Bocornya rekaman pembicaraan antara Rini dan Sofyan dengan menyentil kata "saham" dan angka" 7,5%" atau "15%" hingga viral bukanlah sesuatu yang perlu mencengangkan bagi kalangan yang sudah biasa berkecimpung dalam tata kelola negara. Tetapi hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu bukti bahwa sebuah kekuasaan berikut kalangan dalam lingkarannya tidaklah bisa terlepas dari upaya penguasaan atas sumber daya alam beserta saham-saham, termasuk kepemilikan saham perusahaan-perusahaan investor-multinasional.
Itu "salah satu bukti", dan kebetulan "bocor". Bagaimana dengan lainnya, yang berhasil ditutup-tutupi melalui persekongkolan di "kalangan sendiri"? Hanya mereka, Tuhan, malaikat, dan setan yang tahu.
Sementara bubarnya Petral merupakan sebuah pukulan telak bagi kalangan yang biasa mendapat keuntungan finansial dari lingkaran kekuasaan (tata kelola negara) terkait keberadaannya. Kalangan itu marah besar!
Ditambah dengan utak-atik saham Freeport yang juga menjadi bagian dalam pundi-pundi suatu kalangan yang telah sekian puluh tahun menikmatinya. Kalangan itu semakin marah. Kalau saham di perusahaan-perusahan, baik milik pemerintah maupun milik multinasional warisan rezim ORBA lainnya masihlah bisa mencukupi mereka.
Sepakat-tidak sepakat, pertarungan sekaligus pertaruhan politik berbasis ketamakan berkedok apa pun, termasuk agama, di kalangan elit politik memang paling serius-sensitif. Setiap menyebut Indonesia Zamrud Khatulistiwa yang kaya raya dalam kampanye atau orasi-orasi politik di manapun, sebenarnya, tidaklah lebih dari siasat berbasis tamak yang ditiupkan ke seluruh wilayah Nusantara untuk membius nalar puluhan juta penduduk Indonesia.
Sepakat-tidak sepakat, bagi yang berhasil masuk dalam lingkaran rezim, ketamakan bisa mendapat jalan raya-bebas hambatan. Mereka melakukan siasat dan geliat dengan segala macam cara untuk semakin memuaskan hasrat tamak, meski, toh, "sepandai-pandai tupai melompat, tidak pernah bisa ikut pertandingan lompat tinggi". Tetapi, bagi yang berada di luar rezim, alangkah berat perjuangan bagi pemuasan nafsu tamak itu, bahkan segelintir merasa tamat riwayat, meski toh tidaklah melarat seperti rakyat jelata!
Barangkali Jokowi memang murni berjuang untuk kesejahteraan rakyat Indonesia tetapi, toh, orang-orang di sekitarnya belum tentu murni seperti Jokowi. Demikian pula dengan Prabowo, yang barangkali juga berjuang untuk kesejahteraan rakyat, tetapi belum tentu begitu dengan orang-orang di sekitarnya.
Sekali lagi, sepakat atau tidak, kekuasaan yang diperebutkan itu tidaklah jauh dari sumber daya alam, dan saham perusahaan-perusahaan besar demi ketamakan kalangan sendiri. Bukan hanya kekuasaan secara nasional, melainkan juga regional. Rakyat, yang jumlahnya jauh lebih banyak, adalah "kendaraan" paling efektif untuk menggapai kekuasaan berbasis ketamakan pribadi. Ya, silakan sepakat atau tidak pada artikel ini.
Sayangnya, mayoritas rakyat Indonesia tidaklah menyadari bahwa pertarungan elit politik tidaklah lebih dari upaya pemuasan ketamakan belaka. Yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin, karena politik Indonesia warisan rezim ORBA hanya berusaha memakmurkan-menyejahterakan kalangan sendiri. Rakyat tetap harus berjuang keras untuk selalu mencukupi kebutuhannya. Dan, ya, silakan sepakat atau tidak pada artikel ini.
*******
 Panggung Renung -- Balikpapan, 29 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H