorang kepala negara (presiden) juga selalu tampil mewakili negara? Seorang Amien Rais yang mantan Ketua MPR RI periode 1999-2004 pun memilih menjadi salah satu kontestan pada Pilpres 2004-2009, 'kan?

Sepakat atau tidak, realitasnya, justru lembaga tinggi bertitel eksekutif yang selalu menjadi eksekutor kebijakan dan tata-kelola negara-daerah. Data-data di tingkat daerah (regional), dan nasional yang berkaitan dengan kekayaan atau kepemilikan (properti) berada di laci pihak eksekutif. Bahkan, kerja sama tingkat internasional, negosiator dan eksekutornya berada di pihak eksekutif.    

Dan, meskipun jelas berafiliasi dengan PKI melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), cetusan "Politik adalah Panglima" dari Njoto pada Agustus 1960 tetap terbukti kebenarannya. Sepakat atau tidak, panglima politik adalah presiden. Meski perkara hukum berada di ranah lembaga yudikatif dan legalitas awalnya dari lembaga legislatif, ujung-ujungnya selalu menjurus pada presiden, bahkan beberapa pihak menyalah-nyalahkan presiden. Misalnya saja kasus penahanan Ahmad Dhani.

Tidak heran, perebutan kursi eksekutif tertinggi (presiden) bertajuk "Pilpres" merupakan sebuah pertarungan politik paling krusial, bukannya kursi legislatif dengan jumlah yang banyak dan berpuncak pada kursi ketuanya. Presiden merupakan tokoh sentral alias panglima politik.

Politik Indonesia Pasca-Reformasi 1998
Apakah yang sebenarnya menjadi sumber pemicu atas terjadinya Reformasi 1998? Apakah sekadar kursi "panglima politik" yang terlalu lama (32 tahun) diduduki Soeharto?  

Sepakat atau tidak, salah satu sumbernya adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Rezim Orde Baru (Orba) beserta lingkarannya (kroni) telah mengeksploitasi kekayaan Indonesia sekaligus mengalokasikannya secara besar-besaran ke daftar kekayaan mereka sendiri. Kebijakan-kebijakan sering kali justru untuk menambah kekayaan mereka. 

Praktik-praktik kolusi, baik dalam hal proyek pembangunan serta pengadaan barang-jasa, saham investor, maupun jabatan, tidak lain merupakan upaya memperkaya diri mereka. Sedangkan Pancasila dan UUD 1945 menjadi tameng bagi kepentingan mereka belaka.

Pada 1990-an pun marak adagium-adagium politik. "Tiada kawan atau lawan yang abadi; yang abadi adalah kepentingan", "politik adalah siapa mendapat apa dan kapan", dan seterusnya. Tak pelak, penumbangan rezim Orba dengan tajuk "Reformasi 1998" merupakan akumulasi paling pamungkas, terlebih krisis moneter global turut menggilas perekonomian Indonesia.   

Selesaikah dengan Reformasi 1998? Apakah kemudian KKN bisa tereliminasi dari tatanan berbangsa-bernegara dan percaturan politik Indonesia?

Ternyata adagium-adagium politik tetap berlaku, dan terbukti dalam realitas politik Indonesia pasca-Reformasi. Kepentingan, dan siapa mendapat apa. Kalau pada zaman rezim Orba tidak kebagian, ya, setelah itu masing-masing mendapat bagian. Kalau tidak bisa duduk sebagai "panglima politik", paling tidak, berada di lingkaran kursi atau pura-pura vokal-frontal pun bisa kebagian juga.

Sepakat atau tidak, praktik-praktik politik di Indonesia bukanlah berdasarkan teori-teori politik seperti yang diajarkan di bangku pendidikan dasar hingga tinggi. Teori-teori tidak lebih dari pengisi buku, diktat-diktat, dan skripsi-skripsi. Praktiknya adalah berbagi kekayaan negara sebagaimana yang telah diwariskan dalam tradisi Orba.

Politik Kemasan Plastik
Sebagian praktik politik Indonesia merupakan warisan Orba. Slogan-slogan "demi keadilan sosial" atau "demi kesejahteraan-kemakmuran rakyat" sebatas "kemasan". Kalau diumpamakan, semua slogan itu merupakan kemasan plastik.

Sebagian kemasan plastik sudah bisa didaur ulang. Sebagian lainnya, bahkan berjumlah besar, tetaplah merupakan limbah, bahkan berbahaya bagi kehidupan semesta raya.

Pada debat ke-2 itu yang mengemuka masih sebatas "kemasan plastik". Dan, yang namanya "plastik", tentu saja, ada yang bening, samar-samar dengan aneka warna, bahkan ada yang benar-benar pekat. Yang tergolong bening, misalnya, beberapa data yang akurat atau "Itu benar". Sedangkan yang tergolong "samar-samar", misalnya saja "Saya tahu" atau angka yang meleset dari data.

Lantas, yang tergolong "pekat"? Yang tergolong "pekat", di antaranya, ada yang tidak menanggapi pertanyaan, kata "strategi" tanpa contoh, dan lain-lain.

Sementara dalam realitas politik di luar debat ataupun pasca-debat, kemasan plastik "bening-samar-pekat" berserakan. Ada yang bekas pakai, sedang dipakai, dan, tidak mustahil, ada kemasan yang sedang dibuat dari daur ulang serta modifikasi lainnya. 

Pokoknya, bagaimana politik Indonesia dikemas sedemikian rupa agar bisa tampil "seolah-olah" padahal demi meraih kekuasaan karena dengan kekuasaan-lah maka lebih mudah untuk menampilkan sekaligus menutupi apa saja.

*******
Balikpapan, 21/02/2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun