Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Apakah Perlu Bantuan Gempa untuk Memindahkan Ibu Kota?

4 Oktober 2018   01:53 Diperbarui: 4 Oktober 2018   13:53 3701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

istimewa
istimewa
Rencana itu kemudian pernah menjadi wacana di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2010 karena masalah kemacetan. Sampai lengser pada 2014, wacana tinggal wacana.

Pada 20 Desember 2016 pemindahan Ibu Kota ke Palangkaraya diwacanakan kembali oleh Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja di Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional. Pada Jumat, 7 April 2017 wacana terus dimatangkan melalui kementerian dan dinas terkait, dan hal tersebut disampaikan oleh Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi.

"Tentu memindahkan ibu kota, 'kan, bukan persoalan yang kecil, luas butuh kajian yang mendalam? Saya dengar Menteri Bappenas sudah diminta untuk melihat peluang itu, mengkaji," kata mantan juru bicara KPK itu di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

Antara Gempa, Wacana Pemindahan Ibu Kota, dan Entah Apa Lagi

Tidak jelas, sampai kapan perihal pemindahan Ibu Kota hanya menjadi wacana. Tidak jelas pula alasan sesungguhnya dari setiap kemunculan wacana tersebut, apakah diam-diam "kepentingan" tertentu justru paling ngotot mengalangi rencana sejak 1957 terkait posisi strategis Jakarta dalam geliat ekonomi nasional.

Memang geliat ekonomi tidak terlepas dari gerilya "penumpang" bahkan perebutan lumbung kekayaan negara berbungkus politik praktis pusat-nasional dengan segala rekayasa berikut antisipasi begini-begitu bisa saja diatur, dan dilaksanakan. Tetapi persoalan alam semesta dengan intaian gempa 8,7 SR, siapa mampu?

Alam bukanlah lawan sebanding bagi para elite politik yang sama sekali tidak memiliki kemampuan berdiplomasi dengan alam, meski sebagian elite politik malah mengkhianati alam. Sementara alam menyediakan meja-meja raksasa untuk berdiplomasi atau berunding tetapi bukan berarti alam akan takluk sepenuhnya.

Jika sebagian hujan bisa diajak kompromi dengan rekayasa aliran ketika sampai di permukaan tanah, antisipasi sebagian hujan lainnya gagal direkayasa lalu berujung bencana berulang, bahkan beberapa kali "menyentuh" Istana Negara (3/2/2002, 1/3/2010, 17/2/13, dll.). Itu pun pemindahan Ibu Kota tetap terjebak dalam "banjir" wacana.

Nah, kalau perihal pemindahan selalu terjebak dalam "banjir" wacana, apakah perlu menunggu bantuan gempa berkekuatan 8,7 SR untuk memindahkan atau "menggeser" Ibu Kota ke tempat yang tepat seperti fenomena likuifaksi di Kab. Sigi (28/9)? Jangan sampai begitu, ah. Ngeri sekali membayangkannya.

*******

 Kupang, 4 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun