Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ada Apa dengan Pantai De Locomotief di Sungailiat?

14 Desember 2018   19:42 Diperbarui: 15 Desember 2018   17:16 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selepas senja (7/12) saya tiba di Pantai De Locomotief (DL) setelah jalan-jalan bersama keluarga di Pantai Tikus Emas. Saya tidak menyiapkan gagasan apalagi kamera karena dari rumah tetangga sekaligus kawan kecil saya "diculik" oleh keluarga adik beserta ibu angkat dan istri saya.

Dokpri
Dokpri
Pantai DL bersebelahan langsung dengan Pantai Tongaci yang terkenal dengan penangkaran penyu sejak dibuka pada 28 Mei 2008 setelah berguru perihal penangkaran penyu di Banyuwangi (Jatim), Derawan (Kaltim), Pramuka, Kepulauan Seribu, dan lain-lain. Memang kedua pantai ini merupakan satu-kesatuan dengan nama Pantai Tongaci atau De Locomotief Tongaci Beach dengan pemiliknya bernama Sian Soegito.

Dari atas
Dari atas
Sebelum di DL-Tongaci, ada Batavia Banka Beach. Sebelumnya lagi ada Puri Ansell yang pada 2012 menjadi penginapan saya bersama kawan-kawan SMP dalam rangka reuni. Penginapan di Puri Ansell berupa bangunan khas Melayu dengan gaya panggung.

Berjajar pantai-pantai
Berjajar pantai-pantai
Kawasan wisata pantai yang awalnya terkenal dengan Pantai Kualo ini berada di sekitar 2,5 km timur laut Kota Sungailat (Pasar Sungailiat) atau sekitar 35 km dari Kota Pangkalpinang. Bagi saya, bukanlah hal yang baru bagi saya.

Semasa libur di Kelas V SD beberapa kali saya pergi ke sana. Dari Sri Pemandang Atas saya berangkat dengan naik sepeda jengki pada pagi hari ke daerah sekitar Jalan Laut tersebut. Di situ juga tinggal kawan-kawan sekolah saya (SD Maria Goretti), misalnya Jat Nen, Ngim Chion, Yung Fu, Hian Lun, dll. Di pasir pantai yang seputih-selembut salju itu kami bermain sepak bola dengan sesuka hati.

Posisi kampung halaman
Posisi kampung halaman
Posisi kampung kawan-kawan SD saya
Posisi kampung kawan-kawan SD saya
Sewaktu Kelas I SMP (Maria Goretti) saya dan beberapa kawan sekolah pernah pergi ke kawasan Pantai Kualo. Di sana ada kebun kawan sekelas saya, Rafid Effro, yang juga anaknya mantan murid bapak saya di STM Sungailiat. Ya, kami di sana mau apa lagi kalau bukan menikmati pasir pantai dengan bermain bola dengan sesuka hati?

Kemudian pada waktu kami reuni 2012 di Puri Ansell, nama Tongaci dan DL belum santer di telinga saya. Pada 2016 saya mudik lagi karena bapak saya meninggal dunia, barulah adik saya "menghasut" saya dan istri saya untuk menyambangi dua pantai, yaitu Pantai Tongaci dan Tikus Emas yang sedang ramai dibicarakan oleh orang Sungailiat. Hanya saja Pantai Tikus Emas berada di antara tenggara-selatan dari pusat Kota Sungailiat. Saya malah mengajak istri saya ke pantai lainnya.

Dari kampung ke Tikus Emas lalu DL
Dari kampung ke Tikus Emas lalu DL
Singgah sebentar di Pantai Tikus Emas
Singgah sebentar di Pantai Tikus Emas
Oleh karena itu sore hari saya dan istri "diculik" adik saya sekeluarga, dan dibawa ke Pantai DL tetapi sebelumnya ke Pantai Tikus Emas. Saya mandah saja karena istri saya selalu menginginkan berwisata pantai sejak pertama (2012) saya ajak menyusuri pantai-pantai di Sungailiat, dan berendam di Pantai Batu Bedaun yang tenang nan teduh. Mungkin, baginya, mudik ke Bangka tanpa tamasya ke pantai lebih baik tidak usah mudik.

Malam

Pantai DL, menurut kesan sekilas saya , memang dibuat atau dikonsep secara berbeda dengan pantai-pantai lainnya di Sungailiat. Kalau soal panorama alam, pantai-pantai itu memiliki kemiripan, yaitu pasir putih, batu granit-megalitikum, dan laut yang biru (menghadap selatan Laut Cina Selatan), kecuali DL, Tongaci dan sederetannya yang tanpa batu khas itu. Matras, Parang Tenggiri (dulu bernama "Hakok"), Batu Bedaun, Rambak, Teluk Uber, Tanjung Pesona, Tikus Emas atau Teluk Tikus (San Lochu), dan lain-lain.

