Pada 1990-an pun marak adagium-adagium politik. "Tiada kawan atau lawan yang abadi; yang abadi adalah kepentingan", "politik adalah siapa mendapat apa dan kapan", dan seterusnya. Tak pelak, penumbangan rezim Orba dengan tajuk "Reformasi 1998" merupakan akumulasi paling pamungkas, terlebih krisis moneter global turut menggilas perekonomian Indonesia. Â Â
Selesaikah dengan Reformasi 1998? Apakah kemudian KKN bisa tereliminasi dari tatanan berbangsa-bernegara dan percaturan politik Indonesia?
Ternyata adagium-adagium politik tetap berlaku, dan terbukti dalam realitas politik Indonesia pasca-Reformasi. Kepentingan, dan siapa mendapat apa. Kalau pada zaman rezim Orba tidak kebagian, ya, setelah itu masing-masing mendapat bagian. Kalau tidak bisa duduk sebagai "panglima politik", paling tidak, berada di lingkaran kursi atau pura-pura vokal-frontal pun bisa kebagian juga.
Sepakat atau tidak, praktik-praktik politik di Indonesia bukanlah berdasarkan teori-teori politik seperti yang diajarkan di bangku pendidikan dasar hingga tinggi. Teori-teori tidak lebih dari pengisi buku, diktat-diktat, dan skripsi-skripsi. Praktiknya adalah berbagi kekayaan negara sebagaimana yang telah diwariskan dalam tradisi Orba.
Politik Kemasan Plastik
Sebagian praktik politik Indonesia merupakan warisan Orba. Slogan-slogan "demi keadilan sosial" atau "demi kesejahteraan-kemakmuran rakyat" sebatas "kemasan". Kalau diumpamakan, semua slogan itu merupakan kemasan plastik.
Sebagian kemasan plastik sudah bisa didaur ulang. Sebagian lainnya, bahkan berjumlah besar, tetaplah merupakan limbah, bahkan berbahaya bagi kehidupan semesta raya.
Pada debat ke-2 itu yang mengemuka masih sebatas "kemasan plastik". Dan, yang namanya "plastik", tentu saja, ada yang bening, samar-samar dengan aneka warna, bahkan ada yang benar-benar pekat. Yang tergolong bening, misalnya, beberapa data yang akurat atau "Itu benar". Sedangkan yang tergolong "samar-samar", misalnya saja "Saya tahu" atau angka yang meleset dari data.
Lantas, yang tergolong "pekat"? Yang tergolong "pekat", di antaranya, ada yang tidak menanggapi pertanyaan, kata "strategi" tanpa contoh, dan lain-lain.
Sementara dalam realitas politik di luar debat ataupun pasca-debat, kemasan plastik "bening-samar-pekat" berserakan. Ada yang bekas pakai, sedang dipakai, dan, tidak mustahil, ada kemasan yang sedang dibuat dari daur ulang serta modifikasi lainnya.Â
Pokoknya, bagaimana politik Indonesia dikemas sedemikian rupa agar bisa tampil "seolah-olah" padahal demi meraih kekuasaan karena dengan kekuasaan-lah maka lebih mudah untuk menampilkan sekaligus menutupi apa saja.
*******
Balikpapan, 21/02/2019