Penyair adalah orang yang tidak bahagia karena, betapapun tinggi jiwa mereka, mereka tetap diselubungi airmata.
--- Kahlil Gibran, 1833-1931 ---
Salah satu cerita karya Irwan Bajang (IB) yang saya baca adalah Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan (SPdBPK). Cerita tersebut terdapat dalam hal.3-16 di buku tunggalnya Hantu, Presiden, dan Buku Puisi Kesedihan yang diterbitkan oleh Indie Book Corner (2017). Buku itu saya dapatkan secara gratis alias oleh-oleh dari seorang kawan. Waduh, ngaku dapet gratisan!
Satire. Itulah kesan pertama yang hinggap di benak saya. Dengan munculnya kesan "satire", mau-tidak mau, saya harus mencari arti kamusnya, termasuk  dalam kamus sastra. Sementara mengenai beberapa bagiannya berlatar (setting) waktu Jumat, baik pagi maupun sore, belumlah hinggap di benak saya.
Satire dalam Arti Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) daring mengartikan "satire" adalah 1. (Sastra) Gaya bahasa yg dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang; 2. Sindiran atau ejekan.
Menurut Pamusuk Eneste dalam Kamus Sastra (Nusa Indah, 1994), salah satu arti "satire" adalah karangan atau tulisan yang bersifat mengejek atau menyindir atau mencemooh keadaan atau penguasa.
Dalam buku Aliran-Jenis Cerita Pendek (Balai Pustaka, 1999) Korrie Layun Rampan menyitir Dick Hartoko dan B. Rahmanto dari buku Pemandu di Dunia Sastra (Kanisius, 1986), yang menyebutkan salah satu arti "satire" adalah karya sastra yang isinya mengajarkan moral dan mengkritik suatu keadaan, kadang-kadang secara karikatural.
Garis Besar Cerita SPdBPK
Berawal dari pengunduran diri seorang presiden bertangan besi menyala, yang telah berkuasa selama 27 tahun lebih 6 bulan. Pengunduran diri itu dilakukan pada hari ke-14 demonstrasi rakyat. "Demi rakyat yang selalu saya cintai. Saya mengundurkan diri sebagai presiden, menyerahkan jabatan saya pada Partai Oposisi Rakyat untuk mengambil alih pemerintahan. Terima kasih, Rakyatku," ucap sang presiden dalam pengumuman pengunduran diri itu, lalu menggantung diri pada malam harinya.
Rakyat bergembira, dan pesta digelar di segenap pelosok negeri karena rakyat sudah terlalu lama menderita. Jalan raya dipadati rakyat yang bernyanyi dan menari. Partai Oposisi rakyat pun mengambil alih pemerintahan, dan mengangkat seorang presiden percobaan jabatan selama 1 tahun agar situasi peralihan kekuasaan bisa berjalan dengan baik sebelum kemudian digelar pemilu.
Sang presiden percobaan mengeluarkan kebijakan pertama yang sungguh menggemparkan. "Sejak hari ini, tidak ada yang boleh bersedih," begitu kebijakan atau peraturan resmi dikeluarkannya. Sejak hari itu tidak ada lagi rakyat yang bersedih. Seluruh rakyat dibagikan tanah dan rumah secara merata, yang kesemua properti itu boleh dikelola dengan 5/100 bagian saja untuk Negeri. Rakyat hanya disuruh bekerja dan bergembira. Biaya pendidikan dan kesehatan gratis.
 Tapi selalu saja ada yang tak suka. Kelompok yang tak suka pada kegembiraan yang ada ini adalah pemusik dan sastrawan. Dalam sebuah pertemuan rahasia mereka saling membisik dalam pertemuan rahasia, "Kenapa kita tidak boleh bersedih? Kesedihan itu menenangkan. Kamu tak bisa hanya tertawa."Â
Tetapi, tentu saja, tidak seorang pun dari kelompok tak suka ini berani karena kewajiban gembira sudah berpayung hukum "Tangkap siapa saja yang ketahuan bersedih". Tak pelak hukum tersebut justru berdampak bagi seorang penyair, yang kemudian membuat tempat persembunyian di gua. Tidak lupa ia mengajak pemusik dan sastrawan untuk meratap dan menangis serta berkarya melalui musik dan buku sastra berdasarkan kesedihan. Kelompok ini pun mendirikan sekte kesedihan.
Adalah seorang pemuda berusia 17 tahun di beranda belakang rumah pada suatu malam, membaca sebuah buku berisi sajak patah hati tentang seorang kekasih yang ditinggal mati oleh pasangannya. Buku itu 'dicuri'-nya dari bapaknya yang duda. Air mata pemuda itu pun bercucuran diiringi isak menyayat selubung kelam. Ndilalah, aksi kesedihan sendiriannya dipergoki oleh seorang penjaga malam.
Pemuda itu diinterogasi. Lalu bapaknya juga dihadirkan untuk diinterogasi. Bapaknya diam, dan malah menangis. "Pak Tua, tolong jangan menangis. Kami tak akan menghukummu. Segeralah menjawab. Sebelum wartawan tahu dan berita ini bocor dan seluruh rakyat tahu," kata seorang prajurit.
Benar. Keesokannya negeri digemparkan oleh pemberitaan, yang justru berasal dari koran negeri tetangga, "Dua orang lelaki ditangkap karena ketahuan membaca buku yang sedih." Tentu saja berita itu menjadi penting bagi para wartawan dalam negeri yang nyaris tak bekerja karena hanya memberitakan kebahagiaan, kemajuan negeri, serta berlucu-lucuan melalui tulisan dan gambar selama rezim presiden anti-kesedihan berkuasa.
Kegemparan itu dimanfaatkan oleh loyalis rezim anti-kegembiraan. Demonstrasi di mana-mana. Karya-karya bertema kesedihan merajalela. Bapak tua tadi pun dicokok, lalu dihukum gantung bersamaan dengan dikeluarkannya sebuah dekrit. Dampaknya sangat fatal: negeri mengalami situasi instabilitas yang serius, dan sekte-sekte kesedihan muncul di pusat-pusat keramaian meskipun beberapa orang mendapat ganjaran berupa penangkapan dan pemukulan.
Pada hari terakhir masa jabatannya sang presiden percobaan mengundurkan diri. "Demi kebahagiaan rakyat, saya tak mau ada yang bersedih. Saya akan terus memerangi kesedihan bersama negeri kita tercinta," pidato terakhirnya.
Dan akhir cerita itu dituliskan IB, "Esok hari Jumat penuh kesedihan akan tiba. Di sana kami akan datang dan berkumpul. Menangis memenuhi pusat kota. Wahai kau jiwa-jiwa yang murung, bersedihlah, menangislah bersama kami." Â Â
Antara Satirisme dan Ironis-Sarkasme
Satire, kalau saya kaitkan dengan buku Aliran-Jenis Cerita Pendek-nya Korrie, jadilah satirisme (hal.125-128). Dan, menurut saya yang bukanlah pengamat apalagi ahli sastra ini, cerita SPdBPK beraliran Satirisme.
Barangkali pengamat atau ahli sastra justru menangkap kesan "ironi-sarkas", atau alirannya Ironisme-Sarkasme pada cerita tersebut. Mengenai aliran  Ironisme-Sarkasme, saya tidak perlu repot menuliskannya lagi dengan mencuplik pendapat siapa-siapa dalam kamus dan buku karangan Korrie.
Saya kira sampai di sini saja pembacaan saya mengenai cerita SPdBPK dalam buku berukuran 11,5 cm x 17,5 cm x 1 cm itu. Saya mohon maaf jika artikel ini malah banyak kekurangannya. Maklumlah, saya bukanlah siapa-siapa dalam ranah sastra Indonesia. Terima kasih.
*******
 Panggung Renung -- Balikpapan, 7-5-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H