Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenduri Kecil Menyambut Tahun Baru

1 Januari 2019   01:51 Diperbarui: 1 Januari 2019   17:05 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak 2013 itu saya dan Nur Choiri masih sering bertemu, khususnya ketika ada acara kesenian, misalnya membaca puisi, musikalisasi puisi, dan sekitarnya. Yang tidak khusus adalah dia pun sering bertandang ke rumah saya (Kebun Karya) di Kilometer 4. Kalau Natal, dia pun hadir bersama Alfian dan kawan-kawannya. Dan baru dua kali ini saya bertandang ke rumahnya.

Nur Choiri berdarah Banyuwangi, Jatim. "Lare Osing", begitu sebutannya. Sebagian waktu hidupnya juga berpindah-pindah. Pernah tinggal di Palu, Sulteng. Sejak sekian tahun baru tinggal di Balikpapan karena orang tuanya pindah ke Kota Minyak ini.

Terkadang saya dan Nur Choiri berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Dia sangat sopan, apalagi terhadap orang yang lebih tua. Ngajeni, istilah orang Jawa. Intonasi suaranya pun tidak menghentak-hentak.

Kedekatan saya-Nur Choiri juga  terjalin ketika dia bekerja selama sekian bulan yang masih satu perusahaan dengan tempat bekerja istri saya. Istri saya, bahkan mertua saya pun menyukai cara bergaulnya Nur Choiri sehingga kami bisa menikmati kebersamaan dengan sewajarnya.

Bersama istri menikmati kenduri kecil (Dok. Alfiansyah)
Bersama istri menikmati kenduri kecil (Dok. Alfiansyah)
Maka, ya, wajarlah saya dan istri langsung menerima undangan Nur Choiri untuk menyambut tahun baru di rumahnya. Kami bersama keluarga besarnya menikmati kenduri kecil di halaman samping rumahnya yang dua-tiga tahun lalu masih dinaungi oleh sebatang pohon ceri yang rindang.

Tidak ketinggalan dua kawan akrabnya sejak kuliah, yaitu Alfiansyah dan Vrendy Zulianang. Mungkin, kalau tidak ada dua kawannya, suasana kenduri kecil itu agak kurang aduhai.

Vrendy dan Nur Choiri (Dok. Alfiansyah)
Vrendy dan Nur Choiri (Dok. Alfiansyah)
Menjelang detik-detik tahun baru kami disuguhkan oleh atraksi kembang api di kejauhan. Berdentam-dentum. Berpendar-pendar. Langit legam berbintang cerlang harus menerima kenyataan.

Ya, menerima kenyataan tidak perlu lama karena tidak ada pabrik kembang api di Balikpapan. Sekitar 15 menit saja. Entah berapa puluh-ratus juta lenyap dalam gegap gempita malam tahun baru. Biasalah di Balikpapan.

Setelah mulai reda, di ujung langit yang kelam masih berpendar-pendar. Oh, kilat di balik gumpalan awan legam. Artinya, saya dan istri harus pulang sebelum kesempatan diambil alih oleh hujan. Dan, kami pamit kepada Nur Choiri sekeluarga.

Selesaikah? Belum. Dari kawasan Jalan M.T. Haryono, kami pulang melewati kawasan Balikpapan Baru. Mendekati ujung yang mengarah ke Jalan Sungai Ampal, masih terlihat keramaian orang sekaligus atraksi kembang api di area Pasar Segar.

Malam menyambut tahun baru di Kota Beruang Madu memang selalu semarak dengan atraksi kembang api. Ini Kota Internasional di Kalimantan yang dibangun sejak kolonial Belanda. Penanda sejarah berdiri kota yang dulu terdapat banyak perusahaan asing khusus bidang minyak dan gas ini adalah sumur bor minyak Mathilda yang tertera 10 Februari 1897 di daerah Jalan Minyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun