Mural atau lukisan tembok merupakan hal yang biasa bagi saya. Biasa saya lihat di tempat-tempat yang saya singgahi, biasa saya lihat di media sosial, dan biasa saya buatkan. Mural bukanlah sesuatu yang luar biasa, pokoknya.
Di daerah tinggal saya, Balikpapan, Kaltim, mural pun saya buatkan. Misalnya saja di sebuah PAUD pada 2009 dan 2012, atau di pagar tembok (lebih 20 meter panjangnya, dan tingginya 2 meter) masuk wilayah RT kami pada 2016.
Pemuralan selama lebih dua itu saya lakukan atas pesanan kawan saya, Elcid Li, yang juga pengelola lembaga penelitian "IRGSC" (Institute of Resources Governance and Social Change). Saya diberinya kebebasan mutlak untuk melukis di tembok itu. Bahan dan alat pun disediakan.
Mural, bagi saya, juga merupakan media komunikasi, baik menggunakan gambar maupun tulisan. Komunikasi itu berisi hal-hal yang saya temui atau dengarkan di sekitar saya, yang kebetulan sedang berada di Kupang, dan sering mendengar aneka isu, termasuk isu yang relatif serius. Hal-hal itu bisa berupa informasi, pesan personal-sosial, dan seterusnya. Biasa saja, 'kan?
Saya pun mengabadikannya. Untuk apa? Untuk menyenangkan diri sendiri saja, di samping perkiraan bahwa suatu saat kelak jejak karya itu saya dihapus atau lenyap dari panorama kota. Entah oleh cuaca atau oleh siapa.
Pada kedatangan ke-3 di Kupang pada 9 September 2017, saya kembali mendatangi tembok yang menampung karya saya. Tentu saja kondisinya sudah berubah. Tidak lupa saya abadikan juga.
Tetapi kedatangan ke-4 ini ada yang tidak biasa, bahkan aduhai sekali bagi saya. Mural itu menghadap secara langsung ke sisi kanan rumah pribadi Gubernur NTT Periode 2018-2023, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL).