Seingat saya, pada 2010 kawasan Hutan Pendidikan dan Penelitian Universitas Mulawarman di Bukit Suharto pernah menjadi sorotan nasional karena pengrusakan lingkungan dari agresivitas geliat penambangan liar. Kok, pada 2013 kawan-kawan memberi tahu saya mengenai perihal penambangan liar itu lagi?
Apakah "usaha" segerombolan oknum birokrat itu termasuk ilegal juga?
Saya tidak mengetahuinya secara pasti. Cuma kasak-kusuk, dan, tentunya, sulit untuk dibuktikan oleh kalangan luar semacam saya. Hanya saja yang membuat saya mengangguk-angguk, selain "barang tuhan bagi rata", batu bara merupakan "emas hitam" bagi sebagian orang Kaltim. Â
Istilah "emas hitam" untuk batu bara di Kalimantan tidaklah berbeda dengan "emas putih" untuk timah di Bangka. Istilah "emas putih" di Bangka pernah mencuat pada 1970-an karena termasuk penyumbang devisa tertinggi di bawah minyak bumi. Dengan julukan "emas" alias sangat berharga, ya, saya bisa memahami, bagaimana oknum-oknum terkait bisa mengumbar keberingasan terhadap alam.
Persoalannya, sepakat atau tidak, selalu berhubungan secara langsung dengan birokrat terkait alias oknum. Kalau sudah menyangkut "oknum birokrat", ya, jelas-lah, Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif berada di dalamnya. Dan, kalau ketiganya sudah "bermain bersama", bagaimana bisa menghentikannya?
Ya, bagaimana menghentikannya karena sorotan serius pada 2010 atau 8 tahun lalu, kini justru kondisinya semakin parah hingga menjadi topik di Kompasiana.Com pada 18/12/2018. Kalau para perusak alam itu hanyalah pengusaha (investor) dan rakyat, persoalan bisa teratasi tanpa perlu melewati waktu bertahun-tahun, 'kan?
Sementara batu bara juga "menguntungkan" bagi sebagian orang. Sebagian orang muda di Kaltim bekerja di perusahaan-perusahaan batu bara. Segelintir kawan saya juga bekerja di sektor itu, baik sebagai teknisi maupun satpam. Di antara mereka ada pula yang bangga bekerja di sana karena gaji, dll. yang sangat menjamin kesejahteraannya sekeluarga. apakah mereka bangga menjadi bagian dalam pembuntungan kelestarian alam? Entahlah.
Kerakusan Segelintir Orang Merusak Alam
Kepentingan (baca: kerakusan) segelintir orang (baca: birokrat) cenderung merusak alam. Sebagai pengemban amanat rakyat, posisi strategis sering dimanfaatkan untuk memuaskan nafsu mereka saja.
Kerusakan alam lantaran eksploitasi sumber daya alam berlabel "antam" (aneka tambang) di Tahura Bukit Suharto serta daerah-daerah lainnya di Indonesia bukanlah tanpa keterlibatan oknum birokrat, baik setempat maupun pusat. Mereka yang sewajibnya mengelola lingkungan dengan wewenang, aturan atau regulasi dalam pengawasan, pengendalian, pelarangan, perbaikan, perawatan, dll., ternyata andil dalam pengerusakan.
Tidak jarang, kerusakan merupakan dampak dari kerakusan. Kerusakan-kerakusan pun seibarat dua sisi koin. Di mana ada kerusakan, di situ pasti ada kerakusan. Di mana ada kerakusan, di situ pasti terjadi kerusakan. Kerakusan harus dikendalikan melalui penegakan hukum yang tegas-lugas jika memang pemerintah setempat dan pusat beritikad secara serius untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan alam yang semakin parah.
Lantas, bagaimana aksi-reaksi lembaga independen bernama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)?