Gaes, sudah baca artikel saya yang judulnya "Tulisan Apa Ini?" (9/1), belum? Kalau belum, ya, baca dulu, deh. Kalau sudah, saya lanjutkan dengan artikel satu ini.
Sebenarnya masih ada lagi, Gaes. Bukan hanya tulisan dari pembelajaran jurnalistik, tetapi juga esai  iseng saya mengenai film-film Bollywood era 1980-an yang dimuat oleh sebuah media massa di Yogyakarta. "Mithun Chakraborty dan Hema Malini? Ha-ha-ha-ha," tanya disertai tawa seorang "senior". Atau, dipanggil oleh pihak rektorat gara-gara sebuah berita yang bersumberkan data sementara, tetapi akhirnya selesai karena data saya peroleh dari seorang sekretaris pembantu rektor.
Selain non-fiksi, karya saya juga pernah ditertawakan, yaitu berkaitan dengan puisi. Di sebuah media sosial seorang penyair (penyair sejati, bukannya penyair-penyairan lho, Gaes) pernah mengatakan, puisi saya termasuk "belum puisi" alias puisi gagal.
Tidak sebatas di situ, Gaes. Dalam sebuah pertemuan di sebuah satu universitas negeri di Bandung, seorang pemerhati puisi atau sastra pernah pula mengatakan bahwa ia tidak mau mendengar saya membaca puisi, baik puisi karya sendiri maupun puisi karya penyair terkenal.
Semua peristiwa tersebut terjadi lebih lima tahun silam. Namun, tentu saja, sangat membekas dalam ingatan saya, Gaes.
Kalau saya menganggap, baik perihal "tulisan apa ini", "Mithun Chakraborty-Hema Malini", maupun dua komentar mengenai puisi, sebagai sebuah penghinaan di hadapan banyak orang, apakah keliru, Gaes? Gaes pasti sepakat bahwa keempat kejadian yang pernah saya alami tadi merupakan penghinaan, bukan?
Gaes, kalau sejak awal menekuni tulis-menulis saja sudah ditertawakan sedemikian rupa tetapi saya masih "bandel" saja, selanjutnya bisa menjadi hal yang lumrah, 'kan? Lumrah-lumrah saja, karena tidak seperti yang Yesus Kristus alami sampai di puncak Golgota, Gaes.
Dan, bagaimana jika orang-orang itu kemudian menyaksikan raihan prestasi saya, baik fiksi maupun non-fiksi, pasca-olok-olokan?
Begini, Gaes. Menulis itu bukan sekadar merangkai kata-kata dan segala tanda baca pelengkapnya. Menulis dan memajang karya , atau dimuat oleh media massa konvensional, tidaklah lantas beres dan seketika menuai sorak-sorai (pujian dan tepuk tangan).
Menulis juga merupakan upaya melatih mental, Gaes. Apakah siap menerima konsekuensi logis selain pujian?
Gaes, kalau hanya berharap pujian datang seperti hujan deras atau banjir bandang, itu berarti masih bermental anak-anak manja, cengeng, atau kolokan. "Tulisan Adik bagus banget" atau "Adik hebat sekali", begitukah?