Pantai-pantai selain DL di Sungailiat tidaklah terkelola sampai pada "waktu" alias pagi sampai petang, meski petang tanpa panorama matahari terbenam (sun set) karena berada di pesisir timur Pulau Bangka. Penambahan berupa pohon ini-itu dan fasilitas apa-apa, "waktu" terbatas pada pagi-petang. Ya, "waktu" masih dikelola secara tradisional, kecuali yang dilengkapi dengan hiburan malam.

Di pantai milik seorang alumni SD-SMP Setia Budi Sungailiat ini, malam pun tetap memberi kesempatan (peluang) untuk berwisata pantai. Buka pada pkl. 08.30 dan tutup pada pkl. 24.00. Tanpa ongkos parkir, tiket masuk Rp5.000,00 per orang. Tiket bisa disimpat untuk dikonversi atau ditukar dengan makanan laut (seafood) di restoran.  

Sejak memasuki halaman parkir yang berhadapan dengan Gedung Serbaguna "Kirana" yang bisa disewa untuk hajatan tertentu, kesempatan tersebut terbentang di belakang loket masuk. Penerangan buatan atau lampu-lampu!

Bukan karena malam atau sengaja bermain dengan lampu, melainkan memberi penanda bahwa pantai ini terbuka dan tetap aduhai untuk dikunjungi pada malam hari. Di sini pengelola DL berusaha memaksimalkan waktu hingga di puncak malam.

Meski di tengah laut sana tidak ada pemandangan yang aduhai, misalnya pantulan warna-warni lampu gedung-gedung menjulang, kapal-kapal besar lalu-lalang atau sekadar kerlip lampu bagan-bagan (tempat mangkal nelayan untuk mendapatkan ikan), malam tetaplah sebentang waktu yang bisa disisiati untuk berwisata di sekitar pantai selepas kesibukan bekerja pada pagi-sore. Bahkan, bagi sebagian orang, justru malam-lah waktu untuk bekerja, termasuk sebagian pelaku bisnis berskala besar yang biasa bertransaksi-bernegosiasi, atau, para profesional muda kota bercengkerama dengan rekan atau kenalan.   

Lampu-lampu dan Payung-payung 

Malam dan lampu memang sudah jodohnya. Tidak perlu digosipkan macam-macam, apalagi baper (membawa perasaan) karena iri hati (maaf, jomlowan-jomlowati). Bulan pun tidak perlu cemburu.

Dokpri
Dokpri
Lampu-lampu ditempatkan di beberapa payung. Selain berfungsi sebagai penerang jalan beralas konblok, juga berfungsi sebagai penambah estetika untuk malam hari. Artinya, fungsi dan estetika berlaku sekaligus.

Memang, payung menjadi aksesoris lansekap merupakan hal biasa, yang awalnya heboh di Bandung pada era Wali Kota Ridwan Kamil. Tetapi payung di DL ini bentuknya masih tradisional dengan bahan kayu, bahkan seperti payung yang biasa dipakai untuk acara kematian, misalnya diatas keranda atau di kuburan baru dalam tradisi.

Sayangnya (aduhai, saya mulai nyinyir, 'kan?), tidak ada lampu khas Tiongkok (lampion). Mengapa "sayangnya"? Sebab, pada bagian dalam kawasan terdapat pemandangan bernuansa Tiongkok.

Patung-patung Kayu

Sejak masuk seusai membayar tiket masuk di loket, empat patung kuda kayu dan beberapa patung binatang lainnya langsung menyambut pengunjung (saya). Kayu-kayu bukan dipahat seperti biasa, melainkan dari susunan potongan kayu yang diperhalus dan dipoles dengan pengawet kayu.

Dokpri
Dokpri
Patung-patung kayu serupa, misalnya banteng dan burung garuda, dengan teknik pengerjaan semacam itu, paling tidak, bisa menambah wawasan mengenai seni kriya kepada pengunjung awam. Ya, juga bukan sekadar pengisi ruang dengan estetika lumrah-jamak.   

dokpri
dokpri
Selain patung-patung itu, di bagian ujung sebelah kiri nanti ada patung-patung yang sempat menjadi salah satu daya tarik (point of interest, point of view, atau ikon) ketika DL masih berkembar siam dengan Pantai Tongaci. Sebarisan Pasukan Terakota (Terracotta Army)!

Seorang grilyawan Terakampung tertangkap kamera
Seorang grilyawan Terakampung tertangkap kamera
Berbeda dengan patung-patung kayu dalam hal teknik, patung-patung Pasukan  Terakota dipahat saja. Meski begitu, patung-patung yang mengadopsi sebagian dari Pasukan Terakota semasa Dinasti Qin dengan kaisarnya bernama Qin shi Huang (210-209 SM) di Xian, Prov. Shaanxi, Tiongkok itu memang memperkuat barisan daya tarik DL sehingga sering dimanfaatkan oleh pengunjung untuk berswafoto.

Perpustakaan

Di sini ada perpustakaan (library), bahkan 2 perpustakaan. Satu perpustakaan berada di depan atau di sebelah tempat penjualan barang-barang seni-kerajinan tangan (Art Shop).  Perpustakaan di sayap kiri jalan paving block masuk DL itu dibuka untuk umum (tanpa pintu).

Satunya lagi berada di belakang, yaitu Perpustakaan Garuda (Library Garuda). Selain terdapat buku-buku, juga pada etalase sekaligus dinding depannya terpajang telepon dan kamera kuno.

Perpustakaan Garuda (Dokpri)
Perpustakaan Garuda (Dokpri)
Di Perpustakaan Garuda anak-anak tidak diperkenankan masuk. Hal ini tertera pada sisi pintu masuknya. Saya menduga (karena tidak berani masuk!), di dalamnya terdapat buku-buku bermutu yang sudah susah didapatkan.

Anak-anak Dilarang Masuk
Anak-anak Dilarang Masuk
Di luar dua perpustakaan tadi, di sayap kanan jalan masuk terdapat sebuah mobil kombi yang berisi tumpukan buku. Di situ saya sempat menengok beberapa pengarang bukunya, misalnya Gorys Keraf, Pearl S. Buck, dan lain-lain. Saya tidak mengetahui, mengapa buku-buku itu berada di situ atau apa tujuannya.

Museum

Di samping siku kiri Perpustakaan Garuda ada sebuah musem. Namanya Museum Garuda. Akan tetapi, pintu museum tertutup, dan kami tidak bisa melihat satu per satu koleksi dalam museum.

Namun keberadaan museum ini menjadi nilai lengkap atau malah tambah DL jika sejak semula DL dimaksudkan sebagai salah satu objek wisata edukasi, dan wisata sejarah yang entah sejarah siapa. Paling tidak, para pengunjung dapat memeroleh hal berbeda di pantai ini.

Toko Barang Seni (Art Shop)

Toko ini menjual barang-barang antik, lukisan, dan barang seni lainnya. Sekilas saya melihat ada patung, guci, vas bunga, dan lain-lain

Dengan adanya toko barang seni ini pengunjung diberi alternatif tersendiri dalam persiapan oleh-oleh. Saya tidak berani singgah (masuk) karena, saya khawatir, isinya "menggoda" dompet belanja istri saya.

Hanya saja, kalau mencari barang seni karya saya, jelas tidak ada di sini.

Koleksi Barang 

Selain telepon kuno, seterika kuno, dan kamera kuno, juga ada mobil kuno serta barang-barang kuno lainnya di DL. Ada VW Combi dan VW kodok, meski tanpa VW camat.

Kamera dan Telepon Kuno
Kamera dan Telepon Kuno
Ada juga baju-baju untuk perang-perangan yang disewakan. Perang-perangan, apa maksudnya? Ya, perang-perangan yang biasa muncul di panggung atau film-film kolosal.

Dokpri
Dokpri
Sayangnya (nyinyir lagi, 'kan?), ada pernak-pernik dan gambar berkarakter Jawa cukup kental, terlebih berada di awal pajangan. Gambar berkarakter wayang dan becak khas Solo-Jogja, misalnya.

Karakter wayang (Dokpri)
Karakter wayang (Dokpri)
Papan Nama-nama Suku Hakka di Bangka

Di sebelah kanan tulisan dan maskot De Lokomotief terdapat sebidang papan putih (whiteboard) berukuran besar. Pada papan itu tertera nama marga-marga Tionghoa dari Suku Hakka (Khek atau Ke Jia) sejak awal berada di Bangka.

Dokpri
Dokpri
Keberadaan orang Tionghoa di Bangka bukanlah baru 50 atau 100 tahun terakhir. Pada era kolonial Belanda, banyak buruh dari Tiongkok datang ke Bangka melalui perdagangan orang untuk dijadikan buruh oleh Belanda pada 1700-an juga sampai ke Bangka. Bahkan, jauh abad sebelumnya, sekitar abad ke-3 Masehi, orang Tionghoa sudah sampai ke Bangka.

Sebagai bagian pembelajaran sekaligus pencatatan sebagian sejarah, pada papan putih itu DL menerakan beberapa nama marga Suku Hakka di situ. Marga-marga itu ialah Bong, Bun, Chai, Chang, Chin, Cong, Cung, Ho, Jong, Lie, Lim, Liu, Ng, Phang, dan Thong.  Di bawah nama-nama itu tertulis pula asal provinsinya di daratan Tiongkok, dan tokoh-tokoh bersejarahnya.

Marga-marga itu mengingatkan saya pada kawan-kawan SD-SMP saya di Maria Goretti Sungailiat. Di antaranya ialah Bong Sui Kim, Bong Kun jung, Bun Fut Fo, Cong Siauw Ling, Ho Men Fo, Lie Yun Ngit, Liu Co Yen, Phang Ngim Chion, dan lain-lain. Ya, mayoritas kawan sekolah saya dulu beretnis Tionghoa dari Suku Hakka.

Memang papan nama-nama Suku Hakka itu belumlah lengkap. Hal ini tertera pada bagian atasnya, "Mohon maaf apabila kami belum bisa menampilkan semua marga yang ada di Bangka. Untuk tambahan marga lainnya akan kami tambahkan di Event Bangka Culture Wave selengkapnya".

Dokpri
Dokpri
Istri saya segera mencari nama luluhur mamanya alias mertua saya, sedangkan papanya berasal dari Mindanao, Filipina. Pada 2017, melalui cerita pamannya, asal-usul leluhur mereka berasal dari Bangka. Saya sempat terkejut sewaktu mendengar kisah pamannya.

Tan Mei Liang adalah nama asli mamanya istri saya sebelum diganti dengan nama Indonesia semasa rezim ORBA. Memang bukan lagi asli Tionghoa karena ada campuran Dayak dan Bugis karena perkawinan campuran di generasi sebelum lahir mamanya tetapi darah Tionghoa paling mencolok.

Kalau leluhur mereka dari Bangka, saya kira, mereka berasal dari Suku Hakka sebagaimana mayoritas orang Tionghoa di Bangka. Akan tetapi tidak tertera marga Tan. Apakah benar seperti yang tertera dengan "Mohon maaf..." tadi?

Saya penasaran. Mau-tidak mau saya mencarinya di internet. Duh, piknik saja kok malah bikin PR sendiri, sih?

Dalam artikel "Asal-usul Marga Tan (Marga Chen)" di blog milik Dinaviriya, marga Tan adalah marga Chin dalam bahasa Suku Hakka atau Chen dalam bahasa Mandarin. Kata "Tan" dipakai oleh Suku Teochew dan Suku Hokkien untuk menyebut marga Chin. Marga Tan atau Chin merupakan marga Tionghoa terbesar ke-5 di daratan Tiongkok, dan ke-10 dalam buku "Bai Jia Xing (Ratusan Marga Tionghoa)". Bahkan di Singapura, Hongkong, dan Makau, Marga Tan merupakan Marga dengan Warga terbanyak atau menduduki urutan pertama di antara marga-marga Tionghoa lainnya.

Benarkah marga Tan adalah marga Chen atau Chin?

Jelas saya tidak mengetahui kebenarannya karena saya anak orang Jawa yang bermarga Slamet. Eh, mana ada tradisi masyarakat Jawa dengan marga, meskipun nama Slamet sering dipakai, semisal Slamet Raharjo dalam serial komedi sospol Sentilan-Sentilun?

Bahan (Material) Lokal yang Diekspose

Kearifan lokal (Genius Loci) melalui pemanfaatan bahan (material) bangunan lokal merupakan bagian penting dalam pariwisata suatu daerah. Bukan hanya karena mudah didapat, relatif murah, mudah dikerjakan oleh tukang lokal (kebiasaan dalam pekerjaan sehari-hari), dan memiliki nilai estetika tertentu, melainkan menjadi unsur daya tarik yang menjadi unggulan sekaligus andalan.

Dokpri
Dokpri
Di DL para pengunjung akan diperlihatkan kembali dengan kayu-kayu bulat (belum diolah seperti umumnya/persegi empat) yang biasa dipakai untuk bangunan, baik struktur maupun pembatas area/pagar. Meski sepintas merupakan pemandangan umum (jamak), penerapannya di DL menambah kesan kelokalan yang bisa menambah wawasan para pengunjung yang hanya sebentar datang ke Bangka.

Sebuah rumah di Kampung Jalan Laut
Sebuah rumah di Kampung Jalan Laut
Contoh rumah rakyat berdinding kayu bulat (Dokpri)
Contoh rumah rakyat berdinding kayu bulat (Dokpri)
Contoh rumah rakyat berdinding kayu bulat (Dokpri)
Contoh rumah rakyat berdinding kayu bulat (Dokpri)
Dan, meski belum muncul pada bidang dinding, kesan kearifan lokal kian menguatkan kesan itu adalah penggunaan batang yang sampai pada sebagian akarnya. Salah satunya terlihat pada bangunan Toko Barang Seni (Art Shop) dan perpustakaan umum (library).

Sementara pada sebagian area sirkulasi (alas jalan setapak) diselesaikan (finishing) dengan batu granit-megalitikum. Batu granit sangat banyak terdapat di Pulau Bangka sehingga, menurut saya, penggunaan batu granit sebagai alas jalan kakiitu sangat tepat, bahkan estetis.

Jalan setapak dengan batu gunung/granit (Dokpri)
Jalan setapak dengan batu gunung/granit (Dokpri)
Namun, karena hanya sebagian, barangkali perlu ditambahkan, bahkan bagus untuk seluruh jalur pedestrian di DL. Hal ini untuk semakin menguatkan daya tarik DL dalam pemanfaatan kandungan lokal sekaligus memiliki nilai estetika.

Yang juga tidak luput dari perhatian adalah para penambang batu granit (tukang mentong batu). Saya bergaul dengan sebagian penambang batu granit sejak kecil (SD), dan sedikit mengetahui cara mereka melakukan proses pekerjaan itu karena orang tua angkat saya tinggal di Kampung Batu yang juga terdapat batu-batu granit dan penambangnya, termasuk seorang paman (paklik) saya yang berasal dari Wonogiri, Jateng.

Lain-lain

Lain-lainnya, misalnya Taman Satwa (Animal Park) dan Taman Bulakan. Di Taman Satwa yang terletak di sebelah kirijalan setapak terdapat patung-patung satwa, bahkan ada 1 patung satwa purba yang menyusup. Sementara seekor pelanduk hanya terkantuk-kantuk mpada saat kami datang.

Dokpri
Dokpri
Di seberang Taman Satwa atau di sebelah kanan jalan setapak terdapat Taman Bulakan. Di situ tersusun batu-batu kali yang boleh dijejaki oleh pengunjung. Di bawahnya ada sedikit air sehingga menambah kesan tersendiri bagi pengunjung yang mau mencoba menjejaki batu-batu itu. 

Dokpri
Dokpri
Ganjalan di Kepala Saya

Akan tetapi (nah ini, lagi-lagi saya nyinyir lagi!), dari awalnya saja sudah mengganjal di kepala saya. "De Locomotief". Ya, seperti juga Pantai Batavia dan Puri Ansell.

Kemudian, kosakata yang tidak konsisten. Misalnya "library", "art", "shop", "bar", "army", "taman", "tiam", dan lain-lain. Untuk hal ini saya tidak perlu repot menuliskan apa saja ganjalan dalam kepala saya supaya semakin nyinyir.

Combi Tiam dan Pop Art (Dokri)
Combi Tiam dan Pop Art (Dokri)
Selain itu, buka pkl. 08.30. Kalau DL buka pkl.05.00, mungkin akan menarik bagi kalangan pencinta matahari terbit (sun rise) karena Sungailiat berada di pesisir timur Pulau Bangka sehingga hanya matahari terbit yang bisa dinikmati sambil minum kopi dan menyantap kudapan khas lokal.

Lho, saya semakin nyinyir, 'kan? Bukannya memberi apresiasi setinggi Bukit Siam, Bukit Betung, atau Gunung Maras, malah nyinyir begini.

Baiklah, saya akhiri saja kalau begitu-begini jadinya. Intinya, Pantai DL merupakan pantai yang memberi nilai edukasi tersendiri bagi para pengunjung sekaligus menambah kasanah wisata pesisir timur Pulau Bangka. Suatu waktu saya harus kembali ke DL bersama istri saya untuk menyeruput kopi karena apalah aduhainya kalau waktu kunjungan hanya berkisar 30-60 menit!

*******
Kupang, 13 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun