Tragedi "Car Free Day (CFD) 29 April 2018" di Bundaran Hotel Indonesia, DKI Jakarta, sungguh sangat memilukan bagi saya--entah bagi mayoritas rakyat Indonesia.
Massa berkaus "#2019 Ganti Presiden" begitu bernafsu melakukan intimidasi (persekusi) terhadap seorang ibu dan anaknya, di mana si ibu berkaus oblong putih tertulis "#Dia Sibuk Kerja". Hal serupa pun terjadi pada seorang bapak yang berkaus putih tertulis "#Dia Sibuk Kerja".
Kejadiannya hanya di DKI Jakarta, Ibu Kota Republik Indonesia, sesama warga Ibu Kota, sesama warga negara Indonesia, dan menjadi viral! Ibu Kota, bagi mayoritas warga negara Indonesia, bahkan dunia, merupakan titik sorotan paling utama bagi suatu negara.
Sungguh, sangat memilukan bagi saya sebagai seorang di antara lebih dari 250 juta penduduk Indonesia.
Andai ibu itu adalah ibu saya, dan anaknya adalah saya, tidaklah mustahil, saya akan mengalami trauma politik yang luar biasa.
Dalam usia yang sangat muda saya harus mengalami intimidasi yang tidak pernah saya pahami pangkal-ujungnya itu.
Devide et Impera
Sejarah Indonesia telah mencatat sebuah istilah paling masyur, yaitu "Devide et Impera" alias "Pecah-belah di Daerah Jajahan" atau "Politik Adu Domba".
Sejarah Indonesia pun mencatatkan bahwa Kolonial Belanda telah melakukan strategi itu, sehingga mayoritas orang Indonesia percaya sekaligus "menghakimi" Belanda sebagai biang keroknya.
350 tahun atau 3,5 abad Belanda berhasil menguasai Nusantara dengan politik "adu domba". Pendidikan sejarah mengenai "adu domba" merasuki orang Indonesia dari generasi awal kemerdekaan hingga generasi milenial, dan entah kelak.
Percaya atau Tidak Percaya pada Sejarah
Sejarah dalam suatu negara bisa menjadi satu versi atas nama negara atau penguasa negara pada suatu masa.
Ketika masih duduk di bangku SD sampai SMA, saya percaya pada sejarah yang mengatakan bahwa Belanda berhasil menguasai Nusantara dengan strategi memecah-belah bangsa Indonesia (devide et impera).
Tetapi, ketika kuliah hingga sekarang, saya tidak percaya lagi. Realitas yang tidak pernah tertulis sebagai kebenaran adalah kecenderungan sebagian orang Indonesia memang mudah mengadu dirinya sendiri, entah dengan alasan apa.
Tawuran antarpelajar, mahasiswa atau pemuda bukanlah berita baru sejak era internet berlari kencang. Saya menyaksikan itu di depan mata saya sendiri sebelum televisi berwarna-warni!
Hingga tragedi CFD tadi, selain 'perang hujatan' di media sosial! Bukankah Belanda sudah lama pulang kampung? Masihkah pantas menyebut Belanda sebagai biang kerok devide et impera?
Oh, saya tidak pernah percaya lagi. Sebaliknya, seperti yang saya katakan, kecenderungan sebagian orang Indonesia memang mudah mengadu dirinya sendiri, entah dengan alasan apa.
Saya justru membayangkan, orang-orang pra-Indonesia alias zaman kolonialisasi Belanda memang mudah bertarung dengan sesamanya. Kerajaan melawan kerajaan, dan rakyat berperang tanpa memahami hakikat kehidupan selain kepatuhan bahkan pemujaan terhadap sosok raja (penguasa) sebagai bakti kepada "Sesuatu" yang disembah.
Belum lagi dalam lingkup kecil, yaitu keluarga. Antaranggota keluarga pun bisa berkelahi, apalagi jika sudah mengangkut urusan warisan keluarga. Saya sudah menyaksikan dan mengalami hal yang berlingkup kecil itu.Â
Dan, kali ini adalah alasan politik yang sama sekali tidak dipahami secara benar dan dalam oleh sebagian orang Indonesia sendiri. Sungguh memilukannya realitas situasi sosial-politik ini.
Demikian sajalah. Maaf, saya tidak mampu melanjutkan. Biar Dilan saja.
*******
Panggung Renung -- Balikpapan, 30 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H