Sejak 2013 itu saya dan Nur Choiri masih sering bertemu, khususnya ketika ada acara kesenian, misalnya membaca puisi, musikalisasi puisi, dan sekitarnya. Yang tidak khusus adalah dia pun sering bertandang ke rumah saya (Kebun Karya) di Kilometer 4. Kalau Natal, dia pun hadir bersama Alfian dan kawan-kawannya. Dan baru dua kali ini saya bertandang ke rumahnya.
Nur Choiri berdarah Banyuwangi, Jatim. "Lare Osing", begitu sebutannya. Sebagian waktu hidupnya juga berpindah-pindah. Pernah tinggal di Palu, Sulteng. Sejak sekian tahun baru tinggal di Balikpapan karena orang tuanya pindah ke Kota Minyak ini.
Terkadang saya dan Nur Choiri berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Dia sangat sopan, apalagi terhadap orang yang lebih tua. Ngajeni, istilah orang Jawa. Intonasi suaranya pun tidak menghentak-hentak.
Kedekatan saya-Nur Choiri juga  terjalin ketika dia bekerja selama sekian bulan yang masih satu perusahaan dengan tempat bekerja istri saya. Istri saya, bahkan mertua saya pun menyukai cara bergaulnya Nur Choiri sehingga kami bisa menikmati kebersamaan dengan sewajarnya.
Tidak ketinggalan dua kawan akrabnya sejak kuliah, yaitu Alfiansyah dan Vrendy Zulianang. Mungkin, kalau tidak ada dua kawannya, suasana kenduri kecil itu agak kurang aduhai.
Ya, menerima kenyataan tidak perlu lama karena tidak ada pabrik kembang api di Balikpapan. Sekitar 15 menit saja. Entah berapa puluh-ratus juta lenyap dalam gegap gempita malam tahun baru. Biasalah di Balikpapan.
Setelah mulai reda, di ujung langit yang kelam masih berpendar-pendar. Oh, kilat di balik gumpalan awan legam. Artinya, saya dan istri harus pulang sebelum kesempatan diambil alih oleh hujan. Dan, kami pamit kepada Nur Choiri sekeluarga.
Selesaikah? Belum. Dari kawasan Jalan M.T. Haryono, kami pulang melewati kawasan Balikpapan Baru. Mendekati ujung yang mengarah ke Jalan Sungai Ampal, masih terlihat keramaian orang sekaligus atraksi kembang api di area Pasar Segar.
Malam menyambut tahun baru di Kota Beruang Madu memang selalu semarak dengan atraksi kembang api. Ini Kota Internasional di Kalimantan yang dibangun sejak kolonial Belanda. Penanda sejarah berdiri kota yang dulu terdapat banyak perusahaan asing khusus bidang minyak dan gas ini adalah sumur bor minyak Mathilda yang tertera 10 Februari 1897 di daerah Jalan Minyak.