Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Pengendara Aksara

2 Januari 2019   22:26 Diperbarui: 2 Januari 2019   23:39 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis seumpama pengendara aksara. Penulis mengendarai aksara untuk membawa pikirannya ke tempat tujuan. Entah di mana tujuannya, dan akan berpindah ke mana selanjutnya.

Seseorang disebut "pengendara", tentu saja, karena sebuah kendaraan yang digunakannya. Pengendara sepeda, motor, mobil, dan seterusnya.

Sebutannya pun berbeda-beda, misalnya sopir, masinis, pilot, dan lain sebagainya, tergantung jenis kendaraannya. Kendaraan di darat, di air, dan di udara.

Seorang pengendara yang "diakui" adalah dia yang juga memahami petunjuk atau aturan teknis menggunakan sebuah kendaraan berdasarkan kondisi dan waktu tertentu. Ada rem tangan. Ada rem kaki. Kapan dan dalam keadaan apa mengerem dengan rem tangan atau rem kaki. Atau, memasang lampu tanda arah belok (sign), menyalakan lampu jauh-dekat, membunyikan klakson, dan lain-lain.

Seorang anak kecil sedang belajar menggunakan sepeda mini tetapi tanpa roda penyeimbang. Apakah ia bisa segera lancar mengayuh, mengendalikan setang, tidak terjatuh, dan langsung disebut "pengendara sepeda mini"?

Mungkin ia sudah mulai mengerti cara mengayuh dan memegang setang. Akan tetapi, ia tetap saja membiarkan kendaraannya menabrak tembok, tiang listrik, dan lain-lain. Pengendara macam apa itu?

Atau, seseorang sedang belajar menggunakan mobil tetapi tanpa pendamping yang memahami soal setir-menyetir. Apakah ia bisa segera lancar menyetir, dll., lalu langsung disebut "sopir"?

Belum termasuk rambu-rambu, misalnya kendaraan darat yang berada di jalanan. Jalan raya berbeda dengan jalan di kompleks. Jalan di kompleks berbeda juga dengan jalan  di gang-gang sempit. Bukan hanya bahan dan lebar badan jalannya, tetapi juga rambu-rambu di sekitarnya.

Belum termasuk peraturan formal semacam surat izin mengendarai (rebewes, dari kata "rijbewijs" dalam bahasa Belanda). Sebagian besar orang masih berpikir pada izin mengendarai kendaraan darat. Sebagian lainnya pada kendaraan air, dan udara. Untuk mendapatkan surat izin mengendarai pun berbeda-beda.

Nah, sekarang kembali ke bukan umpama alias penulis. Siapakah yang pantas-layak disebut "penulis"? Apakah layak seseorang disebut "penulis" tetapi lebih 2 tahun ia masih saja bingung dalam pemahaman paling mendasar-esensial, misalnya mengenai kata "sekedar" atau "sekadar", "di" sebagai prefiks atau preposisi, "pun" yang bagimana semestinya, dan lain-lain?

Ya, walaupun mengaku "setiap hari saya menulis", apakah kemudian pantas disebut "penulis"? Murid-murid SD Kelas I juga menulis setiap hari, apakah berarti mereka pantas disebut "penulis"? Atau murid-murid SD menulis sebuah karangan, apakah berarti mereka pengarang sejati?

Tidak jarang seseorang mengaku-aku "saya suka membaca" tetapi masih saja mengendarai aksara secara berlepotan, ngepot tidak karuan, dan tidak mengindahkan tata cara berkendaraan sebagaimana mestinya. Minat membaca memang belum tentu seiring-sejalan dengan memahami bacaan, meski sudah dengan gagah-berani mengaku-aku "saya penulis". Aduhai sekali!

Entah apa sebab dan bagaimana prosesnya, seorang-dua orang begitu gampang mengaku sebagai penulis atau meminta pengakuan sebagai penulis, padahal hal-hal esensial dalam penulisan saja tidak juga mampu dipahami apalagi dipraktikkan. Lucunya, sudah mengaku-aku atau diakui sebagai penulis, malar melakukan kekeliruan yang sama secara berulang-ulang, meskipun ada rekan yang mengingatkan atau bisa mendapatkan informasi secara cepat melalui internet. Paling lucu, justru rekannya dianggap sebagai orang iri (dengki), tidak mau menghargai, dan anggapan negatif sejenisnya. Aduhai dua kali!

Mungkin selama ini sudah terjadi pergeseran pemahaman atau parameter karena zaman internet sudah terlalu kencang. Atau mungkin justru alat berpikir orang yang sudah bergeser. Entahlah. Yang jelas, semuanya bergeser, bukannya bergusur apalagi tergusur karena, memang, kendaraan bisa bergeser atau digeser. Terserah sajalah, intinya, daripada cuma bisa "nyinyir" mengawali tahun baru.

*******
Balikpapan, 2 Januari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun