Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Seberapa Rendah Mutu Proyek Infrastruktur "Pelat Merah"?

10 Januari 2019   02:10 Diperbarui: 10 Januari 2019   15:49 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu serta yang mungkin lupa saya tuliskan, persoalan koordinasi di lokasi (lapangan) sering tidak relevan. 

Ketika saya menjadi pengawas pada sebuah proyek "pelat merah", di lokasi tidak terdapat tenaga-tenaga lapangan, misalnya pelaksana (supervisor) dan manajer lokasi (site manager), padahal tertera dalam dokumen administrasi dan struktur organisasi. Kalaupun ada pelaksana, biasanya, tidak selalu berada di lokasi.

Ketiadaan dua tenaga itu pasti sangat mengganggu sistem koordinasi para personal di lokasi, apalagi dalam pelaksanaan pembangunan. 

Saya--sebagai pengawas ketika itu--harus berkoordinasi dengan mandor atau kepala tukang karena setiap hari saya harus berada di lokasi karena, ya, memang itu kewajiban seorang pengawas. Struktur organisasi macam apa ini?

Mandor hanya berhubungan langsung dengan pihak kontraktor, bukan dengan pengawas. Karena tidak ada pelaksana dan manajer lokasi, apalagi bos-nya kontraktor, mau-tidak mau pengawas berhubungan dengan mandor. Tidak jarang, pengawas berhubungan dengan bagian logistik-nya kontraktor pelaksana.

Sudah begitu, perihal sosialisasi mengenai struktur organisasi pun tidak ada, semisal dipasang pada bidang khusus di lokasi proyek, khususnya dari pihak personal lapangan di jajaran kontraktor. Saya mendapati petugas logistik kontraktor bisa "mengaku-aku" sebagai pelaksana (supervisor) bahkan manajer lokasi (site manager). 

Bagaimana pula seorang pengawas (mewakili konsultan dan pemerintah daerah setempat) mengatur petugas logistik kotraktor dalam pembangunan? Wah, kacau sekali deh, pokoknya!

Kekacauan hubungan tugas semacam itu selama bertahun-tahun saya alami, bahkan jauh sebelum era Jokowi.  Pihak kontraktor tidak bisa menyediakan tenaga secara lengkap, ya, apa lagi kalau bukan terkait gaji tenaga yang "disesatkan" ke pihak oknum-oknum dalam bentuk CF.

Lucunya lagi, sewaktu menjadi pengawas, saya malah "disuruh" oleh pihak konsultan untuk tidak perlu setiap hari berada di lokasi. Seminggu satu-dua kali, dan datangnya siang saja. Tidak perlu terlalu kaku, dan hepi-hepi sajalah.

"Suruhan" itu, tentu saja, lucu bahkan sangat ngawur. Seorang pengawas wajib berada di lokasi selama jam kerja. 

Seandainya terjadi masalah berhubungan dengan suatu pekerjaan, apalagi sampai terjadi kecelakaan kerja, orang yang paling pertama dimintai "keterangan"-nya adalah pengawas, bukannya mandor, kuli bangunan, bos-nya kontraktor, bos-nya konsultan, pimpinan proyek (pimpro), dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun