Selepas senja (7/12) saya tiba di Pantai De Locomotief (DL) setelah jalan-jalan bersama keluarga di Pantai Tikus Emas. Saya tidak menyiapkan gagasan apalagi kamera karena dari rumah tetangga sekaligus kawan kecil saya "diculik" oleh keluarga adik beserta ibu angkat dan istri saya.
Semasa libur di Kelas V SD beberapa kali saya pergi ke sana. Dari Sri Pemandang Atas saya berangkat dengan naik sepeda jengki pada pagi hari ke daerah sekitar Jalan Laut tersebut. Di situ juga tinggal kawan-kawan sekolah saya (SD Maria Goretti), misalnya Jat Nen, Ngim Chion, Yung Fu, Hian Lun, dll. Di pasir pantai yang seputih-selembut salju itu kami bermain sepak bola dengan sesuka hati.
Kemudian pada waktu kami reuni 2012 di Puri Ansell, nama Tongaci dan DL belum santer di telinga saya. Pada 2016 saya mudik lagi karena bapak saya meninggal dunia, barulah adik saya "menghasut" saya dan istri saya untuk menyambangi dua pantai, yaitu Pantai Tongaci dan Tikus Emas yang sedang ramai dibicarakan oleh orang Sungailiat. Hanya saja Pantai Tikus Emas berada di antara tenggara-selatan dari pusat Kota Sungailiat. Saya malah mengajak istri saya ke pantai lainnya.
Malam
Pantai DL, menurut kesan sekilas saya , memang dibuat atau dikonsep secara berbeda dengan pantai-pantai lainnya di Sungailiat. Kalau soal panorama alam, pantai-pantai itu memiliki kemiripan, yaitu pasir putih, batu granit-megalitikum, dan laut yang biru (menghadap selatan Laut Cina Selatan), kecuali DL, Tongaci dan sederetannya yang tanpa batu khas itu. Matras, Parang Tenggiri (dulu bernama "Hakok"), Batu Bedaun, Rambak, Teluk Uber, Tanjung Pesona, Tikus Emas atau Teluk Tikus (San Lochu), dan lain-lain.
Pantai-pantai selain DL di Sungailiat tidaklah terkelola sampai pada "waktu" alias pagi sampai petang, meski petang tanpa panorama matahari terbenam (sun set) karena berada di pesisir timur Pulau Bangka. Penambahan berupa pohon ini-itu dan fasilitas apa-apa, "waktu" terbatas pada pagi-petang. Ya, "waktu" masih dikelola secara tradisional, kecuali yang dilengkapi dengan hiburan malam.