Ahok tidak mau cuti sebagai gubernur. Ia mengajukan sebuah peninjauan ulang atas aturan (Judicial Review atau disingkat JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pasal 70 Ayat (3) huruf (a) dan (b) menyebutkan, jika Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan : pertama, menjalani cuti di luar tanggungan negara; kedua, dilarang menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya.
Aturan Siapa
Sekelompok anak kecil yang sedang bermain pun memiliki aturan yang mereka sepakati bersama. Ada konsekuensi atau ‘sanksi sosial’ ketika seorang di antara mereka melanggar aturan itu, walaupun, sebenarnya, hanya sebatas suatu permainan dalam waktu sesaat, dan aturan tersebut tidak legal beserta sanksi-sanksinya.
Dalam suatu pergaulan sosial, yang berisi kalangan orang dewasa, dan terikat dalam suatu kesepakatan (perjanjian) bersama, selalu ada aturan-aturan yang diberlakukan agar tatanan kehidupan bersama bisa berjalan dengan semestinya. Semua aturan, bahkan sebuah konstitusi, pun dibuat dan disepakati oleh sekelompok orang yang berkompeten.
Pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Fauzy Bowo mematuhi aturan (konstitusi) mengenai cuti ketika hendak mencalonkan kembali sebagai gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017, meski kemudian tidak terpilih. Pesaingnya yang berasal dari daerah yang jauh, dan pada saat itu menjabat sebagai walikota Surakarta, Joko Widodo (Jokowi), juga mematuhi aturan dengan mengambil cuti dari jabatannya untuk berkampanye ke Ibukota hingga takdirnya menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan Ahok sebagai wakilnya.
Kini, menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, Ahok, yang menggantikan Jokowi karena Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019, malah tidak mau mematuhi aturan alias ngeyel dengan segala alasan, lalu menyodorkan JR ke MK. Apakah semua konstitusi menjadi sah-legal jika sesuai dengan kehendak Ahok? Alangkah hebatnya Ahok.
Negara Republik Indonesia Milik Siapa
Aturan alam bahkan negara (PTUN) dilanggar Ahok dengan tetap melanjutkan reklamasi. Aturan sosial-kemanusiaan dilanggar Ahok dengan menggusur tanpa pernah melakukan dialog yang manusiawi.
Kini, aturan negara mengenai cuti. Lantas, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini miliknya Ahok, dan seluruh aturan (konstitusi) negara harus sesuai dengan kehendak Ahok?
Tuhan Ahok dan Umat Ahok
Sepakat atau tidak, dengan segala kepongahan (semau gue) seorang Ahok menjelma sebagai sosok yang paling hebat dengan aturan dan pemahamannya sendiri. Ia selalu merasa paling lurus-bersih dari seluruh pemimpin yang ada di Indonesia. Dengan pongah ia ‘menghakimi’ bahwa semua bawahannya adalah orang-orang belok-kotor alias gerombolan koruptor. Luar biasa sekali.
Kepongahan seorang Ahok, sebenarnya, sudah terlihat ketika ia tidak mengindahkan aturan (ajaran) agamanya sendiri. Ia suka memamerkan sekaligus mengungkit apa saja pemberiannya (uang).
Kepongahannya bersenyawa dengan ambisi berkuasa, meski awalnya menolak kendaraan partai politik (parpol) sekaligus menyebut-nyebut soal mahar lalu mencoba ‘peruntungan’ secara independen dengan kendaraan TemanAhok tetapi akhirnya menerima tawaran kendaraan parpol, Ahok telah menelikung sejarah kehidupan junjungannya sendiri.
Benarkah bahwa Ahok telah menelikung sejarah kehidupan junjungannya sendiri? Ketika Yesus ditangkap, murid-murid Yesus langsung membubarkan diri untuk mencari selamat masing-masing. Padahal, sebelumnya mereka menghamparkan pakaian mereka untuk dilewati Yesus yang menunggangi seekor keledai, dan orang-orang Yerusalem mengelu-elukan Yesus.
Sebaliknya dengan Ahok. Bukannya ditinggalkan, melainkan justru Ahok yang meninggalkan para pendukungnya (TemanAhok, tetapi sebelumnya lagi adalah Partai Gerindra), lalu mengembalikan pilihan ‘berjuang’ itu pada TemanAhok setelah beralasan ini-itu, dan ia berangkat dengan kendaraan parpol. Luar biasa duakali.
Selanjutnya, dengan lantang ia pun mengungkapkan hal kekhawatiran apabila ‘dijegal’ aturan negara, tidak terpilih lagi, atau ada ‘pengganti sementara’-nya (selama 4 bulan dalam masa cuti) beserta pejabat terkait bakal melakukan keculasan, dan seterusnya. Para pendukung Ahok pun sepakat dengan segala kekhawatiran itu.
Menara Babel
Di sisi lain, Ahok sedang membangun sebuah ‘gedung’ seperti Menara Babel (Babil). Hal ini terbaca ketika ia tidak mau cuti kampanye karena ingin memaksimalkan kinerjanya hingga akhir jabatan pada Ontober 2017 nanti, dan ingin ikut meresmikan berbagai proyek pembangunan yang digagasnya. "Sebelum saya keluar Oktober, saya mau menghasilkan bukti peninggalan dari Gubernur Ahok. Jadi orang ingat nih yang ngeresmiin ini si Ahok, yang ngerjain ini si Ahok nih. Ya sudah, enggak jadi gubernur lagi enggak apa-apa," kata Ahok di Balai Kota.
Dengan kepongahan itu (si Ahok nih) ia sangat menginginkan dirinya menjulang melampaui semua yang pernah tinggi seperti Menara Babel, dan tidak ada satu pun aturan siapa-negara yang mampu menghalangi apa pun kehendaknya. Dengan adanya menara itu ia sangat menginginkan namanya selalu menggema ke seluruh pelosok Nusantara bahkan dunia sehingga siapa pun akan selalu memujanya, dan menjadikan menara itu sebagai kiblat bagi para pemimpin daerah bahkan dunia.
Ya, sepakat atau tidak, dengan ambisi berkuasa, Ahok telah menjelma sebagai sosok semacam tuhan, yang mahabenar-mahasuci dalam segala kata dan perilakunya. Ahok berani mati bahkan sesumbar di sebuah acara televisi bahwa “mati adalah keuntungan” tetapi sesungguhnya ia justru takut (khawatir) jika tidak terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, ‘menghakimi’ para bawahannya, dan konstitusi harus mengikuti kehendak Ahok.
Akhirnya, dengan mahabenar-mahasuci Ahok, para pendukungnya pun menjelma sebagai umat yang selalu percaya pada apa pun yang dikatakan dan dilakukan Ahok. Luar biasa tigakali.
Paranoid Akut
Di balik semua kehendak-ambisi-pongah itu, Ahok justru menyimpan karakter paranoid yang akut. Ia tengah mengalami ketakutan tingkat tinggi terhadap bayangannya sendiri. Sebagian orang sudah memahami bahwasannya lawan Ahok adalah dirinya sendiri.
Ia membayangkan bahwa segala aturan, situasi, dan dinamika politik nantinya akan menggagalkan ambisi pribadinya untuk membangun menara Babel. Dan, bisa saja, penolakan cuti dengan ‘menghakimi’ bawahannya merupakan upaya ‘menyimpan’ sesuatu yang ‘bengkok’. Bisa jadi ia khawatir jika nanti ‘kebengkokan’-nya terbongkar sehingga runtuhlah menara Babel yang sedang giat dibangunnya.
*******
Panggung Renung, 8 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H