Selama berada di kampung halaman, cerita seputar tragedi Lion Air masih berdengung. Ya, wajar saja, karena saya menceritakan kepada saudara atau kawan-kawan saya bahwa saya pulang dan akan pergi lagi (ke Kupang) dengan pesawat Lion Air.
Sebelum Lion Air JT 610, sebagian orang Indonesia masih mengingat jatuhnya pesawat  Adam Air dengan nomor penerbangan 576 (KI 574, DHI 574) jurusan Jakarta-Surabaya-Manado setelah melanjutkan penerbangan (transit) dari Surabaya pada 1 Januari 2007. Adam Air jatuh di perairan Majene, Sulawesi Barat. Di dalamnya terdapat 96 penumpang yang terdiri dari 85 dewasa, 7 anak-anak dan 4 bayi. Juga 6 awak (pilot, co-pilot, dan pramugari), dan 3 warga Amerika Serikat.
Terserah Takdir
Mungkin saya tergolong konyol (fatalis) karena berprinsip hidup "tergantung takdir", "tergantung nasib" atau "terserah takdir". Ibu saya adalah orang pertama yang medengar secara langsung mengenai prinsip hidup saya itu pada 1987 ketika saya akan menghadapi EBTANAS SMP karena kebandelan saya yang luar biasa.Â
Kebandelan itu terlihat pada nilai rapor saya yang banyak angka merahnya. Hanya saja, meskipun ketika ujian saya sedang sakit (mata merah atau belekan) Nilai Ebtanas Murni (NEM) saya ternyata sesuai dengan target dari orang tua saya apabila saya mau bersekolah di Jawa, bahkan melampui NEM saudara-saudara di Bangka yang rajin belajar.
Sewaktu mendengar kabar bahwa saya pulang dengan pesawat Lion Air, ibu pun tidak berkomentar atau "cemas". Padahal, biasanya, seorang ibu kandung akan cemas jika mendengar berita sebuah kecelakaan, dan lain-lain.Â
Contohnya berita gempa yang terjadi di kawasan Indonesia timur, dimana saya sedang berada di Kupang, beberapa kali ibu saya menelepon untuk mengetahui kabar terbaru saya. Contoh paling mutakhir, ya, ketika saya menyampaikan bahwa saya akan kembali ke Kupang dengan pesawat Lion Air lagi.
Mungkin di Bangka keluarga besar saya bingung ketika mendengar dari saya sendiri bahwa saya tidak mempunyai trauma pada penerbangan, meski istri saya "sedikit" tertular trauma. Maklum sajalah, prinsip hidup saya memang begitu adanya sejak 1987. Pulang ke kampung halaman untuk memperingati 1.000 hari meninggalnya bapak saya (6/12/2018) pun tidak terlepas dari hakikat takdir, 'kan?
Bagi saya, persoalan teknis sebuah maskapai penerbangan memang sangat penting-mendesak (urgent) untuk diperhatikan, diperiksa, dipantau, dikontrol, dan seterusnya karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Standard-standard teknis penerbangan sangat tidak layak disepelekan bahkan dilecehkan dengan isu-isu, misalnya penggunaan ponsel dalam penerbangan, candaan "ada bom di pesawat", dan lain sebagainya.
Selain itu saya pun pernah bekerja di sebuah perusahaan bonafid. Tentu saja, saya belajar mengenai keselamatan (safety) dalam bekerja yang tidak diajarkan di bangku kuliah, perencanaan-perancangan bangunan, dan lain-lain. Utamakan keselamatan (safety first) merupakan slogan yang selalu berkibar melalui spanduk di tempat saya bekerja dulu.
Akan tetapi, tentang hidup-mati bukanlah sekadar slogan "utamakan keselamatan" atau hukum positif-formal. Kalau "kontrak bekerja" saja ada batas waktunya, "kontrak hidup" juga demikian, 'kan? Soal cepat-lambat, siapa pula yang mengetahuinya, 'kan?