Ini bukanlah sebuah peribahasa "cempedak berbuah nangka" yang artinya "mendapatkan sesuatu yang lebih daripada yang diharapkan". Atau juga lagu daerah asal Palembang, "Dek Sangke" atau "Dak Sangko".
Ya, sewaktu masih kanak-kanak di Bangka, tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat (sampai 1987) saya sering mendengar lagu daerah asal Palembang itu. Sebagian liriknya begini :
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Nah, di Kupang (2017-2018), tepatnya di halaman kantor IRGSC saya malah menemukan sekaligus menikmati buah nangka seperti cempedak. Bentuk, warna, tekstur, rasa, dan aromanya mirip sekali.
Hanya saja cara membuka kulitnya yang berbeda. Kalau membuka kulit buah cempedak, biasanya, menggunakan pisau, dan satu bagian kulitnya disayat dari ujung sampai pangkal (tangkai).
Sewaktu kecil dan remaja di kampung, saya dan kawan-kawan sebaya tidak menggunakan pisau karena kami biasa bermain di kebun. Ketika menemukan buah cempedak, pertama kali saya atau seorang kawan mengupas sebagian ujungnya dengan gigi saja.
Untuk apa? Tengok untuk melihat tingkat kematangannya, khususnya melalui warnanya. Lalu ambil satu untuk merasakan tingkat kelezatannya. Seterusnya, ya, menggunakan tangan kosong untuk membedah kulitnya yang mulus itu.
Tetapi "nangka berbuah cempedak" di Kupang ini tidak perlu repot dikupas. Kulitnya sudah rapuh pertanda matang seperti dipresto. Tinggal dibongkar begitu saja, beres.
Dek nyangkak aku dek nyangkak
Ade nangkak isik cempedak
Tidak sangka saya tidak sangka, ada nangka berisi cempedak. Begitu mudahnya saya mengambil butir-butirannya.
Ya, tentu saja, sama dengan ketika masih di kampung halaman. Dan di sana cempedak goreng dinamakan "jumput". Aduhai sedapnya!
Sudah berbeda nama, berbeda pula pengolahannya, yaitu digoreng sekaligus dengan bijinya. Saya sering melepaskan biji yang bercampur dagingnya. Sangat tidak aduhai karena, bagi saya, selera juga dibentuk dari rumah, dan lingkungan sekitar.Â
Begitulah kisah "nangka berbuah cempedak" yang di kampung halaman saya bernama "cemena", yang mungkin akronim dari "cempedak nangka". Â Tapi, ya itu tadi, saya belum menemukan "cempedak berbuah nangka" selain dalam peribahasa.
*******
Kupang, 22 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H