Sebaliknya, ketika mendapat kritik bahkan cemooh, semisal "tulisan apa ini", lantas cemberut, melempem semacam kerupuk terendam kuah bakso, menangis meraung-raung, dan tidak mau makan, begitu, ya? Kalau perlu, mengajak orang lain untuk memusuhi si pencemooh, begitu, ya?
Gaes, apakah dunia tulis-menulis membutuhkan para penulis bermental anak-anak manja-cengeng begitu? Mentalitas seorang Pramoedya Ananta Toer atau W.S. Rendra, bisa dibayangkan jika Gaes membaca kisah hidup mereka dalam berkarya?
Saya masih jauh di bawah kehebatan banyak penulis karena saya memang bukanlah penulis,
Gaes. Saya hanyalah arsitek bersertifikat Madya yang gemar menggambar ilustrasi, kartun (humor dan opini, karikatur, kaus oblong, dan seterusnya. Kartun saya pernah dimuat di Majalah
Humor,
Intisari,
Bahana Yogyakarta, Tabloid
Bola,
Minggu Pagi Yogyakarta, dan lain-lain. Sesekali ikut lomba, dan pernah meraih Juara Harapan II di Penerbit Kanisius Yogyakarta dan Kevikepan Semarang. Saya pernah menjadi juri lomba karikatur tingkat mahasiswa se-Yogyakarta. Gambar untuk kaus oblong saya pernah menghidupkan
Budak Bangka T-shirt, masuk nomine "Sewindu Rindu Dagadu", Juara Harapan V bahkan Juara I dalam Festival Oblong Yogyakarta.
Dimuat di Majalah Intisari (Dokpri)
Ragil Sukriwul Kupang (Dokpri)
Intinya, kemampuan (
skill) saya memang pada bidang gambar-menggambar. Bukan tulis-menulis,
Gaes. Tulis-menulis hanyalah "kecelakaan" berpikir sehingga saya pun mengalami olok-olokan yang sedemikian aduhai waktu dulu.
Namun saya harus "bandel" ketika nekat "mencelakakan" diri dengan tulis-menulis serta nekat menarungkan tulisan,
Gaes. Biar
gini-gini,
Gaes, saya pernah Juara I Lomba Menulis Artikel se-Babel dan Sumsel dalam rangka Ekawarsa
Bangka Pos, Juara I Lomba Penulisan Esai se-Kaltim dan Kaltara, dan lain-lain, termasuk nomine. Cerpen saya pernah meraih "Cerpen Pilihan" dalam Cybersastra Award, Pemenang Lima Besar Lomba Menulis Cerpen Dewan Kesenian Sleman Yogyakarta, Harapan I Hadiah "Tepak" Dewan Kesenian Bengkalis Riau, Harapan II Anugerah Sagang Riau, dan lain-lain. Puisi pun pernah masuk nomine Lomba Cipta Puisi Krakatau Award Lampung, nomine Lomba Menulis Puisi Rakyat Merdeka Jakarta, dan lain-lain. Ah, cukuplah itu.
Gaes, dalam berkarya, ujian terpenting justru berada pada mental, apalagi dalam era internet yang berlari kencang dengan aneka lomba, penerbitan karya, dan pertumbuhan penulis yang cukup signifikan. Kalau di Kota Pelajar sekaligus Kota Budaya saja saya yang asli Kampung Sri Pemandang Atas Sungailiat Bangka ini harus "bandel" untuk melatih dan menguji mental sendiri, bukanlah hal yang "mengerikan bin sadis" jika hanya dihujani hujat atau hinaan terhadap tulisan-tulisan saya, 'kan?
Saya pun yakin,
Gaes, mayoritas penulis di
Kompasiana bukanlah anak-anak PAUD apalagi belum tamat SD yang hidup dalam asuhan penuh kemanjaan. Ketika karya terpajang (terpublikasi) di
Kompasiana, kalangan mayoritas itu sudah menyiapkan mental sekeras baja untuk menerima konsekuensi logis, termasuk bersifat negatif, misalnya cemooh, cibiran, cercaan ataupun celaan. Bukan hanya positif melulu berupa pujian,
Gaes.
Nah, kalau benar-benar bermental baja, Gaes pasti tidak pernah khawatir atau cemas terhadap segala konsekuensi yang ditampilkan oleh para calon pembaca. Gaes akan tabah dan tetap tekun menulis, tekun membaca, menulis lagi, membaca lagi, dan seterusnya hingga Gaes meraih prestasi-prestasi yang sepadan dengan mentalitas yang Gaes miliki.
Dan, di samping perihal mental-mentalitas, masih ada semacam proses seleksi alam. Seleksi alam tidaklah bisa cukup dalam kurun 3-5 tahun, tetapi terus-menerus hingga kondisi fisik si penulis sudah tidak mampu lagi, misalnya pikun, stroke, atau meninggal dunia secara mendadak. Kondisi ini jelas berbeda dengan "patah kata", 'kan?
Akan tetapi, bersyukurlah kalau selama ini Gaes belum atau tidak pernah mengalami seperti yang pernah saya alami. Artinya, tulisan-tulisan atau karya-karya Gaes memang sudah berkualitas seutuhnya, baik secara konteks, konten, maupun kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga tidak perlu diragukan oleh siapa pun. Biarlah saya saja yang masih akan terus bergumul dalam kuali dan tas, karena saya selalu tabah sejak dulu, Gaes.
*******
Balikpapan, 10 Februari 2019
Lihat Hobby Selengkapnya