Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dildo yang Menggelitik Syaraf Anu

13 Januari 2019   23:19 Diperbarui: 14 Januari 2019   03:08 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Akun Nurhadi-Aldo

Munculnya pasangan aduhai Nurhadi-Aldo alias "Dildo" dalam ingar-bingar pesta demokrasi 2019, khususnya Pilpres dengan duet dan duel di sana-sini, memang menyegarkan bagi saya. Duet dan duel 2014 dan 2019 dengan pasangan berbeda meski sama saja tokoh utamanya (Prabowo dan Jokowi, atau bisa dibolak-balik posisinya), tak pelak meningkatkan suhu panas yang kembali melanda di seluruh pelosok Nusantara.  

Salah satu kata mutiara (quote) dari Nurhadi-Aldo yang benar-benar "menggelitik" syaraf "anu" saya berbunyi, "Bagi Anda yang benci diri Anda sendiri, ingat Anda tidak sendiri. Karena banyak yang membenci Anda juga."

"Benci" merupakan kata kuncinya. Rasa satu ini dimiliki oleh siapa pun, termasuk rohaniwan paling dahsyat sekalipun. Saya yakin, seorang rohaniwan paling dahsyat memiliki rasa "benci".

Sudahlah, ngaku sajalah, tidak perlu menutupinya dengan dusta, yang justru cuma menodai "kesucian" rohani. Paling tidak, "benci pada dosa" atau "benci pada setan/iblis", 'kan?

Dalam pergaulan sosial masyarakat atau umat awam, tentu saja, biasa dengan benci-membenci hingga terentaskan istilah "ujaran kebencian" (hate speech) sejak sekitar 2016 melalui ranah politik praktis. Ya, sekadar terentaskan istilahnya, meski bukanlah hal yang baru, apalagi luar biasa.

"Tidak ada yang baru di bawah matahari," sabda Siapa dalam nats kitab suci. Saya mengamini itu, terutama berkaitan dengan benci. Ada pula tokoh "suci" yang membenci nasibnya karena persoalan hidup yang terlalu getir dalam kesehariannya.

Mengapa benci? Mengapa membenci? Mengapa benci seseorang berduet dengan benci orang lainnya? Mengapa benci seseorang berduel dengan benci orang lain? Mengapa pula benci pada diri sendiri? Dan seterusnya hingga mengaduk-aduk rasa kebangsaan melalui politisasi kebencian yang massif.

Benci dan iri (dengki) bisa-biasa berduet. Benci dan fitnah juga bisa-biasa berduet. Benci dan bunuh, ah, bisa juga berduet. Duet-duet itu berlanjut dengan duel, baik duel terbuka maupun tertutup. Bisa dan biasa, 'kan?

Setiap orang memiliki rasa benci yang berbeda-beda kadarnya, baik pada apa dan siapa. Masing-masing mengusung alasannya dioplos dengan aneka sebab-musabab. Masing-masing bisa keukeuh dalam argumentasinya.

Di samping itu, pihak di luar dirinya bisa membenarkan, mendukung ataupun menyalahkan. Benci demi benci pun berduet dan berduel, meski tidak perlu terlihat terang-terangan alias cukup dalam bisik-bisik. Yang berstatus "rohaniwan" bisa berduet dengan "awam" dalam hal benci. Kolaborasi benci semakin aduhai untuk berduel dengan apa-siapa yang menjadi sasaran. Biasa saja, 'kan?

Siapa pun, baik sekuler maupun non-sekuler, memiliki kehendak bebas untuk menghidupkan, mencandui, meluapkan, bahkan menularkan kebencian. Apakah ini berarti suatu pembenaran? Ah, benar-salah, sudah abu-abu batasannya. Bukankah orang berstatus "agama" pun bisa sekaligus biasa membenci apa-siapa?

Terus terang, saya tidak perlu merepotkan diri saya sendiri untuk mengurusi benci-membenci. Benci-membenci tidaklah lebih penting daripada karya-berkarya. 

Saya pun tidak sudi jika rasa benci mendominasi hidup saya sehingga saya mengalami kesulitan untuk berkarya. Membiarkan benci merajalela justru berpotensi pada situasi kontraproduktif dalam diri saya. Ya, mumpung pikiran-perasaan belum lumpuh, baik pikun, stroke, maupun mampus, saya lebih mengutamakan berkarya.

Salah satu upaya saya mengutamakan berkarya, ya, tulisan sepele dari gelitikan kata mutiara-nya Dildo itu. Aduhai sekali gelitikan Dildo pada syaraf anu saya!

*******
Balikpapan, 13 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun