Per 8 Januari 2019 maskapai penerbangan Lion Air (LA) memberlakukan aturan baru bagi penumpang, terkait bobot barang (bawaan) untuk bagasi dan dimensi (ukuran) barang (bawaan) untuk kabin. Tak pelak saya harus berpikir ulang untuk menggunakan jasa penerbangan ini lagi pada suatu saat nanti.
Dua maskapai yakni Lion Air dan Wings Air mencabut layanan bagasi cuma-cuma 20 kilogram per penumpang mulai 8 Januari 2019 mendatang. Dengan begitu, para penumpang hanya digratiskan untuk membawa satu bagasi cabin seberat 7 kilogram dan satu barang pribadi. Ketentuan maksimum ukuran dimensi bagasi kabin adalah 40 cm x 30 cm x 20 cm.
Kabar yang ditulis oleh Corporate Communications Strategic Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro pada Jumat, 4/1, tersebut disiarkan oleh Kompas.Com pada tanggal yang sama. Judul siarannya, "Penumpang Lion Air dan Wings Air Kini Harus Bayar Bagasi".
Sekali lagi, saya harus berpikir ulang alias beralih ke maskapai penerbangan lain. Ya, anggap saja saya pelanggan yang kecewa, dan beralih ke jasa lainnya bukanlah hal tercela. Toh, bisnis jasa penerbangan masih sarat persaingan. Toh, masih ada maskapai kompetitor yang mampu menampung dan mengangkut aspirasi saya. Cieee, aspirasi!
Lho, betapa tidak begitu, lha wong saya seringkali menggunakan jasa penerbangan LA, 'kan? Pihak administrator LA bisa mencari jejak saya melalui nama saya dalam sekian penerbangan.
Sebelum aturan bagasi tersebut, saya merupakan seorang pelanggan yang keras kepala. Ketika hendak membeli tiket LA, saya selalu siap dengan konsekuensi yang bernama "molor" alias "delayed". Orang-orang di sekitar saya, khususnya keluarga, tidak mau lagi menggunakan jasa LA gara-gara molor itu.
Apakah pihak LA pernah menemukan secarik uneg-uneg saya gara-gara molor?
Saya bisa berkompromi dengan molor. Mungkin karena cuaca yang buruk. Mungkin karena ada masalah di bandara. Mungkin karena hal-hal teknis yang memang penting untuk diselesaikan sebelum terbang.
Kebetulan saya bukanlah seorang pebisnis, yang selalu berkejaran dengan waktu dalam jadwal yang ketat. Saya pun tidak sudi menjadi "seolah-olah pebisnis" yang suka berkejaran dengan waktu, kecuali ketika bapak saya meninggal dunia pada 11 Maret 2016.
Molor, bagi saya, bisa saja merupakan kesempatan untuk "lebih" santai dalam berangan-angan tentang suasana di tempat tujuan, atau jalan-jalan sebentar di ruangan bandara sebagai upaya merekam suasana. Biasanya saya menemukan hal-hal baru atau yang menarik bagi saya.
Selain molor, jadwal penerbangan berikutnya (transit) yang jauh pun justru merupakan kesempatan bagi saya untuk merekam suasana, minimal melihat-lihat bangunan, baik interior maupun eksterior. Setiap bandara memiliki kekhasan masing-masing secara fisik dan sosial.
Belum lagi kalau saya menemukan hal-hal yang unik, semisal seorang ibu berkeliling untuk menjajakan minuman panas-hangat dengan harga yang lebih "miring" daripada di kios-kios dalam bandara. Terkadang saya mengajak orang lain untuk ngobrol, dan, ya, selalu ada kisah-kisah baru yang aduhai bagi saya.
Saya tidak pernah berpikir negatif lantas "memaki-maki" gara-gara jadwal penerbangannya molor. Terlalu kotor pemikiran saya jika saya cemplungkan dengan pikiran negatif.
Yang juga sering menjadi kasak-kusuk orang di sekitar saya adalah persoalan kecelakaan yang dialami oleh pesawat LA. Dibandingkan dengan maskapai penerbangan lain, pesawat milik LA lebih sering mengalami persoalan itu, meskipun "kecil", semisal sayap pesawat JT 633 "menyenggol" tiang lampu di Bandara Fatmawati-Soekarno (7/11/2018). Hal ini pun yang menyebabkan orang-orang di sekitar saya tidak tertarik untuk menggunakan jasa penerbangan LA.
Yang paling parah adalah jatuhnya pesawat LA JT 610 jurusan Jakarta-Pangkalpinang pada 29/10/2018. Dari trauma tingkat Provinsi Babel hingga kecemasan tingkat nasional, semisal anjuran kawan di luar Babel untuk tidak menggunakan jasa penerbangan LA.
Saya termasuk pelanggan paling keras kepala sampai saya jadikan artikel "Lion air, Trauma, dan Terserah Takdir" (9/12/2018). Saya memiliki prinsip tersendiri sehingga saya tergolong "keras kepala". Istri saya pun tidak sanggup "membelokkan" pilihan saya ketika realitas berhadapan langsung dengan tiket yang sudah saya pesan, sehingga dia "terpaksa" beralih ke maskapai penerbangan lain.
Selain molor, kecelakaan kecil, dan trauma sekian orang, persoalan teknis lainnya bukanlah sesuatu yang sekadar "kabar"-nya. Saya mendapat "kabar" alias "rahasia umum" yang memang layak saya percaya, meski tetap gagal melunakkan kepala saya. Pulang ke Balikpapan (dari Kupang, 20/12/2018) pun saya tetap memakai pesawat LA (JT 693 dan JT 730). Betapa kerasnya kepala saya, 'kan?
Nah, karena ternyata aturan terkait bobot dan ukuran tersebut sudah diberlakukan oleh LA per 8 Januari 2019, ya, lunaklah kepala saya. Barang bawaan (bagasi) saya selalu melebihi bobot 7 kg, bahkan pernah melampaui batas maksimal (24 kg) ketika kembali ke Kupang dari Pangkalpinang pada 8/12/2018.
Di samping bobotnya, juga ukurannya, yakni 40 cm x 30 cm x 20 cm, untuk kabin. Meski tidak sampai 7 kg, kalau isinya makanan khas Bangka semisal kemplang/kerupuk, ukuran kemasannya pasti akan melebihi aturan baru tersebut. Lantas, bagaimana dengan ukuran tas ransel atau koper yang biasa saya bawa ke kabin?
Dengan batas maksimal pada bobot bawaan untuk bagasi dan ukuran bawaan untuk kabin, mau-tidak mau saya akan mempertimbangkan lagi soal molor, kejadian-kejadian "mendebarkan", trauma sekian orang, dan "persoalan teknis". Mungkin aturan baru ini pun menjadi "takdir" bagi saya untuk beralih ke jasa penerbangan lain, yang memang sebelum-sebelumnya menjadi jasa penerbangan favorit bagi orang-orang di sekitar saya. Ya, mungkin cinta kita berakhir dalam bagasi, LA, seperti yang sudah dinyanyikan oleh Glen Fredly (Januari) pada 2002 silam.
*******
Balikpapan, 9 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H