Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bodoh Itu Perlu

2 Januari 2019   20:27 Diperbarui: 2 Januari 2019   22:38 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa? Bodoh itu perlu?

Jangan-jangan itu sekadar alasan orang bodoh yang tidak mau beranjak (move on) dari kebodohannya. Jangan-jangan, alasannya sok logis, ada orang bodoh maka ada orang pintar sehingga dengan adanya orang bodoh maka semakin jelaslah siapa yang pintar. Jangan-jangan, alasan untuk membodohi orang-orang nih! 

Lha, betapa bukan alasan, wong sejak media sosial mencatat era kekinian, sering sekali muncul ajakan untuk cerdas (be smart)? Yuk, cerdas menggunakan gawai (gadget), misalnya. Yuk, cerdas membaca berita, misalnya lagi. Pokoknya, yak-yuk deh.

Lha ini, kok malah "bodoh itu perlu"? Situ sehat?

Serterahlah mau dianggap apa kek. Pasalnya, tidak seorang pun sudi menerima sebutan "bodoh" dari orang lain. "Anda ternyata bodoh!" maka melempem atau malah marahlah si penerima sebutan itu.

Dengan stempelisasi "bodoh", secara langsung dianggap sebagai pelecehan, penghinaan, atau penistaan kemanusiaan. Pemberi stempel "bodoh" wajib mendapat ganjaran setimpal. Kalau ganjaran bukan berupa makian, ya, bisa "ditangani" secara lugas dan tuntas.

Sebaliknya, kalau disebut "pintar", "cerdas", bahkan "jenius", oh, itu yang segera diterima karena sangat didambakan oleh sekian jumlah orang. "Anda memang cerdas!" maka melambunglah kepalanya. "Anda jenius!" maka tersangkutlah kepalanya di antara bintang-bintang.

Stempelisasi "bodoh" atau "pintar" (cerdas, jenius, dan sekitarnya) cenderung dianggap oleh banyak kalangan sebagai "kesimpulan yang mutlak-permanen". Sedikit kalangan yang mau mengkritisi, mengapa "bodoh" atau "pintar", ada apa sebenarnya dengan stempelisasi itu, siapa yang melakukannya, apa tujuannya, apa-bagaimana situasinya, dan seterusnya.

Padahal, "bodoh" atau "pintar" itu relatif. Ada yang relatif bodoh. Ada juga yang relatif pintar. "Bodoh" atau "pintar" pun tergantung siapa yang menyebutkan, dan dalam situasi atau kepentingan apa.

Ah, sudahlah, tidak perlu panjang-lebar membuat pembenaran. Apa kamsud "bodoh itu perlu"?

Baiklah, kamsud-nya begini. Bodoh itu perlu dipahami dan disadari terlebih dulu. Mengapa bodoh? Benarkah memang bodoh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun