Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Melibatkan Bencana Alam dalam Kampanye Pilpres

30 Desember 2018   01:43 Diperbarui: 30 Desember 2018   04:45 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Memang kurang, bahkan mungkin malah tidak manusiawi ketika melibatkan bencana alam dalam kampanye kontestan Pemilu (Pilpres). Bencana alam berdampak duka sebagian orang tetapi dinamika politik bisa dan biasa dimanfaatkan oleh sebagian orang lainnya untuk "menunggangi" duka. 

Belum masuk masa kampanye saja, semisal gempa Lombok berkekuatan 6,4 SR (29/7/2018), sebagian orang dalam kelompok anti-Jokowi sudah menyebutnya sebagai kesalahan pilihan politik, bahkan azab karena mendukung Jokowi. Ketika Jokowi meninjau daerah gempa sekaligus ke pusat pengungsian (30/7), serta-merta komentar seragam mereka adalah "pencitraan".

Memasuki masa kampanye resmi, gempa berkekuatan 7,7 SR mengguncang Palu (28/9). Lagi-lagi perihal politik dan azab ditujukan pada Jokowi sang petahana (incumbent) bernomor 01. Ketika Jokowi meninjau lokasi sekaligus ke tempat pengungsian (30/9), cibiran "pencitraan" pun bertaburan di kalangan anti-Jokowi.  

Tsunami Selat Sunda (22/12) pun tidak terlepas dari dakwaan "kesalahan pilihan politik dan azab". Tidak ketinggalan pula, "pencitraan" terhadap kunjungan Jokowi ke sekitar lokasi bencana (24/12), terlebih dengan foto dan video Jokowi yang sendirian di antara puing-puing.

Sepanjang 2018 memang terjadi banyak gempa di Indonesia. Sekitar 11.577 setelah gempa Talaud, Sulut, berkekuatan 7,1 SR (29/12) sampai entah lusa 31 Desember. Di media sosial sebagian orang anti-Jokowi tetapi pro-Prabowo selalu mengatakan bahwa semua bencana terjadi di Indonesia gara-gara Jokowi.

Bencana alam, bagi sebagian kelompok anti-Jokowi, selalu dilibatkan sebagai kampanye "ganti presiden". Dalil-dalil pun disertakan agar kampanye bisa semakin meyakinkan. Bukan mustahil jika kampanye semacam itu akan terus digencarkan hingga April 2019 jika bencana alam masih saja terjadi.

Sebaliknya, bencana alam pun memberi peluang nyata bagi Jokowi untuk "berkampanye". Posisi sebagai petahana yang masih menjabat sebagai presiden justru andil dalam upaya pendekatan secara langsung dengan masyarakat.

Dengan fasilitas negara alias tidak memerlukan biaya besar (berlebihan), perjalanan bisa lancar ke tempat tujuan yang berjarak cukup jauh di seberang. Masyarakat juga bisa mengalami kedekatan secara fisik dengan presiden, yang juga sebagai petahana untuk kontestasi Pilpres 2019.

Kedekatan secara fisik ini niscaya memberi nuansa yang luar biasa bagi masyarakat yang selama ini "jauh" dari jangkauan presiden. Tidaklah mustahil, secara psikologis bisa berdampak pada penilaian "istimewa" masyarakat terhadap petahana.

Apakah hal ini berarti bahwa Jokowi--sebagai petahana sekaligus masih menjabat sebagai presiden--"diuntungkan" oleh bencana alam sana-sini untuk "berkampanye"?

Kembali ke alinea pertama. Memang kurang, bahkan mungkin malah tidak manusiawi ketika melibatkan bencana alam dalam kampanye kontestan Pemilu (Pilpres). Bencana alam berdampak duka sebagian orang tetapi dinamika politik bisa dan biasa dimanfaatkan oleh sebagian orang lainnya untuk "menunggangi" duka.

Meski demikian, bukan berarti pihak lawan politik tetap bisa duduk-tenang di beberapa ruang pertemuan bersama konstituen dengan pidato ini-itu, atau pelosok pasar bersama emak-emak. Bisa jadi sebagian dari mereka justru "agak" gelisah karena situasi nasional itu, yang sangat berpotensi positif terhadap penambahan jumlah dukungan untuk Jokowi.    

Akan tetapi, harus bagaimana lagi jika realitas sosial-politik dan situasi alam sedang begini, 'kan?

Di satu sisi, ada sekelompok orang "memojokkan" Jokowi melalui bencana alam dan dalil-dalil agama. Di sisi berbeda, bencana alam malah "memboyong" Jokowi ke pelosok-pelosok lokasi bencana sekaligus bertemu secara langsung dengan masyarakat setempat.

Hanya saja yang tidak bisa diluputkan adalah "misteri" alias "takdir" seorang Jokowi. Kalau pada Pilpres 2019 Jokowi kalah, bisa jadi segala bencana 2018 akan dianggap oleh pendukung Prabowo sebagai pertanda yang buruk (isyarat alam) untuk Jokowi. Namun kalau Jokowi menang, bisa jadi juga bahwa bencana alam 2018 andil dalam kemenangannya, dan para pendukung Prabowo akan entah berdalil bagaimana lagi.

Beginilah realitas dinamika Negara Pancasila di tahun politik yang sedang marak kampanye. Bencana alam beserta dalil agama pun bisa "dilibatkan" dalam adonan kampanye. Mengenai hasil akhirnya, ya, tunggu saja sampai 17 April 2019. Semoga tabah sebab semua akan aduhai pada waktunya.

*******
Balikpapan, 26-29 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun