Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis itu Melatih dan Menguji Mental

10 Februari 2019   03:40 Diperbarui: 10 Februari 2019   05:20 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gaes, sudah baca artikel saya yang judulnya "Tulisan Apa Ini?" (9/1), belum? Kalau belum, ya, baca dulu, deh. Kalau sudah, saya lanjutkan dengan artikel satu ini.

Sebenarnya masih ada lagi, Gaes. Bukan hanya tulisan dari pembelajaran jurnalistik, tetapi juga esai  iseng saya mengenai film-film Bollywood era 1980-an yang dimuat oleh sebuah media massa di Yogyakarta. "Mithun Chakraborty dan Hema Malini? Ha-ha-ha-ha," tanya disertai tawa seorang "senior". Atau, dipanggil oleh pihak rektorat gara-gara sebuah berita yang bersumberkan data sementara, tetapi akhirnya selesai karena data saya peroleh dari seorang sekretaris pembantu rektor.

Selain non-fiksi, karya saya juga pernah ditertawakan, yaitu berkaitan dengan puisi. Di sebuah media sosial seorang penyair (penyair sejati, bukannya penyair-penyairan lho, Gaes) pernah mengatakan, puisi saya termasuk "belum puisi" alias puisi gagal.

Tidak sebatas di situ, Gaes. Dalam sebuah pertemuan di sebuah satu universitas negeri di Bandung, seorang pemerhati puisi atau sastra pernah pula mengatakan bahwa ia tidak mau mendengar saya membaca puisi, baik puisi karya sendiri maupun puisi karya penyair terkenal.

Semua peristiwa tersebut terjadi lebih lima tahun silam. Namun, tentu saja, sangat membekas dalam ingatan saya, Gaes.

Kalau saya menganggap, baik perihal "tulisan apa ini", "Mithun Chakraborty-Hema Malini", maupun dua komentar mengenai puisi, sebagai sebuah penghinaan di hadapan banyak orang, apakah keliru, Gaes? Gaes pasti sepakat bahwa keempat kejadian yang pernah saya alami tadi merupakan penghinaan, bukan?

Gaes, kalau sejak awal menekuni tulis-menulis saja sudah ditertawakan sedemikian rupa tetapi saya masih "bandel" saja, selanjutnya bisa menjadi hal yang lumrah, 'kan? Lumrah-lumrah saja, karena tidak seperti yang Yesus Kristus alami sampai di puncak Golgota, Gaes.

Dan, bagaimana jika orang-orang itu kemudian menyaksikan raihan prestasi saya, baik fiksi maupun non-fiksi, pasca-olok-olokan?

Begini, Gaes. Menulis itu bukan sekadar merangkai kata-kata dan segala tanda baca pelengkapnya. Menulis dan memajang karya , atau dimuat oleh media massa konvensional, tidaklah lantas beres dan seketika menuai sorak-sorai (pujian dan tepuk tangan).

Menulis juga merupakan upaya melatih mental, Gaes. Apakah siap menerima konsekuensi logis selain pujian?

Gaes, kalau hanya berharap pujian datang seperti hujan deras atau banjir bandang, itu berarti masih bermental anak-anak manja, cengeng, atau kolokan. "Tulisan Adik bagus banget" atau "Adik hebat sekali", begitukah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun