Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pamer Konyol dengan Miras Oplosan

14 April 2018   17:42 Diperbarui: 14 April 2018   19:22 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Miras oplosan sedang mewabah di beberapa daerah di Indonesia. Di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan sebagainya. Wakapolri Komjen Syafruddin menyebut kejadian serentak itu fenomena gila. Korban tewas miras oplosan mencapai angka 80-an jiwa.

Begitu kabar yang saya baca di sebuah situs internet terhitung sejak 12 April 2018 dalam kasus Ciputat, Cicalengka, Madiun, dan lain-lain. Ya, dari bagian barat sampai timur Pulau Jawa, miras (minuman keras) oplosan selalu menjadi berita dan derita. Televisi pun sering menayangkannya tetapi masih juga tidak membuat kapok (jera) bagi segelintir laki-laki.

Ya, segelintir laki-laki. Ini persoalan mentalitas laki-laki, yang sebagian suka pamer diri atau gagah-gagahan. Kalau hanya menghabiskan satu botol miras, apalagi sampai mabuk-muntah-tumbang, bisa berisiko ejekan di kalangan peminum. Biasanya akan terdapat lebih dari lima botol, bahkan ada yang membeli dengan derijen minimal lima literan. Yang tumbang terlebih dulu, itulah pecundang.

Ada juga slogan di kalangan mereka. Bunyinya, "Pantang pulang sebelum tumbang." Kalau belum tumbang, adu minum akan terus dilakukan. Seorang demi seorang pun akhirnya akan tumbang pada waktunya, walaupun matahari sudah berada di atas atap sekolah anak atau keponakan mereka.

"Pantang pulang sebelum tumbang" ternyata terjadi pada Diki dalam kasus miras oplosan di Cicalengka. Minggu lalu tumbang lalu pulang. Minggu depannya datang lagi, dan tumbang untuk selamanya. Apa boleh buat kalau slogannya memang begitu, jadi begini takdirnya.

Bagaimana kalau persediaan miras terbatas? Laki-laki mencari cara untuk saling mengadu diri sebagai laki-laki sejati. Kalau hanya sebotol miras polos, sesama peminum akan saling mengejek, "Cemen, kayak anak kecil belajar minum."

Cara yang umum adalah dengan mengoplosnya. Jadilah miras oplosan. Bahan oplosan atau tambahannya, tidak jarang, serbuk minuman sasetan, dan reaksi kimianya tidak pernah bisa mereka perkirakan karena memang konyol.

Selain itu, yang lebih konyol, bahan tambahannya adalah spiritus (dulu), bensin, thiner (pengencer cat), obat nyamuk oles, dan lain-lain. Bahan-bahan yang tidak masuk akal itu memang berasal dari pikiran konyol.

Laki-laki biasa dengan mengadu gagah di antara sesamanya, yang dalam hal ini adalah kekonyolan mengonsumsi miras. Tidak ada yang sudi dicap "cemen". Cemen adalah pelecehan kelelakian paling telak bagi mereka. Bahkan, "cemen" sudah berarti "pembunuhan karakter".

Memang konyol. Demi tidak sudi dicap "cemen" yang identik dengan "pembunuhan karakter", segelintir laki-laki justru semakin memamerkan kekonyolan tingkat lanjut. Tidak sudi menjadi korban "pembunuhan karakter", kekonyolan mencapai puncak pada "pembunuhan jiwa-raga", bahkan secara masif.

Selain itu, mungkin ada pertanyaan, mengapa kejadian miras oplosan sering muncul di Pulau Jawa. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan semacam itu.

Dulu, sekitar 1990-an, keluarga dari sisi ibu saya di Jawa Tengah ada peminum, yaitu dua adik kandung ibu alias paklik-paklik saya. Ciu Bekonang, Cangklong, Drum, dan lain-lain bukanlah nama-nama asing bagi saya. Kalau ada arisan keluarga, kedua paklik saya bisa duduk bersama menghadap satu meja dengan miras polos dalam ukuran derijen lima literan. Bahkan, ketika pagi kakek (bapaknya ibu saya) meninggal, kedua paklik saya minum miras polos pada malam harinya. Keduanya mabuk-muntah-tumbang, dan selesai (tidur).

Rasa miras produk lokal Jawa Tengah itu, menurut cicipan lidah saya, sangat tidak enak. Tidak seperti wedang jahe, ronde, atau temulawak dalam kemasan botol mini. Saya pun heran, mengapa kedua paklik saya bisa konyol begitu, ya?

Itu dulu. Bagaimana dengan di Nusa Tenggara Timur (NTT)? 

Saya sering ke Pulau Timor, dan pernah ke pulau sekitarnya di wilayah NTT. Di sana tidak ada miras oplosan. Miras produk lokal dari pohon lontar dan tidak perlu dioplos bahan-bahan konyol. Namanya sopi dan moke. Orang muda-tua bisa duduk bersama, dan tidak seorang pun saling melecehkan dalam "perjamuan".

Mungkin ada yang diam-diam bertanya, apakah saya juga seorang peminum. Aduhai. Sudah pernah saya tuliskan. Tapi, dalam artikel ini mungkin perlu saya sentil sedikit.

Kalau sekadar mencicipi, ya, saya lakukan. Di NTT, miras paling sedap namanya tinto. Itu produk dari Timor Leste. Paling mahal di antara sopi dan moke. Meski begitu, saya cukup mencicipi untuk merasakan perbedaannya sekaligus memahami soal harga.

Dari semua minuman produk NTT itu,tentu saja, saya paling suka kopinya. Kopi, bukan sopi. Kopi hitam-polos alias kopi bukan oplosan. Kawan-kawan di sana, misalnya Dominggus Elcid Li (putera sulung Bapa Robert Li), Seniman Ragil Sukriwul, Sastrawan Mario F. Lawi, Sastrawan Felix Nesi, Sutradara Manuel Alberto Maia, dan lain-lain, mengenal saya sebagai peminum kopi meski bukan 'penggila' kopi.   

Saya tidak suka terjebak dalam kekonyolan perihal miras ataupun kopi. Saya laki-laki yang tidak perlu ikut-ikutan pamer kekonyolan dalam minuman. Mungkin saya tergolong "cemen". Tidak apa-apa "cemen" tetapi tidaklah perlu pamer kekonyolan separah laki-laki bermiras oplosan.

Ya, hidup memang pilihan. Pilih konyol ataukah tidak. Pilih pamer kekonyolan ataukah tidak. Pilih mati konyol ataukah tidak. Silakan saja. Bukankah begitu?

*******

Panggung Renung -- Balikpapan, 14 April 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun